Wawancara

Kisah Waskito Jati, Santri Krapyak Peraih Beasiswa di Harvard University

Selasa, 19 April 2016 | 06:30 WIB

Kisah Waskito Jati, Santri Krapyak Peraih Beasiswa di Harvard University

Waskito Jati

Melalui langkah yang berliku, belajar, dan usaha kerasnya, Waskito Jati (26) Alumnus MA Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, Bantul, Yogyakarta berhasil meraih beasiswa di Harvard University. Dia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi di Program Master of Theological Studies (MTS) di Harvard Divinity School dengan jurusan Islamic Studies.

Bagaimana proses kerja kerasnya dalam meraih beasiswa tersebut? Berikut kisah yang diutarakan oleh Waskito Jati melalui hasil wawancara yang dikirimkan ke NU Online.

Bagaimana awalnya anda bermimpi bisa kuliah ke luar negeri?

Tujuh tahun yang lalu, setelah membaca doa witir di pojok Masjid al Munawwir di Pondok Pesantren Krapyak, saya menggumamkan doa yang saya sendiri sedikit tidak yakin jika doa ini masuk akal. Saya meminta kepada Allah agar saya diberikan kesempatan untuk berkuliah di universitas terbaik di dunia. Mengingat ibu saya yang hanya lulus SD dan ayah saya yang hanya lulus SMP, wajarlah jika saya berpikir mungkin doa ini agak terlalu berlebihan. Walaupun begitu, doa dan usaha saya untuk mencapai mimpi tersebut tidaklah berhenti hanya karena keraguan itu. Man jadda wa jada, sering kali diucapkan oleh kyai saya untuk memberi semangat kepada para santrinya agar terus berusaha sekuat tenaga untuk mencapai mimpinya. 

Lalu apa yang terjadi kemudian?

Setelah bertahun-tahun membanting tulang untuk bekerja sembari kuliah dan berorganisasi, saya mendapatkan email dari Harvard University yang memberikan selamat kepada saya atas diterimanya saya sebagai salah satu dari sedikit mahasiswa yang lolos dalam program Master of Theological Studies (MTS) di Harvard Divinity School dengan jurusan Islamic Studies. Tidak hanya diterima, saya bahkan dibebaskan dari biaya kuliah yang bisa mencapai ratusan juta rupiah karena Harvard juga menawarkan saya beasiswa yang akan mencakup biaya kuliah dan sedikit uang saku untuk saya. Ternyata doa saya menjadi kenyataan, dan ternyata usaha saya adalah tidak sia-sia. 

Bagaimana anda memaknai keberhasilan yang diperoleh?

Satu hal yang saya pelajari dalam perjalanan saya menggapai mimpi ini adalah bahwa tidak ada mimpi yang terlalu tinggi. Semua mimpi itu dapat diraihkan asalkan kita dapat menuliskan proses untuk mencapai mimpi itu dalam kalender sehari-hari kita. Berapa jam saya akan membaca satu buku di hari ini, berapa vocabulary yang akan saya hafalkan setiap hari dan berapa essay yang akan saya tulis setiap harinya. Itulah yang saya lakukan selama bertahun-tahun ini. Berusaha untuk membangun kualitas diri yang setidaknya mendekati kualifikasi yang diinginkan oleh sekolah yang saya tuju. Proses ini tidaklah cukup hanya tiga atau empat bulan. Dalam pengalaman saya, proses ini memakan waktu kurang lebih delapan tahun.

Selain proses, apa resep anda bisa menembus Harvard University?

Kualitas yang dicari oleh semua universitas di luar negeri pastinya adalah kemampuan bahasa asing. Saya tahu ini pasti akan disyaratkan untuk mendaftar kuliah di luar negeri sejak saya kelas satu di MA Ali Maksum. Oleh karena itu saya bergabung dengan organisasi debat Bahasa Inggris di sekolah saya. Saya sangat bersyukur dengan MA Ali Maksum karena keikhlasan guru-gurunya yang tiada tara. Pelatih debat Bahasa Inggris saya yang bernama Bapak Abu Ali al-Hussein, melatih kami satu tim setiap hari dari ba’da Isya’ dan seusai mengaji sorogan hingga tengah malam tanpa diberikan bayaran tambahan. Hanya dengan memasak mie instan bersama-sama pun kami merasa puas. Hasil kerja keras kami juga mengantar kami untuk menjadi juara satu dalam lomba debat Bahasa Inggris se-DIY di tahun 2008 mengalahkan banyak SMA favorit lainnya di Yogyakarta. 

Belajar di madrasah yang juga pondok pesantren, apakah menguntungkan bagi anda?

Sangat menguntungkan. Saya justru bersyukur dapat tinggal satu asrama dengan teman-teman yang nantinya akan menjadi teman seumur hidup. Tidak hanya itu, di Pondok Pesantren Krapyak itulah saya berkenalan dengan banyak buku dan pemikiran yang tidak akan saya dapat jika saja saya tinggal di rumah sendiri. Saya sering kali terlibat diskusi hangat dengan teman-teman satu kamar saya untuk membahas masalah-masalah besar di dunia. Pada saat saya dihadapkan dengan interview untuk program pertukaran pelajar di tahun 2008, saya tidak kaget dan kesulitan berkat semua diskusi yang telah saya lakukan di asrama. Walhasil, saya berhasil mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar ke Amerika Serikat selama satu tahun di tahun 2008-2009. 

