Warta

Trafiking, Negara Gagal Memberi Jaminan Kesejahteraan

Senin, 12 Desember 2005 | 06:26 WIB

Jakarta, NU Online
Data Komnas Perlindungan Anak pada bulan Maret 2005 menunjukkan, angka penjualan anak balita yang melibatkan sindikat internasional menunjukkan peningkatan. Demikian kata aktivis perempuan perempuan Nursyahbani Katjasungkana saat berbicara pada dialog publik bertema Mengawal RUU Trafiking dan UU PKDRT di kantor Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (10/12)

Pada acara yang diselenggarakan oleh Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB) itu, Nursyahbani membeberkan data yang tentang kasus trafiking di Indonesia. Menurutnya, pada tahun 2003 terdapat 102 kasus yang terbongkar. Sementara tahun 2004 bertambah menjadi 192 kasus. Jumlah anak korban trafiking untuk prostitusi meningkat, dari berbagai rumah bordil di Indonesia, 30 persen atau sekitar 200 ribu-300 ribu perempuan yang dilacurkan.

<>

Persoalan tersebut, kata Nursyabani memang menjadi tanggungjawab bersama. Namun, baginya dalam hal ini intitusi yang paling bertanggungjawab adalah negara. Negara merupakan institusi yang punya kewenangan untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya. Namun tidak demikian yang terjadi.

“Di mana peran negara dalam hal ini. Negara telah gagal memberikan jaminan kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, dll kepada warga negaranya.” tegas Nursyahbani diiringi tepuk tangan hadirin yang kebanyakan kaum perempuan tersebut.

Nursyhabani pada kesempatan itu berbicara mengenai persoalan trafiking dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari perspektif hukum positif. Menurutnya, meski pemerintah sudah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun ia melihat dalam RUU tersebut di sana-sini masih ditemui kelemahan.

Nursyhabani menyebut kelemahan itu sedikitnya pada persoalan belum adanya kejelasan posisi saksi korban, korban bukan saksi dan saksi bukan korban untuk mendapatkan hak perlindungan korban dan saksi. Selain itu juga persoalan belum diaturnya kekebalan korban dari penuntutan untuk perbuatan yang dilakukan selama proses perdagangan orang.

Sementara itu, hadir juga sebagai narasumber kedua pada dialog tersebut, yakni KH Husein Muhammad. Kiai asal Cirebon ini mengupas persoalan trafiking dan KDRT dari perspektif ajaran agama Islam. Ia mengatakan bahwa persoalan tersebut adalah bentuk tindak kekerasan dan penindasan manusia atas manusia. Perbuatan itu dalam Islam jelas haram dan melanggar hak-hak Tuhan.

Namun demikian, ia mangatakan bahwa senyatanya dalam ajaran Islam terdapat juga ajaran yang mendukung adanya perbuatan menindas tersebut. Menurut Husein Muhammad, trafiking dan KDRT merupakan perbudakan dalam bentuk yang modern. Sedangkan masalah perbudakan dalam Islam belum sama sekali dihapuskan.

“Apakah perbudakan dianggap haram dalam Islam. Teks-teks yang mendukung adanya perbudakan itu sekarang masih ada. Dari sini kita bisa lihat apakah agama bisa menyelesaikan masalah atau malah menambah masalah,” terang kiai liberal ini.

Ia mencontohkan pada kasus kawin mut’ah (kawin kontrak). Menurutnya, kawin mut’ah tersebut sangat berpotensi terjadinya kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. Pasalnya, perempuan dalam hal tersebut benar-benar dalam posisi subordinat, laki-laki bisa memperlakukan sekehendak hatinya perempuan.(rif)


Terkait