Rikhul Jannah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Kasubdit Bina Paham Keagamaan Islam Kemenag Muhammad Syafaat menyampaikan pentingnya memahami hak beragama dalam moderasi beragama di Indonesia. Hal tersebut ia sampaikan dalam acara Webinar Media Gathering Pemberitaan Moderasi Beragama untuk Mendukung Pemenuhan Hak Beragama: Dari Advokasi Hak Asasi Manusia sampai Transformasi Konflik pada Jumat (25/4/2025).
Syafaat menjelaskan bahwa dasar hukum moderasi beragama berawal dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalamnya, ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduknya untuk memeluk agamanya dan beribadat berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Baca Juga
Mengelola Kebebasan Beragama
Ia menambahkan, dasar hukum tersebut diperkuat dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kemterian Agama, Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Restra Kementerian Agama 2020-2024.
“Kemenag tidak memiliki standar, nilai, dan hak untuk mendefinisikan, menfasirkan, menerjemahkan, atau memberikan stempel bahwa agama tertentu benar, agama yang lain salah, agama lain dianggap sejalan dengan negara, agama yang lain tidak, negara tidak memiliki hak itu,” tegasnya.
Syafaat menekankan bahwa dalam penulisan berita terkait moderasi beragama, media perlu merujuk pada Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 332 Tahun 2023 tentang Sistem Deteksi Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan terutama pada Bab II Prinsip dan Sumber Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan dan Bab III Komponen Sistem Peringatan Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan.
Syafaat menyarankan bahwa sebaiknya dalam pemberitaan tidak menggunakan istilah seperti “sesat” dan “menyimpang” dalam memberitakan keragaman agama yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, ia menyebutkan kasus konflik keberagamaan masyarakat di Pandeglang, Banten.
“Terdapat 15 masyarakat yang melakukan mandi di tempat umum dan viral karena pemberitaan menggunakan kata sesat, menyimpang. Ini yang seharusnya dihindari oleh media dalam pemberitaan untuk mengurangi perpecahan antarumat,” ucapnya.
“Perlunya rekan media mengkonfirmasi kegiatan yang dilakukan tersebut sehingga tidak langsung menyampaikan bahwa ajaran itu sesat. Jika melihat konflik di Pandeglang, berdasarkan dari Bab II, itu masuk ke dalam konflik paham, sikap, dan perilaku keberagamaan,” tambahnya.
Baca Juga
Cara-Cara Menerapkan Moderasi Beragama
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Dari Musibah menuju Muhasabah dan Tobat Kolektif
2
Gus Yahya Berangkatkan Tim NU Peduli ke Sumatra untuk Bantu Warga Terdampak Bencana
3
Kiai Miftach Moratorium Digdaya Persuratan, Gus Yahya Terbitkan Surat Sanggahan
4
Khutbah Jumat Akhir Tahun 2025: Renungan, Tobat, dan Menyongsong Hidup yang Lebih Baik
5
Khutbah Jumat: Ketika Amanah Diberikan kepada yang Bukan Ahlinya
6
Pesantren Lirboyo Undang Mustasyar PBNU hingga PWNU dan PCNU dalam Musyawarah Kubro
Terkini
Lihat Semua