Apakah anda pernah merasa gagal?

Setiap proses untuk menuju kesuksesan tentunya akan diiringi dengan beberapa kegagalan. Sepulang dari program pertukaran pelajar, saya harus mulai memikirkan kemana akan berkuliah. Saya tidak memiliki banyak pilihan saat itu karena ayah saya baru saja meninggal dunia dua tahun sebelumnya sedangkan biaya kuliah tidaklah murah. Saya pun mendaftar program beasiswa pesantren, dan juga beasiswa dari Universitas Paramadina. Namun tidak diterima. Saya juga mendaftar dan sudah diterima di Fakultas Hukum UII dan bermaksud untuk mendaftar beasiswa pesantren yang disediakan oleh UII. Namun saya harus melakukan registrasi dahulu dan membayar Rp 8 juta sebelum bisa mengikuti seleksinya. 

Lantas, apa yang terjadi?

Jelas saya tidak mampu untuk membayar sejumlah itu dan pupus juga harapan saya untuk kuliah di UII. Akhirnya, hanya ada satu kampus yang akan dapat memberikan saya pendidikan yang terjangkau, yaitu kampus UIN Sunan Kalijaga. Bismillah, saya memilih jurusan Jinayah Siyasah di UIN Sunan Kalijaga. Meski sedikit kecewa, namun saya masih yakin bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih baik. Saya jalani masa kuliah dengan serius. Duduk selalu di depan dosen, aktif dalam riset dan organisasi, dan menjaga nilai IP agar tetap diatas 3,8. 

Siapa yang selama ini membimbing anda menekuni riset?

Dalam dunia riset dan akademis, saya belajar dengan bimbingan Prof. Noorhaidi Hasan, direktur program pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga dalam pembahasan mengenai hukum perang dalam Islam dan jihad diandingkan dengan Hukum Humaniter Internasional.

Apa yang anda peroleh dari riset tersebut?

Hasil dari riset ini, nantinya dapat digunakan untuk menganalisa keabsahan strategi perang ISIS serta untuk memberikan counter argument terhadap tuduhan yang diarahkan kepada Islam berkaitan dengan terorisme dengan menunjukkan kesamaan prinsip antara Islam dengan peraturan PBB. Dalam studi saya nantinya, saya berkeinginan untuk mengembangkan lagi diskursus peraturan perang dalam Islam ini.

Selain kuliah S1 di UIN Sunan Kalijaga, apa kesibukan anda?

Selain berkuliah, saya juga aktif dalam organisasi di luar kampus. Selama tahun 2010-2014 saya menjadi volunteer di organisasi Bina Antarbudaya yang juga organisasi yang mengirim saya ke Amerika dulu saat saya SMA. Dimulai dengan volunteer biasa hingga akhirnya saya diangkat menjadi Vice President untuk chapter Yogyakarta. Saya biasa rapat berkali-kali setiap minggunya dan mengurus banyak agenda organisasi. Juga menjadi Presiden dari asosiasi alumni program pertukaan pelajar saya yang bernama IYAA. Selama memimpin organisasi ini, saya membuat proyek yang berskala nasional seperti pengumpulan buku di 15 kota di Indonesia, donor darah massal, hingga hari mengajar nasional. Bersama dengan organisasi saya ini, saya seringkali diundang untuk mengikuti training dan rapat di luar negeri mulai dari Filipina, hingga Yordania dan Ghana.

Bagaimana anda bisa melakukan begitu banyak aktivitas?

Terkadang saya juga tidak percaya bagaimana saya bisa melakukan hal itu semua selama saya kuliah. Saya harus memenuhi semua kebuthan saya pribadi saya sendiri, sehingga saya berkerja sebagai guru privat Bahasa Inggris. Dengan semua kegiatan ini, saya berangkat ke kampus pukul 8 pagi dan pulang sampai rumah pukul 9 malam. Saya selalu berdoa dua hal selama saya kuliah, pertama agar tidak ada polisi di jalan raya karena motor butut saya sudah lama tidak dibayar pajaknya dan juga karena saya tidak punya SIM. Kedua adalah supaya saya tidak kehabisan bensin di jalan karena uang saya sudah benar-benar habis. Sepertinya Allah sudah melindungi saya, walaupun pernah saya satu kali tertangkap polisi karena plat motor saya kadaluwarsa.

Bisa anda ceritakan setelah lulus dari UIN?

