Nasional

Savic Ali Soroti Kompleksitas Posisi NU sebagai Masyarakat Sipil

NU Online  ·  Sabtu, 13 Desember 2025 | 14:30 WIB

Savic Ali Soroti Kompleksitas Posisi NU sebagai Masyarakat Sipil

Diskusi bertajuk Menimbang Ormas Keagamaan Era Prabowo–Gibran dalam Demokratisasi Indonesia yang digelar Islami.co di Outlier Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (12/12/2025). (Foto: NU Online/Aru)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi’ Alielha atau Savic Ali menilai relasi antara Nahdlatul Ulama (NU) dan negara pada era pascareformasi tidak lagi dapat dipahami dalam kerangka sederhana oposisi versus kekuasaan.


Perubahan struktur demokrasi, terbukanya ruang politik, serta keterlibatan luas kader NU di berbagai posisi pemerintahan membuat posisi NU dalam kehidupan bernegara menjadi semakin kompleks.


Menurut Savic, secara faktual NU tetap merupakan bagian dari masyarakat sipil. Namun, kehadiran NU tidak lagi berada dalam format klasik yang sepenuhnya berjarak dari negara.


“NU itu jelas bagian dari masyarakat sipil. Warganya bukan pegawai negeri, bukan pegawai pemerintah, bukan TNI, bukan Polri. Sesimpel itu,” ujar Savic dalam diskusi bertajuk Menimbang Ormas Keagamaan Era Prabowo–Gibran dalam Demokratisasi Indonesia yang digelar Islami.co di Outlier Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (12/12/2025).


Savic menjelaskan, keterlibatan kader NU di berbagai lini kekuasaan merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi yang membuka ruang partisipasi politik secara luas. Reformasi telah menghapus sekat-sekat struktural yang sebelumnya membatasi keterlibatan warga NU dalam pemerintahan.


“Kita sekarang melihat gubernur, bupati, wali kota dari NU ada di mana-mana. Dalam konteks tertentu, NU itu terepresentasi sangat nyata di dalam kekuasaan,” katanya.


Kondisi tersebut, lanjut Savic, turut memengaruhi cara publik memandang NU. Ketika kebijakan negara dinilai bermasalah, NU kerap ikut disorot karena sebagian warganya berada dalam struktur pengambil keputusan.


Ia menegaskan bahwa sejak awal berdirinya, NU tidak didesain sebagai organisasi yang berhadap-hadapan secara ideologis dengan negara. Dalam lintasan sejarahnya, NU lebih sering mengambil sikap adaptif demi menjaga keberlangsungan umat dan institusi.


“NU sejak awal bukan organisasi yang didirikan dengan semangat oposisi politik. DNA-nya memang adaptif,” ujarnya.

 

Menurut Savic, pengalaman NU yang kerap berseberangan dengan negara pada masa Orde Baru lebih disebabkan oleh karakter otoritarian rezim saat itu, bukan karena orientasi politik NU yang secara prinsip menolak kekuasaan.


Ia juga menyinggung figur Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang hingga kini masih menjadi standar pembanding dalam imajinasi publik. Savic menilai, Gus Dur memimpin NU dalam konteks politik yang sangat berbeda, ketika kritik keras terhadap negara menjadi kebutuhan sejarah.


“Kenapa banyak pihak kecewa dengan NU hari ini? Salah satunya karena benchmarking-nya Gus Dur,” ujarnya.


Savic mengingatkan bahwa membandingkan peran NU saat ini dengan masa kepemimpinan Gus Dur tanpa mempertimbangkan perubahan konteks justru berpotensi menyesatkan.


Ia menegaskan bahwa sikap PBNU terhadap negara bukanlah penerimaan tanpa kritik. Savic mengakui adanya kecenderungan oligarki dalam setiap organisasi besar, sehingga mekanisme checks and balances tetap diperlukan dalam demokrasi.


“Kekuasaan memang cenderung korup, dan itu sebabnya demokrasi membutuhkan checks and balances,” katanya.


Meski demikian, ia menyebut PBNU memilih bersikap skeptis tanpa menutup ruang dialog dan kerja sama dengan pemerintah, selama kebijakan yang dijalankan dinilai membawa manfaat bagi masyarakat luas.


“Kita tidak boleh apriori. Tapi skeptis, iya. Karena kalau apriori, selesai semuanya,” ujarnya.


Savic menegaskan bahwa tantangan terbesar NU ke depan adalah menemukan format baru peran masyarakat sipil yang relevan dengan kondisi demokrasi saat ini, tanpa terjebak pada romantisme masa lalu maupun kedekatan berlebihan dengan kekuasaan.


Menurutnya, relasi NU dan negara harus terus dibaca secara kritis, kontekstual, dan dinamis agar tetap sejalan dengan prinsip demokrasi serta kepentingan umat.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang