Warta

Tradisi ”Ziarah Kubur Plus-plus”

Kamis, 18 September 2008 | 04:30 WIB

Jakarta,NU Online
Tradisi ziarah kubur yang dikenal masyarakat Muslim Nusantara dapat dianggap sebagai ”ziarah kubur plus-plus”. Demikian dinyatakan oleh KH. Arwani Faisal dalam Pengajian Online di gedung PBNU, Jakarta (16/9).

Bila dilihat dari sudut bahasa, ziarah artinya mengunjungi. Sementara hadits-hadits Rasulullah yang sampai pada masyarakat muslim Muslim hingga saat ini juga mengindikasikan ziarah sebagai sekedar mengunjungi, yang berfungsi untuk mengingatkan umat Islam kepada kematian dan rekam jejak orang-orang yang diziarahi.<>

”Kita melihat bahwa di Indonesia, umat Islam memiliki nilai plus dalam menziarahi makam leluhur mereka, yakni berkunjung, mendoakan dan bahkan mengaji serta berdzikir dengan menghadiahkan pahala kepada yang diziarahi,” ungkap Arwani.

Jaenuri, salah seorang peserta Pengajian Online dari Jepang menanyakan korelasi antara tabur bunga dan menyiramkan air yang biasa dilakukan oleh umat Islam Nusantara dengan teks hadits yang menceritakan tindakan Nabi menancapkan pelepah kurma di atas tanah kuburan salah satu sahabatnya. Arwani menjelaskan, hal tersebut hanyalah perbedaan teknis terkait kebiasaan menyangkut situasi alam saja.

”Karena di Arab waktu itu memang hanya ada pohon kurma, maka Nabi hanya menancapkan kurma, sementara Indonesia yang dipenuhi aneka warna bunga tentu saja memiliki tradisi tabur bunga. Namun keduanya memiliki substansi yang sama, yakni sebagai simbol mendoakan kepada si mayit, termasuk pula menyiramkan air dari kendi ke atas tanah pemakaman, terangnya.

Wanita juga diperkenankan untuk berziarah kubur, bahkan wanita diperkenankan pula turut dalam upacara penyelenggaraan jenazah hingga ke pemakaman, asalkan ia mampu mengendalikan emosi dan tidak histeris.

”Wanita boleh mengikuti jenazah sampai dikuburkan untuk mengenang jasa-jasa kebaikan si mayit selama hidupnya dan memberikan penghormatan terakhir.” Penjelasan ini merupakan jawaban dari pertanyaan Siti Nurbaya, peserta pengajian dari Palembang.

Sedangkan mengenai tuduhan timbulnya fitnah jika para wanita berziarah ke kuburan yang terkait dengan ikhtilath (percampuran) antara lawan lelaki dan perempuan bukan muhrim dan terlihatnya aurat wanita oleh orang lain, terutama ketika berziarah ke makam para wali, tidaklah perlu disikapi berlebihan.

”Dalam kegiatan apa pun, ikhtilath dan mengumbar aurat (pakaian modis dan buka-bukaan) adalah haram dalam Islam. Jadi ini pembahasan lain yang tidak spesifik dalam masalah ziarah kubur,” jelasnya. 

Sementara terkait kekhawatiran sebagian kalangan bahwa ziarah kubur dapat disalahartikan untuk meminta-minta kepada mayit, Arwani menjelaskan, ini merupakan kekhawatiran yang berlebihan. Biasanya tuduhan-tuduhan semacam ini dilontarkan oleh orang-orang yang tidak mengerti praktik ziarah kubur. Terutama sekali hal ini terkait dengan kondisi kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang terus melilit masyarakat.

”Kalaupun ada yang masih menganggap berziarah kubur sebagai kemusyrikan karena dianggap meminta pertolongan kepada orang yang sudah mati, tentu saja menjadi tugas kita bersama untuk meluruskannya. Bukan malah manuduh dan memfonisnya sebagai musyrik,” tandasnya.

Lebih jauh Arwani menuturkan, ziarah kubur adalah ibadah legal dalam Islam berdasarkan hadits shahih Riwayat Imam Bukhori, Tirmidzi, Nasa’i dan para perawi lainnya.

Terkait dengan kebiasaan mengunjungi makam leluhur pada waktu-waktu tertentu untuk menabur bunga dan berkirim doa, arwani menilainya sebagai tradisi positif masyarakat Muslim Nusantara. Namun demikian, bagi orang-orang yang berhalangan berziarah ke makam orang tua dan leluhurnya, tetap disunnahkan untuk mendoakan mereka dari tempatnya masing-masing.

”Doa yang dipanjatkan dan pahala yang dihadiahkan untuk orang tua dan para leluhur tetap dapat sampai, meskipun dipanjatkan dari tempat yang berbeda-beda. Tidak ada yang lebih cepat dan tidak ada yang lebih lambat,” pungkasnya. (min)


Terkait