Wawancara

Peneliti Jepang: Islam Nusantara Tetap Islam Asli

Selasa, 1 Januari 2019 | 00:00 WIB

Islam Nusantara yang menjadi tema muktamar NU ke-33 di Jombang Jawa Timur pada 2015 seperti tak sepi dibicarakan banyak orang. Ada yang menolak, tak sedikit pula yang menerima. Bagi PBNU yang menolak itu karena salah paham karena sebenarnya tidak ada perbedaan ajaran Islam Nusantara dengan Islam Ahlussunah wal Jamaah atau Islam rahmatan lil alamin. 

Dalam berbagai kesempatan, KH Ma'ruf Amin saat menjadi Rais Aam PBNU mengatakan bahwa Islam Nusantara adalah Ahlussunah wal Jamaah. Hanya mengganti kulitnya saja. Tidak ada yang berubah dari ajarannya. Tidak ada yang berbeda dari cara beribadahnya. 

Ternyata Islam Nusantara menjadi perhatian dari peneliti asing. Salah satunya dari Jepang yaitu Hisanori Kato yang bisa berbahasa Indonesia. Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai profesor di Faculty of Policy Studies di Chuo University saat berkunjung ke PBNU, Kamis (27/12). Berikut Petikannya: 

Menurut Anda bagaimana Islam Nusantara itu? 

Saya bukan seorang yang menilai, tapi saya ingin observasi.

Bagaimana hasil observasinya? 

Judul paper saya, Religion and Locality, agama dan lokalitas. Minat saya adalah bagaimana agama yang ajaran asli itu masih bisa tetap asli di tempat lain pada zaman lain. Contohnya kalau agama Buddha di India dan di Jepang. Bagaimana pengaruh lokalitasnya apakah ada pengaruh dalam ajaran kalau waktunya berbeda, tempat berbeda, makna agama berbeda, berubah atau tidak. Itu pertanyaan saya. Kalau begitu, saya punya ide, saya punya teori religion dan organism, walaupun agama sendiri itu tetap ada ajaran yang sesungguhnya di akar, tetapi di dalam agama Islam ada beberapa pembagian yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, kondisi politik, ekonomi, apa saja. 

Karena itu, kelihatannya berbeda, tetapi masih tetap Islam. Itu observasi saya. Di dalam Islam Nusantara, keaslian Islam tidak hilang, melainkan keaslian Islam sangat ditekankan. Ada banyak orang yang menjelaskan hubungan Wali Songo dan Nabi Muhammad. Itu asli. Tetapi kadang-kadang agama di dalam teori saya, Islam dan organism atau religion and organism; agama sebagai organism itu bisa terjadi kelihatannya sedikit berbeda seperti tahlilan itu. Tapi itu masih tetap. Tapi kelihatannya, itu tidak terjadi di Arab Saudi. Orang salasfis di sini tidak mau kan. 

Dengan tahlilan, keaslian Islamnya masih terjaga? 

Iya, kalau menurut saya. Karena ajaran agama Islam sesungguhnya ada itu misalnya memelihara perdamaian, menghormati manusia itu kan tetap sama. 

Kenapa Islam Nusantara menjadi perdebatan dan ditolak kalangan salafis? 

Di dalam agama, menurut saya, ada dua kelompok, ada dua aliran. Yang satu adalah mungkin saya sebutkan itu sebagai masyarakat Islam yang ideological. Tapi ini adalah masyarakat yang pada zaman Nabi Muhammad. Ada banyak orang yang ingin mengembalikan kehidupan seperti yang dulu seperti sama. Tapi mereka belum berhasil. Mereka berjuang membuat masyarakat yang lalu pada zaman Nabi Muhammad. Itu yang berkaitan dengan teologi, literalis, apa saja yang ditulis di dalam Al-Qur’an atau hadits itu mereka sangat taat, sangat ingin dipelihara. 

Pada saat yang sama ada kelompok lain yang saya sebut muslim society atau masyarakat Muslim. Muslim adalah manusia. Manusia itu fleksibel, mereka mudah dipengaruhi oleh kondisi sosial. Saya kira, Gus Dur adalah seorang yang dari masyarakat Muslim society atau masyarakat Muslim. Tetapi di dalam Islam secara utuh, di sini ada bagian masyarakat Islam di sini juga masyarakat Muslim, dua-duanya tetap masih ada di dalam Islam yang secara utuh. Dua bagian itu bukannya terpisah seratus persen. Tidak. 

Tapi kalau dari sudut pandang saya dari sudut sosial antropologis, ada dua kelompok itu sangat alami karena agama secara utuh itu biasa, ada di mana-mana, itu terjadi. 

Kelompok yang ingin menerapkan ajaran sama persis di zaman Rasulullah itu bagaimana dalam pandangan sosial antropologis? 

