Daerah

Indonesia Bukan Negara Sekuler, Apalagi Thogut

Kamis, 9 Januari 2020 | 13:00 WIB

Indonesia Bukan Negara Sekuler, Apalagi Thogut

Rais Syuriyah PBNU, KH Afifuddin Muhajir saat menjadi narasumber dalam FGD, Rekonstruksi Fiqih Zakat, Dari Dimensi Ibadah Menuju Mu’amalah di aula Fakultas Syariah IAIN Jember, Rabu (8/1). (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online

Tudingan beberapa pihak bahwa Indonesia adalah negara sekuler, apalagi toghut adalah tidak benar. Sebab walaupun bukan negara agama tapi Indonesia memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan ajaran agamanya secara bertanggungjawab.

 

Dengan realitas tersebut, maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk memberi lebel Indenesia dengan cap sekuler. Sebab nyatanya Indonesia adalah negara yang beragama meski bukan negara agama.

 

“Sangat jelas bukti-buktinya bahwa Indonesia bukan negara sekuler,” jelas Rais Syuriyah PBNU, KH Afifuddin Muhajir saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion, Rekonstruksi Fiqih Zakat, Dari Dimensi Ibadah Menuju Mu’amalah di aula Fakultas Syariah IAIN Jember, Rabu (8/1).

 

Menurutnya, lebel toghut yang disematkan oleh pihak-pihak tertentu kepada pemerintah Indonesia juga tidak benar. Pancasila yang merupakan ideologi negara sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sehingga tidak ada alasan untuk menuding Indonesia sebagai negara thogut.

 

“Sekali lagi, tidak ada alasan Indonesia disebut pemerintahan toghut,” ucapnya.

 

Di bagian lain, Kiai Afifuddin menjelaksan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan dalam syariat Islam. Misalnya, soal kewajiban orang menikah untuk dicatatkan di KUA (Kantor Urusan Agama). Sementara dalam Islam tidak ada kewajiban orang menikah harus mendapat suarat nikah.

 

“Tapi karena pemerintah mewajibkan kita ikut,” ucapnya.

 

Di tempat yang sama, a’wan PCNU Jember, HM Misbahus Salam menegaskan bahwa Indonesia menjadi negara yang aman bagi semua penganut agama yang beraneka ragam, tak lepas dari peran NU. Menurutnya, NU senantiasa mendorong praktik Islam yang rahmatan lil’alamin. Yaitu Islam yang menjadi rahmat bagi segenap alam, termasuk bagi semua manusia yang tentu tidak sama agamanya.

 

“Islam itu harus menjadi payung, menjadi kesejukan bagi semua gologan dan pemeluk agama. Sehingga Islam menjadi agama rahmat,” terangnya.

 

Katanya, NU menjadi jangkar bagi kokohnya agama (Islam) yang menjunjung tinggi toleransi dan moderasi. Sehingga dalam menerapkan ajaran agama, NU tidak pro kiri (radikal) atau kanan (liberal).

 

“Itulah salah satu prinsip NU adalah tawassuth (moderat),” ucapnya.

 

Pewarta: Aryudi AR

Editor: Ibnu Nawawi