Nasional

STAINU Jakarta Fokus Pulihkan Tradisi

Kamis, 26 April 2012 | 09:34 WIB

Jakarta, NU Online
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta turut prihatin dengan arus deras liberalisme dan ekstrimisme agama yang melanda sejumlah perguruan tinggi, tak terkecuali kampus-kampus berbasis nahdliyin. Menghadapi kondisi ini, STAINU kini tengah bergiat menghidupkan kembali tradisi-tradisi positif keaswajaan yang keberadaannya dirasakan kian terkikis.<>

“Kami dari pihak STAINU merasakan adanya pergeseran perilaku di beberapa perguruan tinggi. Sehingga perlu ada upaya memulihkan kembali tradisi-tradisi positif yang NU punya,” tegas Ketua STAINU Jakarta KH Mujib Qulyubi kepada NU Online, Rabu (25/4).

Oleh karena itu, kata Mujib, STAINU Jakarta bertekad untuk fokus merumuskan dan melaksanakan sejumlah program yang terkait dengan persoalan ini. Di antara agenda yang dilakukan meliputi usaha membangkitkan kembali sejumlah nilai dan kultur pendidikan yang lazim di pesantren, seperti kesederhanaan, penghormatan kepada ilmu dan ulama, serta ketersambungan sanad keilmuan.

Katib Syuriah PBNU ini juga menjelaskan tentang pentingnya praktik-praktik ritual Nahdliyin yang akhir-akhir ini tak luput pula dari penggerusan. Praktik-praktik yang dimaksud adalah aurad, ahzab, rawatib, manaqib, maulid, dan istighasah. “Kami menyebut ini semua dengan singkatan Arumanis,” terangnya.

Seperti diketahui, STAINU Jakarta baru saja menyelenggarakan acara pengijazahan atau penyambungan sanad dari Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh kepada para mahasiswa dan dosen STAINU Jakarta. Kiai Sahal dalam kesempatan ini memberikan ijazah tiga sanad hadits musalsal, yaitu al-musalsal bil awwaliyah, al-musalsal bi qiraa’ah ayatil kursi, dan al-musalsal bil mahabbah.

“Saya kira ini baru ada di STAINU. Kampus-kampus lain belum melakukannya,” imbuhnya.

Ditambahkan, STAINU Jakarta juga sedang mendorong para mahasiswanya  dapat bangkit di bidang kewirausahaan. Hal ini dipacu untuk menghindari inovasi dan kreatifitas berprofesi yang kurang dari para sarjana setelah lulus dari kampus. 

“Mahasiswa harus bisa mandiri. Jadi entrepreneur. Kalau di PAI (Pendidikan Agama Islam), tidak mesti jadi guru, tapi juga bisa buka usaha lain,” tandas Mujib.

 

Redaktur : Syaifullah Amin
Penulis     : Mahbib Khoiron