Itu fenomena biasa. Ada dimana-mana. Di Jepang juga ada orang yang seperti orang fundamentalis di sini. Di Jepang, ayah punya anak perempuan harus kembali sebelum jam sembilan. Banyak itu. Mereka seperti itu, sangat ingin seperti masa lalu. Seratus tahun lalu, perempuan seperti itu. Masih banyak. Dalam apa saja ada. Karena itu, menurut saya, dua-duanya alami bagi saya, dari sudut pandang sosial antropologi. 

Bagaimana kalau yang satu menyalahkan yang lain? 

Bagaimana? 

Misalnya satu kelompok menyalahkan kelompok Muslim yang melakukan tahlilan? 

Tidak bisa memutuskan seperti itu. Saya tidak tahu karena saya bukan orang yang bisa memutuskan semuanya. Fenomena-fenomena seperti itu dalam kajian saya adalah alami. Kalau saya diminta menjelaskan agama Islam secara utuh saya akan menjelaskan seperti itu. 

Seorang teroris itu, bukan representasi dari masyarakat Islam karena sangat didasari oleh pemikiran pribadi itu. Tapi kalau bagian dasar itu, yang benar itu, asli ajaran Islam, tidak membolehkan aksi terorism karena itu mereka, yang terorism itu, bukannya dari masyarakat Islam. 

Dari hasil penelitian Anda tentang Islam Nusantara, itu apa kesimpulannya atau paling tidak definisinya? 

Islam Nusantara adalah fenomena agama yang sangat alami dan Islam Nusantara adalah ide yang sangat penting untuk memelihara kebaikan Islam juga. Tapi Islam Nusantara pada saat yang sama masih mungkin dipengaruhi oleh politik juga. Islam Nusantara adalah fenomena yang bisa membantu kerukunan di Indonesia atau mungkin di dunia. Kalau saya rasa begitu kalau saya harus berikan definisi.  

Kenapa sampai mendeskripsikan Islam Nusantara untuk Indonesia dan dunia?

Karena sesedikitnya dalam Islam Nusantara Anda menekankan kepentingan kebudayaan lokal. Karena kalau Anda salafis atau orang yang apa saja, seperti fundamentalis Buddha, Kristen, mungkin agak lebih tertutup terhadap apa yang berkaitan dengan perilaku sosial. Tapi kalau orang-orang yang menerima Islam Nusantara agak lebih terbuka terhadap kebudayaan lokal. Karena itu saya kasih judul paper saya, Islam Religion and Locality. 

Menurut Anda, gagasan Islam Nusantara turut serta untuk mendamaikan dunia, aktor-aktor pengusungnya harus bagaimana? 

Mungkin yang harus menyampaikan asli pemikiran Islam Nusantara, harus menyampaikan kepada orang lain, termasuk non-Muslim karena ada banyak salah paham mengenai Islam di luar umat Islam. Karena itu, Anda harus memberi tahu bahwa ada banyak orang yang sangat menghargai kebudayaan lokal, fleksibilitas juga. 

Apakah Anda mengetahui pakar lain yang berkomentar tentang Islam Nusantara?

Mungkin ada, tapi saya tidak tahu. Tapi banyak orang, Indonesianis yang berminat melihat ini dari sudut pandang politik misalnya, tetapi saya melihatnya dari sudut pandang sosial antropologi. 

Banyak itu dari mana? 

Ada banyak. 

Dari mana saja? 

Iya, saya kira. Mungkin ada banyak orang. Mungkin mereka melihat  Islam Nusantara, iya, karena saya tidak melihat Islam Nusantara itu dari sudut benar yang lain terbalik, saya tidak, tapi saya melihat fenomena. Tapi banyak orang di luar Islam cenderung berpikir menekankan ini yang benar. Banyak orang yang bilang bahwa Islam Nusantara, Islam yang benar, good Islam. Tapi saya tidak bilang begitu. Islam Nusantara itu bagus untuk moderate Islam dan sebagainya. Tapi itu fenomena umat Islam secara utuh. 

Setahu saya sikap orang-orang yang mengakui Islam Nusantara begitu jelas terhadap kelompok minoritas terhadap LGBT, Ahmadiyah, Syiah dan sebagainya. Belum ada deklarasi secara resmi. Bagi saya belum jelas. Bagi saya ada perbedaan pendapat-pendapatnya antara ulama-ulama itu tentang minoritas karena ada toleransi di dalam Islam Nusantara. Toleransi kepada kebudayaan lokal itu yes, sangat toleran. Tapi toleransi terhadap untuk minoritasnya, menurut saya, kurang jelas. Ada perdebatan mungkin. Ulama-ulama mungkin beda-beda kan. Kalau saya tidak salah, Pak Ma’ruf ini dulu mengeluarkan fatwa LGBT dari MUI. 

Ada usul untuk pengembangan Islam Nusantara ke depan? 

Terserah. Saya tidak tahu.    



Terkait