Purworejo, NU Online
Ada metode pembelajaran yang hanya dimiliki oleh pondok pesantren, yaitu metode salafiyah. Di antara contoh aplikasi metode salafiyah ini adalah kiai atau guru tidak berani mengaji jika belum menghadiahkan Alfatihah kepada yang mengarang kitab.
Demikian disampaikan KH Achmad Chalwani, pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo, pada acara Khataman Akhirussanah ke-40 pesantren tersebut, Sabtu (4/8) malam.
"Kiai tidak berani mengajarkan kitab Jurumiyah (ilmu gramatika Arab) sebelum menghadiahkan Fatihah kepada sang pengarang kitab, yaitu Syekh Ahmad Shonhaji," ungkapnya menggambarkan.
Baca: Kiai Chalwani Purworejo Ingatkan Hati-hati Memilih Pesantren
Kitab Jurumiyah itu, menurut Kiai Chalwani kitab yang ampuh. Setelah Syekh Shonhaji mengarang kitab Jurumiyah, kitab itu dibuang ke laut. "Sambil membuang kitab, beliau bilang 'Kalau kitab ini akan bermanfaat, walaupun aku buang ke laut, akan kembali.' Ketika Syekh Shonhaji pulang ke rumah, kitab itu sudah ada di meja kamarnya," tutur Kiai Chalwani.
Kitab dibuang, lanjutnya, kembali sendiri. "Sementara kitab kita, tidak dibuang hilang sendiri karena tidak pernah dibaca," seloroh tokoh NU ini, diikuti gelak tawa ribuan hadirin yang mayoritas adalah para alumni dan wali santri.
Selain itu, Kiai Chalwani yang merupakan alumnus Pesantren Lirboyo, mencontoh guru-guru dan kiai-kiai Lirboyo dalam mengajarkan kitab. Kepada para dewan asatidz, ia menekankan pentingnya tawadluk dalam mengajar, karena ini merupakan salah satu metode salafiyyah.
"Saya sering menyampaikan kepada para guru di sini, 'Kamu kalau ngajar, di hati diterapkan, ana al-qaari', allaahu al-haadi. Saya hanya membacakan, Allah-lah yang ngasih petunjuk. Jangan mentang-mentang mengajar merasa ngasih petunjuk. ini tawadlu’, andap asor,” ungkapnya. “(Metode) Ini hanya dimiliki oleh pesantren,” imbuhnya.
Tak hanya itu, ia juga menjelaskan metode ittishal dan infishal di pesantren. “Metode ittishal, santri langsung menghadap guru atau kiai. Adapun metode infishal, santri menghadap pembantu kiai, menghadap para guru, qari', ustadz, tetapi hati tetap niat kepada kiai,” terangnya. (Ahmad Naufa/Kendi Setiawan)