Warta

Usulan Nama “Ansor NU” Ditolak

Senin, 25 Januari 2010 | 08:37 WIB

Jakarta, NU Online
Salah satu usulan yang mengemuka dalam muktamar ke-32 NU pada materi keorganisasian adalah perubahan nama dari GP Ansor menjadi GP Ansor NU untuk meneguhkan identitas ke-NU-annya.

Sekretaris Jenderal GP Ansor Malik Haramain berpendapat nama Ansor ini memiliki nilai sejarah sehingga tak perlu dilakukan perubahan yang sifatnya tidak substansial.<>

“Semua orang sudah tahu kalau Ansor ya NU,” katanya disela-sela pembukaan konferensi besar ke-16 di Jakarta, Senin (25/1).

Dari seluruh badan otonom pengkaderan NU, semuanya menggunakan embel-embel “NU” dibelakangnya seperti IPNU, IPPNU, Fatayat NU dan Muslimat NU, kecuali Ansor, yang dalam perjalannya telah melakukan berbagai pergantian nama dan hubungan yang tak selalu harmonis dengan PBNU.

Organisasi kepemudaan NU diiniasi pertama kali pada tahun 1931 dengan nama Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PPNU). Kemudian tanggal 14 Desember 1932, PPNU berubah nama menjadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU). Pada tahun 1934 berubah lagi menjadi Ansor Nahdlatul Oelama (ANO). Meski ANO sudah diakui sebagai bagian dari NU, namun secara formal organisasi belum tercantum dalam struktur NU, hubungannya masih hubungan personal.

Baru pada muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 21-26 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai Departemen Pemuda NU, satu tingkat dengan bagian da’wah, ekonomi, mubarrot dan Ma’arif.

Pada tanggal 14 Desember 1949 berlangsung di kantor PB ANO Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Pertemuan bersejarah itu dihadiri oleh menteri agama RIS KH.A. Wahid Hasyim. KH.A Wahid Hasyim mengemukakan pentingnya membangun kembali organisasi Pemuda Ansor karena dua hal: (1) Untuk membentengi perjuangan umat Islam Indonesia; (2) Untuk mempersiapkan diri sebagai kader penerus NU.

Dari pengarahan KH.A. Wahid Hasyim kemudian lahir kesepakatan: Membangun kembali organisasi ANO dengan nama baru: Gerakan Pemuda Ansor disingkat Pemuda Ansor, hanya kemudian dipergunakan GP Ansor karena lebih populer, disepakati Pucuk Pimpinan berkedudukan di Surabaya.

Hubungan yang tak Selalu Harmonis

Hubungan antara PBNU dengan GP Ansor tak selamanya berjalan mulus karena berbagai perbedaan pendapat, apalagi dengan sikap generasi muda yang memandang segala sesuatu dengan heroik.

Pada tahun 50-an, keretakan sempat terjadi antara PBNU dan Ansor yang akhirnya diselesaikan melalui Persetujuan Bersama PBNU-PP GP Ansor tertanggal 2 September 1951 yang ditandatangani bersama antara KH.Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam PBNU), KH M Dachlan (Ketua PBNU) dan Chamid Widjaja (Ketua Umum PP.GP.Ansor). Adapun isi persetujuan itu seperti berikut ini:

1. Bahwa dalam bidang politik GP Ansor tunduk kepada PBNU dan dalam bidang hukum apapun tunduk kepada PB Syuriah.
2. Bahwa GP Ansor adalah alat perjuangan NU
3. Bahwa GP Ansor tetap taat dan setia kepada NU dalam waktu dan keadaan yang bagaimanapun juga selama NU (saat itu Partai NU) tetap di pimpin oleh para Ulama ahlussunnah wal jamaah.

Guna melicinkan jalan ke kongres VI, PP. GP.Ansor mengadakan konferensi besar (Kombes) 26-27 Desember 1962 di kota Solo. Dalam konbes ini berbagai kendala yang menghadang aktifitas Ansor dikaji secara cermat. Hubungan NU-Ansor yang cenderung memburuk dan diliputi berbagai prasangka ketidaksetiaan Ansor terhadap induknya, juga dibahas secara mendalam.

Konbes kemudian mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan Deklarasi Solo yang isinya memperkuat kembali persetujuan bersama PBNU PP GP Ansor tertanggal 2 September 1951.
 
Dengan demikian, dalam masa 11 tahun (1951-1962) Ansor telah dua kali mengatakan Ikrar: tunduk, taat dan patuh kepada NU, Ibarat seorang anak, maka dalam kurun waktu 11 tahun Pemuda Ansor berlaku banal. Bahkan berkat kebinalannya itu timbul prasangka sementara kalangan (baik di dalam maupun di luar Partai NU) akan kesetiaan Ansor terhadap NU. Sehingga, ia harus menyatakan kembali komitmen dasarnya, yakni sebagai kader NU dan kader ahlussunnah wal jamaah.

Belakangan, hubungan NU dan Ansor di berbagai tingkatan kembali renggang. Salam sebuah kesempatan, wakil sekjen PBNU Saiful Bahri Anshori mengungkapkan Ansor dianggap hampir kehilangan jati dirinya sebagai pengawal NU dan ulama.

Malik Haramain sebenarnya sepakat dengan upaya PBNU untuk menata kembali hubungan keorganisasian dengan badan otonomnya. Namun jangan sampai NU bertindak terlalu jauh dengan mengeintervensi urusan internal masing-masing badan otonom.

Salah satu draft perubahan AD/ART adalah usulan ketua umum badan otonom dipilih oleh PBNU. Upaya ini dianggap terlalu masuk dalam urusan internal. (mkf)


Terkait