Warta

Peran Ulama Penting Untuk Luruskan Makna Jihad

Sabtu, 7 Januari 2006 | 08:22 WIB

Jakarta, NU Online
Pemahaman yang keliru akan makna jihad juga menjadi penyebab munculnya aksi terorisme yang marak belakangan ini. Harus ada pelurusan tentang makna tersebut. Pasalnya, saat ini makna jihad sering dikait-kaitkan dengan terorisme, terorisme adalah jihad dan jihad sama dengan terorisme.

Oleh karena itu, peran ulama atau mublig menjadi penting keberadaannya dalam upaya pelurusan makna jihad tersebut. “Di sinilah pentingnya peran ulama atau mubalig untuk meluruskan pemahaman jihad yang keliru itu,” kata Staf Ahli Menteri Pertahanan (Menhan), Prof. Dr. Bambang Pranowo dalam sarasehan bertajuk “Meluruskan Arti Jihad” di gedung PBNU, Jl. Kramat Raya Jakarta, Sabtu (7/1).

<>

Dalam acara yang yang dihadiri 200 mubalig dan mubalighoh NU itu, Bambang Pranowo mengatakan bahwa persoalan terorisme tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada aparat keamanan. Hal itu dikarenakan persoalan terorisme sering dihubung-hubungkan dengan ajaran agama, meski sebetulnya tidak ada hubungan sama sekali dengan agama.

Bagi Bambang, peran aparat sebatas menjaga keamanan. Aparat keamanan tidak bisa mencampuri urusan agama, seperti misalkan meluruskan makna jihad. “Aparat akan bertindak jika dianggap melanggar hukum serta mengancam keamanan dan ketenteraman masyarakat. Itu pun harus ada bukti. Kalau tidak ada bukti, tidak bisa,” terangnya.

Ia mencontohkan kasus Lia Aminuddin yang belakangan lebih dikenal dengan Lia Eden. Menurut Bambang, ajaran Lia Eden itu sebetulnya sudah lama (tahun 1997). Namun karena belum ada bukti dan belum mengarah pada ancaman keamanan, maka aparat tidak bisa berbuat banyak.

Dalam acara yang digelar oleh Ikatan Masjid dan Musola Indonesia (Imami) DKI Jakarta itu hadir pula Ketua PBNU Rozy Munir. Dalam paparannya, Rozy Munir mengatakan bahwa pemahaman jihad untuk melawan kedzoliman—sebagaimana dipahami para teroris—perlu dipertanyakan kembali. Hal itu penting karena kedzoliman dalam bentuk seperti apa yang harus dilawan.

“Saya sepakat kita harus melawan kedzoliman. Tapi kedzoliman yang bagaimana dulu. Jangan diratakan dengan menganggap bahwa Amerika adalah dzolim dan harus jihad dengan melakukan teror bom di mana-mana. Kalau seperti itu yang terjadi akhirnya banyak orang tak berdosa juga menjadi korban,” ungkap mantan Menteri BUMN di era Gus Dur itu.

Rozy menceritakan pengalamannya menjadi korban peledakan bom di Hotel JW Mariot, Jakarta tahun 2003 silam. Atas peledakan bom itu, Rozy mendapat jahitan di keningnya karena terluka cukup parah. “Saya ini orang Islam. Saya juga pengurus PBNU. Masa saya mau dibom juga,” ujarnya disambut tawa hadirin. (rif)


Terkait