Warta

Kang Said: NU Didirikan Kiai Pesantren yang “Lari” dari Politik

Kamis, 16 Juli 2009 | 04:50 WIB

Jakarta, NU Online
Cikal-bakal Nahdlatul Ulama (NU) adalah pesantren. Ia pun didirikan oleh para ulama dan kiai pesantren, terutama yang “lari” atau menghindar dari dunia politik praktis, politik kekuasaan.

Ketua Pengurus Besar NU, KH Said Aqil Siroj, mengatakan hal itu dalam paparannya pada sebuah forum diskusi di Jakarta, Rabu (15/7) kemarin. “Pesantren sendiri dulu dibangun oleh para kiai yang “lari” dari pusat kota, keraton, kekuasaan,” katanya.<>

Kang Said—begitu panggilan akrabnya—menguraikan sejarah kiprah para ulama pesantren pada masa penjajahan Belanda, di antaranya, di pulau Jawa.

“Di Cirebon, ada tiga bersaudara yang lari dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Yang sulung, Kiai Soleh (KH Soleh Zamzam), membangun pesantren di Benda Kerep. Yang kedua, Nyai Maimunah, membangun pesantren Gedongan. Yang terakhir, Kiai Mukoyyim, yang menurunkan Kiai Abbas Buntet. Tiga orang ini jelas lari dari keraton.”

Demikian juga di Keraton Mataram, Yogyakarta. Dikenal Pangeran Diponegoro yang belakangan bergelar Sultan Abdul hamid Herucokro Amirul Mukminin Sayidin Panotogomo Khalifatullah.

Pangeran Diponegoro lari dari Mataram dan sangat membenci Belanda, kemudian melakukan gerakan melawan pemerintah kolonial. Kiprahnya jauh dari kepentingan Keraton.

“Dialah seorang (Pangeran Diponegoro) yang pertama kali menulis kitab Fathul Qorib (karya Abu Sujak) dengan tangannya sendiri,” imbuh alumnus Universitas Ummul Qura, Mekah, Arab Saudi, itu.

Menurut Kang Said, tindakan para kiai pesantren itu selaras dengan paham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) sebagaimana dianut NU. Paham Islam moderat itu, sebagaimana dirumuskan Imam Abu Hasan Al Asy’ari, muncul untuk menjaga kemurnian ajaran Islam, tidak ada kepentingan politik praktis.

Tidak adanya perhatian Aswaja pada bidang politik praktis, katanya, dapat dibuktikan pada kitab-kitab fikihnya. “Dalam kitab-kitab fikih Aswaja, tidak ada pembahasan tentang kepemimpinan politik,” katanya.

Hal serupa terjadi pada perkembangan selanjutnya, utamanya menjelang kelahiran NU pada 1926. KH Wahab Chasbullah memprakarsai pendirian sebuah organisasi yang kemudian disebut NU, misi utamanya adalah membangun infrastruktur sosial yang bernapaskan Islam ala Aswaja.

“Di situ (baca: pada tahap/masa itu) sama sekali belum bicara politik kekuasaan. Sama sekali tidak ada. Tidak ada dalam agenda Kiai Wahab untuk urusan politik praktis,” terang Kang Said. (rif)