Nasional MUKTAMAR KE-34 NU

Muktamar NU: Pemerintah Perlu Revitalisasi Penulisan Sejarah

Sabtu, 25 Desember 2021 | 15:30 WIB

Muktamar NU: Pemerintah Perlu Revitalisasi Penulisan Sejarah

Ilustrasi suasana muktamar ke-34 NU di Lampung. (Foto: Panitia Muktamar)

Bandarlampung, NU Online
Soal kebudayaan, tak luput dari pembahasan dalam Sidang Komisi Rekomendasi Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama yang digelar di Lampung, pada 22-24 Desember 2021. Sebab hal itu perlu diupayakan guna melengkapi acuan terbangunnya corak keberagamaan dan kebangsaan di Nusantara.


Karena itu, Muktamar NU mendorong pemerintah untuk merehabilitasi dan merevitalisasi penulisan sejarah. Termasuk situs-situs serta artefak-artefak sejarah Nusantara secara lebih serius dan komprehensif.


Ketua Komisi Rekomendasi Muktamar NU Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid mengatakan bahwa sejauh ini, pemerintah telah terjebak pada warisan-warisan sejarah yang bersifat mercusuar.


Pertimbangan pemerintah dinilai hanya soal mengembalikan keuntungan ekonomi-pariwisata dengan mengabaikan nilai-nilai historis dan masa sekarang untuk mengadapi perubahan-perubahan ke depan.


“Pemerintah perlu mengembangkan sistem pelestarian, pemeliharaan, perlindungan kekayaan budaya bangsa melalui cagar budaya secara lebih integral dengan isu pendidikan, pariwisata dan ekonomi kreatif,” kata Alissa saat membacakan putusan Komisi Rekomendasi dalam Sidang Pleno III di Gedung Serbaguna (GSG) Universitas Lampung, Kamis (23/12/2021) malam.


Pemerintah dan masyarakat, lanjut Alissa, perlu memperkuat strategi kebudayaan untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan sebagai akar jati diri bangsa, termasuk menanamkan sikap inklusif atau membuka diri terhadap keragaman atau kebinekaan.


Pada konteks kehidupan keberagamaan, Komisi Rekomendasi Muktamar NU telah mencermati soal berkembangnya praktik beragama yang berkelindan dengan kepentingan politik. Terlebih membawa berbagai problem intoleransi atas dasar pandangan mayoritas-minoritas.


“Penolakan atas tempat ibadah berbagai agama; baik masjid, gereja, tempat ibadah agama lain maupun tempat ritual aliran kepercayaan, dengan alasan mayoritas-minoritas masih banyak terjadi,” tutur putri sulung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.


Ia menjelaskan bahwa secara khusus, di kalangan umat Islam, fenomena seperti itu tidak lepas dari berkembangnya paham keberagamaan yang tidak kontekstual. Pandangan keagamaan tersebut menciptakan sikap tertutup, eksklusif, dan anti-kebinekaan. Bahkan, mempromosikan kebencian dan permusuhan kepada yang berbeda.


“Di tengah tradisi beragama yang kuat di Indonesia dan dipicu oleh kemajuan teknologi informasi, kecenderungan pendangkalan pengetahuan agama terjadi dengan mengabaikan kaidah-kaidah metodologi pemahaman keagamaan dan kemanusiaan dengan mengambil sumber-sumber yang tidak otoritatif,” tegas Alissa.


Teknologi informasi menjadi salah satu faktor pendukung terhadap pesatnya perkembangan paham-paham keberagamaan yang berbahan bakar emosi, seperti kemarahan dan ketakutan dalam bingkai politik identitas.


Akibatnya, sebagian masyarakat tidak pandang kelas sosial dan intelektual cenderung terseret dalam paham dan pola keagamaan yang mengedepankan identitas kultural dan politik yang negatif.


“Hal ini mengancam bukan hanya demokrasi dan sistem sosial melainkan kebinekaan, kesatuan dan keutuhan negara RI serta mendorong terjadinya konflik fisik dan kekerasan yang berlarut di dalam masyarakat berbasis pada paham keagamaan,” kata Alissa.


Ia menjelaskan bahwa paham keberagamaan yang seperti itu sebenarnya berlawanan dengan tradisi Islam yang menghidupi Nusantara. Islam Nusantara telah berakar kuat pada nilai-nilai moderasi Islam, sekaligus terbuka dan merangkul yang berbeda.


Selain itu, Islam Nusantara juga adaptif terhadap tradisi adat dan selalu berorientasi pada menguatnya kemaslahatan bersama sebagai wujud Islam rahmatan lil alamin. Corak keberagamaan Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut NU adalah modal besar yang perlu dikembalikan sebagai corak keberagamaan Islam di Indonesia.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Musthofa Asrori