Warta

Takaran Zakat Fitrah adalah Moralitas

Sabtu, 27 September 2008 | 08:38 WIB

Jakarta, NU Online
Menurut madzhab Syafi’i, zakat fitrah harus tetap diberikan kepada fakir miskin dalam wujud makanan pokok, karena fungsinya adalah pertolongan kepada para fakir miskin untuk mencukupi kebutuhan makanan pada hari raya Idul Fitri.

Zakat fitrah ini semestinya diberikan oleh mereka yang mengeluarkan secara langsung kepada para penerimanya dalam takaran yang dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing umat Islam yang memiliki kewajiban mengeluarkan zakat fitrah. dalam konteks masyarakat Indonesia, hendaknya diberikan berupa beras minimal seberat dua setengah kilogram.<>

Hal ini disampaikan oleh KH Arwani Faisal yang menjabat sebagai wakil ketua Lajnah Bathsul masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) di Gedung PBNU, Jl. Kramat Raya Jakarta, dalam Pengajian Online PBNU yang diasuhnya, Jum’at (26/9).

Secara tekstual takaran zakat adalah baku, namun secara subtantif, jumlah takaran adalah moralitas, artinya dapat berubah sesuai persediaan makanan yang dimiliki oleh mereka yang berkewajiban mengeluarkan zakat bagi dirinya dan seluruh orang yang menjadi tanggungannya.

Tentang objek penyaluran zakat, dengan mensitir pendapat murid paling masyhur dari Ibnu Taimiyah, yakni Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, Kyai Arwani, sapaan akrabnya, menjelaskan, zakat fitrah harusnya hanya diberikan kepada orang-orang fakir dan miskin, bukan asnaf (penerima zakat) lainnya. Sementara ketujuh asnaf yang lain tetap dapat menerima dana zakat selain zakat fitrah.

”Alasan pendapat ini ialah karena zakat diwajibkan seiring puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Jadi ia berfungsi sebagai benteng terakhir untuk meratakan persediaan makanan bagi seluruh umat Islam dalam merayakan Idul Fitri,” terangnya.

Dalam hal ini Imam Syafi'i menyatakan, zakat fitrah tidak boleh dibayarkan dengan uang, dan seluruh ulama madzhab syafi’iyyah menyetujuinya. Sementara Imam Hanafi sedari awal memang menyatakan, zakat fitrah boleh diberikan dalam bentuk uang. Sedangkan jumhurul malikiyyah (mayoritas ulama madzhab Maliki) dan sebagian para ulama madzhab Hanbali, juga menyatakan boleh mengeluarkan dan memberikan zakat fitrah dalam bentuk 'nilai pengganti' atau uang.

”Apabila terdapat beberapa ulama madzhab syafi’i yang menyetujui dibolehkannya mengeluarkan dan memberikan zakat fitrah dalam bentuk 'nilai pengganti' (uang) maka dapat dipastikan pendapat ini dimunculkan oleh ulama-ulama syafi’iyyah kholaf (modern/kontemporer),” tandasnya.

Namun demikian, seorang imam tetap berwenang untuk mensahkan berlakunya 'nilai pengganti' untuk pengeluaran zakat fitrah. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia berlaku dalam konteks yanzilu manzilata ulil Amri (pemegang kebijakan dan pelaksana ketentuan.

”Dalam hal ini, yang dimaksudkan sebagai ulil Amri bukanlah lembaga peradilan, melainkan pejabat pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menentukan dan menjalankan kebijakan, yakni Menteri Agama,” tandasnya. (min)


Terkait