Nasional

Ekonomi Tak Menentu, Pengamat Nilai Masyarakat Sadar Investasi Jangka Panjang dengan Berburu Emas

NU Online  ·  Selasa, 15 April 2025 | 16:00 WIB

Ekonomi Tak Menentu, Pengamat Nilai Masyarakat Sadar Investasi Jangka Panjang dengan Berburu Emas

Masyarakat berburu emas menunjukkan sadar investasi jangka panjang. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Emas semakin menjadi primadona di tengah melejitnya harga logam mulia. Setelah Lebaran, masyarakat tampak berburu logam mulia dengan mendatangi toko-toko penjualan emas.


Yulita, salah satu warga Jakarta mengaku sengaja ingin membeli emas logam mulia untuk investasi jangka panjang.


"Iya untuk investasi jangka panjang dan mengantisipasi dampak ekonomi," kata dia kepada NU Online, Selasa (15/4/2025).


Fenomena ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Wilayah Surabaya dan sekitarnya dalam beberapa pekan terakhir juga ramai oleh warga yang berburu emas.


Analis Pasar Uang Ibrahim Assuaibi menyebut fenomena ini langka. Biasanya setelah Lebaran, masyarakat justru berbondong-bondong menjual atau menggadaikan perhiasan logam mulia namun tahun ini berbeda.


"Menurutnya, masyarakat kini sudah lebih sadar akan kondisi ekonomi global. Sosialisasi masif dari media tentang situasi ekonomi dan kenaikan harga emas turut memengaruhi perilaku masyarakat," kata Ibrahim kepada NU Online, Selasa (15/4/2025).


Selain itu, masyarakat juga memahami alasan di balik pentingnya membeli emas logam mulia di tengah ekonomi global sedang tidak stabil. Berkali-kali Presiden Prabowo menyatakan bahwa kondisi ekonomi terguncang akibat perang dagang, geopolitik, dan faktor lainnya.


"Ini yang membuat masyarakat fomo, ikut-ikut membeli walaupun harga emas dunia atau logam mulia saat ini sudah terlalu tinggi," ujarnya.


Harga emas Antam kembali naik. Meski hanya mencatat kenaikan tipis, angka Rp 1,9 juta per gram yang tercapai Selasa (15/4/2025) menandai posisi penting bagi para pemegang logam mulia.


Ibrahim memprediksi harga ini masih akan terus meningkat. Harga emas dunia bisa mencapai 3.400 dollar AS per troy ons pada kuartal III. Jika nilai tukar rupiah bertahan dikisaran Rp 16.800 hingga Rp 17.000, maka harga emas antam di dalam negeri bisa menembus Rp 2,3 juta.


"Ini yang membuat masyarakat berasumsi sehingga mencari lindung nilai. Kalau seandainya terjadi perang atau inflasi tinggi, maka harga emas akan naik," jelasnya.


Ibrahim mengatakan fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara lain seperti Amerika, Eropa, dan Asia juga mengalami hal yang sama. Orang-orang kaya mulai menarik dana dari bank dan menyimpan uang tunai karena khawatir terhadap resesi global atau ancaman perang dunia ketiga.


"Fenomena ini juga dimanfaatkan masyarakat luas, termasuk Tiongkok dan India. Ini pun terjadi fomo," bebernya.


Akibat tingginya permintaan, imbuh Ibrahim, maka tak heran banyak gerai emas kehabisan stok. Biasanya, gerai Antam menargetkan penjualan harian sebesar 1 kg, dengan porsi 10 gram, 30 gram, atau 50 gram. Sementara gerai tidak menyediakan banyak emas logam karena sangat beresiko.


"Karena yang melakukan pembelian begitu banyak, wajar kalau seandainya terjadi kekosongan. Mereka tidak tahu akan terjadi fomo," katanya.


Ibrahim menyebut fenomena sekaligus membantah anggapan bahwa daya beli masyarakat menurun. Faktanya, masyarakat tetap mampu membeli emas, baik secara fisik maupun online.


"Transaksi di bank emas atau bullion bank yang didirikan pemerintah dalam sepekan  tembus di atas 1 triliun rupiah. Masyarakat menabung dan menginvestasikan dana di bullion baik di BSI maupun pegadaian," katanya.


Ibrahim menilai masyarakat kini melek pentingnya investasi. Meski harga emas sedang tinggi, mereka tetap membeli untuk tujuan jangka panjang. 


"Dengan begitu, masyarakat masih punya waktu dan peluang dalam 3–5 tahun untuk menjual kembali dengan harga lebih tinggi," pungkasnya.