Saya berhasil lulus dengan IP tertinggi UIN (walalupun tidak tercepat). Saya juga langsung mendapatkan perkerjaan di kantor Australian National University di Yogya selama beberapa bulan. Saya sudah mulai memikirkan untuk mendaftar beasiswa untuk sekolah lagi, dan biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Alhamdulillah saya dapat mengambil test IELTS dan meraih nilai 7.5. Saya pun mendaftar beasiswa LPDP dengan bekal ini. (LPDP adalah Lembaga Pengelola Dana Pendidikan. Beasiswa ini adalah beasiswa yang berasal dari Pemerintah Indonesia yakni Kementerian Keuangan. Keberadaan beasiswa ini sangat populer di kalangan pencari beasiswa-red)

Sayangnya, Allah belum berkenan dan saya ditolak program LPDP di tahun 2015 lalu. Kecewa pastinya, namun kegagalan inilah yang mendorong saya untuk mencari kampus terlebih dahulu. Karena nilai IELTS (International English Language Test System) saya memadai untuk mendaftar di beberapa universitas terbaik di dunia, saya mencoba mendaftar ke sekolah-sekolah besar seperti University of Chicago dan Harvard University. Mendaftar di kampus Amerika memiliki syarat yang lebih ketat dibandingkan dengan kampus selain Amerika. Selain IELTS saya harus juga mengambil test GRE (Graduate Record Examination) yang bisa dibilang sepuluh kali lebih sulit dari IELTS. 

Saya selalu belajar otodidak karena les GRE biayanya sangat mahal dan gaji saya sebagai guru les Bahasa Inggris tidaklah cukup. Belajar GRE ini adalah pengalaman belajar yang paling ekstrem yang pernah saya lakukan. Karena level kesulitannya, selama persiapan lima bulan, saya harus menghafalkan sekitar 25 kosakata Bahasa Inggris yang kebanyakan sangat sulit setiap harinya. Tiap hari, saya juga harus latihan menulis dua esai. Di akhir persiapan belajar, saya telah menghafalkan kira-kira 1.800 kosakata dan menulis kurang lebih 80 esai. Berangkatlah saya ke Surabaya untuk mengikuti tes ini. Hasilnya cukup memuaskan, walaupun nilai writing masih di bawah standar rata-rata Universitas Chicago dan Harvard, namun saya beranikan diri untuk mendaftar ke kedua universitas unggulan di Amerika itu. 

Lalu apa yang terjadi kemudian?

Setelah usaha berbulan-bulan, saya mendapatkan email di awal Maret kemarin bahwa saya diterima di University of Chicago dan juga ditawarkan beasiswa yang akan menutupi 50 persen dari biaya pendidikan. Saya sangat bahagia medapatkan kabar ini. Satu minggu kemudian, ada email masuk dari Harvard. Dalam hati, saya berfikir, “Apapun yang terjadi, kamu telah melakukan yang terbaik”, dan email itu pun saya buka. Alangkah terkejutnya saya membaca kata “Congratulation!” di awal surat tersebut, yang memberikan selamat kepada saya yang telah diterima di Harvard University. Selain itu, Harvard juga membebaskan dari biaya kuliah dan memberi sedikit uang saku. Saya sungguh tidak percaya bahwa Harvard benar-benar ingin saya bergabung dengan institusi mereka. Dalam email itu juga dilampirkan sebuah link video yang berisi pesan selamat atas diterimanya saya di Harvard University. Barulah disana saya sadar bahwa ini semua adalah kenyataan. Semua kegagalan saya di masa lalu, kerja keras selama bertahun-tahun dan doa yang saya panjatkan delapan tahun lalu kembali ke ingatan saya. Saya hanya bisa bersujud syukur dan berterima kasih kepada Allah atas jalan yang ditunjukkan-Nya. 

Bagaimana tanggapan orang tua, dalam hal ini Ibu terhadap keberhasilan anda menembus Harvard?

Pada saat saya memberi tahu ibu bahwa diterima di Harvard University, ibu bertanya dengan lugunya “Opo kuwi, Le? (Apa itu, Nak?)”, maklumlah karena ibu mungkin belum pernah dengar apa Harvard itu. Setelah saya terangkan, ibu bangga dan bahagia tentunya. Mungkin ibu tidak berdoa secara spesifik supaya saya diterima di Harvard, namun apapun doa beliau saya yakin itulah yang mengantar saya di titik sekarang ini. 

Bagi anda pribadi, apakah kisah anda sudah selesai?

Tentu saja belum selesai. Saya harus mencari dana tambahan untuk biaya hidup di Harvard nantinya. Walaupun saya sudah tidak harus membayar pendidikannnya, biaya hidup disana belum terpenuhi, sedangkan beasiswa LPDP, walaupun misalnya nantinya diterima, tidak dapat memberangkatkan saya tahun ini karena prosedur jarak waktu yang dimiliki. 

Saya saat ini sedang berusaha agar ada donatur yang berkenan membantu saya mewujudkan mimpi saya dan keluarga agar saya dapat meneruskan pendidikan di Harvard. Fase ini sejujurnya adalah fase yang lebih menakutkan, apakah saya bisa benar-benar berangkat ke Harvard? Saya tidak lagi bisa berusaha sendiri dalam tahap ini. Semoga ini juga termasuk rencana Allah, seperti rencana-rencananya di masa lalu, entah apa ujungnya nanti semoga saya dapat dengan ikhlas dan kuat menghadapinya. 

(Bap/Fathoni)


Terkait