Nasional

SAS Institute: Radikalisme Korban dari Politisasi Agama

Selasa, 10 April 2018 | 13:15 WIB

Jakarta, NU Online 
Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute M. Imdadun Rahmat menilai, kelompok radikalisme agama, selain menyebabkan korban kepada pihak lain, mereka sendiri merupakan korban dari kepentingan politisasi agama. 

Penulis buku Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen (LKiS, 2008) menjelaskan, akar kelompok yang melakukan politisasi agama tersebut mulai ada bibit-bibitnya sejak Rasulullah wafat. 

Kelompok ini, menurut dia, tidak memiliki sikap tawasuth, tawazun, tasamuh, dan i’tidal. Sebaliknya, mereka memiliki ciri yang ekstrem dan tidak toleran. Bahkan mereka menghalalkan darah sesama umat Islam sendiri dengan berdasarkan teks agama. 

“Agama menjadi kejam karena membolehkan membunuh,” katanya pada bedah buku NU Penjaga NKRI (Kanisius, 2018) yang dieditori Iip Dzulkifli Yahya, di lantai 8 Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (10/4)

Munculnya Khawarij, menurut dia, adalah salah satu penanda dari radikalisme agama. Pada perkembangan selanjutnya ada politisasi agama yang melahirkan kepemimpinan tiran.  

“Ini menyebabkan trauma sejarah,” lanjutnya pada bedah buku yang digelar NU Online dan dibukan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

Pada perkembangan selanjutnya, menurut pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah ini, terjadi perlawanan yang ekstrem juga. Kalangan yang hanya menggunakan akal. 

“Yang naql (teks) membenci aql (akal), yang aql membenci naql,” katanya.

Kemudian lahir ulama yang nonpartisan dari kedua kelompok tersebut. Kelompok yang menggunakan aql dan naql secara proporsional. Kelompok ini adalah ulama Alussunah wal Jamaah (Aswaja). Kelompok ini dilanjutkan Nahdlatul Ulama hingga hari ini.  

Karena itulah, karakter NU memiliki traumatik terhadap ideologisasi, radikalisme, dan politisasi agama. (Abdullah Alawi)