Dalam beberapa sumber –sebagaimana yang diuraikan sejarawan Agus Sunyoto misalnya- disebutkan bahwa Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ketujuh Masehi atau awal Hijriyah. Para pendakwah mencoba mendakwahkan Islam kepada masyarakat lokal Nusantara yang pada saat itu memeluk Hindu-Budha.
Tahun berganti tahun, abad berganti abad, selama tujuh abad berselang para pendakwah itu ‘gagal’ menancapkan ajaran Islam di bumi Nusantara. Masyarakat Nusantara tetap memeluk agama lamanya. Selama itu pula Islam tidak ‘digubris’, bahkan ditentang.
Keadaan berbalik ketika Islam didakwahkan Wali Songo pada abad ke-14. Dengan menerapkan dakwah yang kreatif, inovatif, dan revolusioner, Wali Songo berhasil mengambil hati masyarakat Nusantara hingga akhirnya mereka menerima Islam. Kiprah Wali Songo dalam mengislamkan masyarakat Nusantara sangat lah luar biasa. Bayangkan, hanya dalam kurun waktu setengah abad, masyarakat Nusantara –sepanjang pesisir Jawa- memeluk Islam. Semenjak itu, Islam terus berkembang ke seluruh wilayah Nusantara hingga sampai hari ini.
Dalam sejarahnya, Islam begitu mewarnai sendi-sendi kehidupan –budaya, adat, tradisi- masyarakat Nusantara. Pun sebaliknya. Terjadi dialektika diantara keduanya sehingga membentuk karakter Islam yang khas Nusantara.
Dewasa ini karakter Islam yang seperti itu dikenal dengan istilah Islam Nusantara. Nahdlatul Ulama (NU) lah yang mengusung dan menggaungkan istilah tersebut. Islam Nusantara terus digali dan dikembangkan sehingga menjadi sebuah konsepsi yang kukuh. Tidak lain, ini dimaksudkan –salah satunya- sebagai antitesa dari Islam transnasional yang semakin berkembang di wilayah Nusantara, Indonesia.
Sabtu, (7/7) kemarin, Islam Nusantara Center (INC), menerbitkan sebuah jurnal dengan nama The International Journal of Pegon: Islam Nusantara Civilitation (Jurnal Pegon). Sebuah jurnal yang dimaksudkan –salah satunya- sebagai upaya untuk menggali khazanah peradaban Islam Nusantara.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Jurnal Pegon, Jurnalis NU Online A Muchlishon Rochmat, berkesempatan mewawancarai Managing Editor Jurnal Pegon A. Khoirul Anam. Berikut petikan wawancaranya:
Apa maksud dan tujuan dari penerbitan Jurnal Pegon ini?
Kita ingin mengulas kajian secara lebih mendalam tentang beberapa hal terkait dengan Islam Nusantara. Mulai dari manuskrip, perkembangan Islam di berbagai daerah di Nusantara, dan lainnya.
Di samping melakukan kajian yang lebih mendalam, melalui jurnal ini kita juga berupaya untuk mengonseptualisasikan Islam Nusantara yang sudah dipraktikkan selama ini. Sehingga menjadi konsep yang baku, bisa dijelaskan secara ilmiah, dan bisa ‘diekspor’ ke luar negeri.
Ini juga merupakan upaya untuk memagari dan model keislaman yang sudah dibangun selama berabad-abad agar tidak rusak disebabkan masuknya paham keislaman baru dan teknologi.
Kenapa namanya Jurnal Pegon?
Kita ingin menggugah kembali kekayaan besar dalam Islam Nusantara, yakni huruf pegon. Kita tahu bahwa huruf pegon adalah perpaduan antara bahasa lokal dengan huruf Arab. Dulu, pegon digunakan para ulama untuk mengelabuhi kolonial karena pada saat itu penjajah sudah mulai belajar bahasa Arab. Hingga hari ini pegon masih digunakan di pesantren-pesantren.
Di dalam istilah pegon sendiri memuat pesan bahwa Islam Nusantara itu juga terkait dengan wacana keilmuan. Pegon adalah bagian dari khazanah peradaban Islam Nusantara.
Apakah artikel-artikelnya ditulis dengan huruf pegon mengingat namanya Jurnal Pegon?
Secara bertahap nanti akan ditulis dengan huruf pegon. Kita terus memikirkan akan hal itu, tapi untuk bahasa Inggris sepertinya tidak akan bisa. Yang artikel bahasa Indonesia akan ditulis dengan huruf pegon.
Di cetakan pertama ini, ada delapan artikel. Dua diantaranya ditulis dengan menggunakan huruf pegon; (artikel tentang Syekh Muhammad Mukhtar Atharid Al-Bughuri yang ditulis Ginanjar A Sya’ban dan Syekh Nawawi Al-Bantani yang ditulis Dzulkifli Hadi Imawan). Selain itu, semua abstrak artikel ditulis dengan tiga bahasa; Indonesia, Inggris, dan pegon.
Apa sih yang khas dari Jurnal Pegon ini?
Yang khas dari jurnal ini adalah seri kajian manuskrip ulama Nusantara yang belum diterbitkan secara masif. Pada intinya, jurnal ini berupaya untuk menuangkan kajian-kajian yang dilakukan oleh teman-teman, baik yang berada di dalam atau di luar lingkungan perguruan tinggi, di dalam atau di luar pesantren, serta di dalam atau di luar negeri, mengenai Islam Nusantara.
Apa target dari penelitian Islam Nusantara yang dilakukan secara mendalam?
Kita berupaya mengonseptualisasikan Islam Nusantara sehingga menjadi konsep yang baku, bisa dijelaskan secara ilmiah. Target ideal kita adalah kita ingin Islam yang diterapkan di Indonesia ini bisa menjadi prototipe keislaman luar negeri.
Namun yang perlu diingat, ketika bicara Islam Nusantara maka tidak harus disandingkan dengan Arab atau dibanding-bandingkan. Kita ingin menjelaskan bahwa apa yang diajarkan oleh para ulama itu seperti ini.
Jurnal Pegon ini terbit berapa kali dalam satu tahun?
Jurnal ini terbit dua kali dalam satu tahun.
Untuk penulisnnya apakah ada kriteria khusus atau seperti apa?
Kita membuka dan mengundang para peneliti-peneliti dari luar untuk menulis di jurnal ini. Seperti jurnal pada umumnya, mereka bisa mengirimkan karya-karyanya, nanti akan diseleksi oleh tim editor kita. Struktur dan sistematika penulisannya sama seperti standar jurnal internasional lainnya.
Kalau ada yang mengirimkan karya, bisa dikirim langsung ke email: jaringansantri95@gmail.com.