Menag Nasaruddin Ingatkan Praktik Sunat Perempuan Sebabkan Penderitaan Seumur Hidup
Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB
Menag Nasaruddin Umar hadir secara daring dalam Seminar Nasional tentang Sunat Perempuan, Jumat (27/12/2024). (Foto: tangkapan layar)
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengingatkan pentingnya menghentikan praktik sunat perempuan yang dapat menyebabkan penderitaan fisik dan psikologis seumur hidup.
Hal itu ditegaskan Menag Nasaruddin dalam Seminar Nasional bertajuk Memperkuat Otoritas Negara dalam Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, yaitu Pencegahan Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP)/Sunat Perempuan dan Perkawinan Anak, di Hotel Grand Kemang Jakarta, pada Jumat (27/12/2024)
Menag Nasaruddin menegaskan bahwa pemberdayaan perempuan harus dimulai dengan upaya pencegahan praktik sunat yang menyebabkan penderitaan.
“Saya ingin sekali mengingatkan dan mengimbau bahwa pandangan-pandangan seperti ini untuk memberdayakan perempuan, mencegah terjadinya penderitaan abadi perempuan dalam bentuk khitan perempuan ini tetap harus dilakukan,” ujar Menag Nasaruddin melalui sambutan daring.
Menag Nasaruddin mengatakan bahwa meskipun upaya pencegahan praktik sunat perempuan di kota-kota besar dan klinik-klinik sudah mulai dilakukan dengan pendekatan medis yang lebih tepat, tetapi praktik ini masih sangat marak di daerah-daerah pedesaan. Bahkan, di beberapa daerah, dukun-dukun tradisional masih melanjutkan praktik tersebut dengan alasan budaya atau pamali yang kental.
“Satu hal yang perlu kita lanjutkan sampai di perdesaan, karena di perdesaan itu masih ada perempuan yang dikhitan, dukun-dukun itu masih beroperasi dengan segala macam tujuannya seperti pamali jika tidak dilakukan,” jelasnya.
Sunat perempuan tidak wajib
Menag Nasaruddin juga menyoroti pemahaman yang salah terkait sunat perempuan dalam pandangan sebagian kalangan medis dan agamawan.
Meskipun sebagian besar dokter di kota telah memberikan penjelasan tentang bahaya sunat perempuan, tetapi masih ada sejumlah tenaga medis, termasuk dokter kandungan, yang berpandangan bahwa sunat perempuan adalah suatu kewajiban. Hal ini, kata Menag, harus dihentikan.
“Agama Islam tidak mewajibkan perempuan untuk dikhitan. Memang dalam beberapa mazhab fiqih, seperti mazhab Syafi’i, ada yang menyebutkan khitan perempuan sebagai sesuatu yang dianjurkan, tetapi itu bukan berarti wajib. Khitan perempuan seringkali disalahpahami sebagai bentuk kewajiban yang harus dilakukan,” jelas Menag.
Ia juga menambahkan bahwa konsep keperawanan sering menjadi dasar bagi penilaian terhadap perempuan, yang pada kenyataannya dapat menimbulkan ketidakadilan.
Bahkan banyak masyarakat yang menganggap bahwa malam pertama pernikahan harus ada darah sebagai bukti keperawanan. Padahal, ini adalah persepsi yang salah dan seringkali berujung pada perceraian karena alasan yang tidak tepat.
"Lelaki tidak ada identitasnya, tidak ada tandanya apakah dia jejaka atau tidak, sedangkan perempuan memiliki jejak yang menunjukkan perawan atau tidak perawan. Dia tidak pernah naik sepeda, tidak pernah jatuh, tidak pernah melakukan hal-hal tertentu, atau mungkin ada penyimpangan biologis tertentu; nah, itu sudah menjadi tanda," katanya.
Menag Nasaruddin mengingatkan bahwa isu ini bukan hanya masalah budaya, tetapi juga berkaitan erat dengan keadilan dan hak-hak perempuan.
Ia menyerukan kepada seluruh masyarakat untuk menghentikan praktik yang dapat menyiksa perempuan atas nama agama atau tradisi.
Lebih lanjut, Nasaruddin berharap agar upaya pemberdayaan perempuan, terutama dalam pencegahan praktik kekerasan dan penindasan, terus diperkuat melalui pendidikan dan penyuluhan yang lebih luas, baik di kota maupun di pedesaan.
"Semoga apa pun yang menyebabkan perempuan tersiksa itu kita harus hindarkan, termasuk tafsir yang menghasilkan penindasan terhadap perempuan itu harus ditinjau," terangnya.
Membahayakan kesehatan reproduksi
Zilla Boye, perwakilan dari Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, menyampaikan bahwa praktik sunat perempuan membahayakan kesehatan reproduksi perempuan karena meninggalkan bekas luka seumur hidup.
“Praktik ini (sunat perempuan) membahayakan kesehatan dan anatomi tubuh perempuan dan meninggalkan bekas luka fisik selama hidupnya,” ujarnya.
Zilla mengatakan bahwa saat ini Kedubes Belanda bekerja sama dengan pemerintah Indonesia sepakat untuk melarang sunat perempuan.
“Kami juga bersama Puan Amal Hayati bekerja sama untuk melarang pernikahan bagi anak dan sunat anak perempuan,” katanya.
Ia mengapresiasi pemerintah Indonesia telah mengambil langkah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 bahwa sunat perempuan dilarang.
“Mari kita bersama-sama memberdayakan, mengedukasi, dan perlindungan yang kuat. Perempuan dan anak perempuan itu setara dan berdaya,” katanya.
__________
Rikhul Jannah berkontribusi untuk berita ini.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Muhasabah Akhir 2024, Momentum Tobat dan Memperbaiki Kualitas Ibadah
2
Khutbah Jumat: Menyambut Tahun Baru dengan Menjadi Pribadi yang Lebih Baik
3
Khutbah Jumat: Mengendalikan Hawa Nafsu saat Rayakan Tahun Baru
4
Kabar Duka: KHR Mahfudz Hamid Pengurus LD PBNU dan Ketua PP MDS Rijalul Ansor Wafat
5
Khutbah Jumat: Mari Tutup Akhir Tahun dengan Bertobat dan Menyesali Dosa
6
Khutbah Jumat: Momentum Akhir Tahun, Jangan Lupa Tobat
Terkini
Lihat Semua