Warta JELANG MUKTAMAR

Para Calon Ketua Umum PBNU Diragukan Mampu Lakukan Perubahan

Senin, 25 Januari 2010 | 06:51 WIB

Jakarta, NU Online
Semakin dekatnya muktamar menjadikan isu perubahan tampuk kepemimpinan di PBNU semakin hangat. Sejumlah calon ketua umum PBNU juga telah mendeklarasikan diri dan mengkampanyekan paling layak memimpin PBNU.

Sikap kritis disampaikan oleh Miftahuddin, aktifis dari Lakpesdam NU yang meragukan mereka mampu melakukan perubahan jika diposisikan sebagai ketua umum PBNU.<>

Beberapa kandidat ketua umum PBNU yang cukup populer adalah KH Said Agil Siradj dan KH Masdar F Mas’udi yang keduanya sudah diakui kepakarannya dalam bidang agama dan sudah cukup lama mengabdi di NU.

“Mereka sebenarnya lebih tepat berada dalam posisi syuriyah NU, kemampuan mereka tak diragukan lagi,” katanya kepada NU Online, Senin (25/1).

Dalam tata aturan keorganisasian NU, syuriyah merupakan badan penentu kebijakan, pengendali, pengawas dan pembina. Mereka disyaratkan memiliki kompetensi dalam bidang fikih, pendidikan, ahli tirakat dan lainnya.

Disisi lain, posisi tanfidziyah NU adalah pelaksana kebijakan yang mengkoordinasikan perangkat organisasi (lembaga, lajnah, badan otonom) sebagai pelaksana kebijakan dan program NU.

Dengan tugas dan peran ini, dibutuhkan kemampuan manajerial yang kuat. Para ketua tanfidziyah tak cukup datang sebagai narasumber dalam sebuah acara yang di selenggarakan, tetapi harus mampu menunggu dan menyerap seluruh aspirasi lembaga serta menjalin komunikasi terus menerus dengan lembaga yang yang menjadi tanggung jawab koordinasi.

Ia melihat, NU membutuhkan figur seperti Jusuf Kalla yang mampu menerjemahkan hal makro ke dalam sebuah implementasi yang kongkrit dengan target yang terukur. Misalnya bagaimana biar listrik tidak byar pet. Demikian juga ketua umum tanfidizyah, harus mempunyai target yang akan di lakukan selama lima tahun ke depan.

Sebagai contoh NU sebagai organisasi yang mengelola lembaga pendidikan dalam lima  tahun ke depan berapa perguruan tinggi unggulan NU yang akan dipunyai. Dan ini realisasikan dengan rencana tahunan agar target yang telah dicanangkan bisa tercapai. “Dari figur yang ada saya melihat belum ada yang mempunyai kapasitas ini,” katanya.

Lalu mengapa mereka lebih berminat untuk menduduki posisi ketua umum tanfidziyah daripada di masuk ke jajaran syuriyah yang sebetulnya lebih strategis, hal ini dinilainya lebih pada soal prestise dan akses yang dimiliki ketua umum PBNU.

Bagaimana jika warga NU tetap memutuskan “para pemikir” itu sebagai komandan di jajaran tanfidziyah, ia pesimis akan munculnya sebuah perubahan.

“Tidak akan ada perubahan, NU selalu disebut besar, tetapi hal yang menunjukkan kebesarannya tidak muncul. Ketika mencari kampus, rumah sakit, lembaga ekonomi, atau koperasi yang besar dan dapat dibanggakan tak akan muncul,” tandasnya.

Pada awal berdirinya NU, ketua umum tanfidziyah, yang untuk pertama kalinya dipegang oleh Hasan Gipo, benar-benar merupakan supporting sistem. Hal-hal yang substansial dilakukan oleh para kiai. Perubahan pola kepemimpinan mulai muncul ketika KH Mahfudz Siddik dan KH Wahid Hasyim menjadi ketua umum PBNU, yang keduanya memiliki aspek keulamaan dan organisatoris. Saat itulah persidangan untuk syuriyah dan tanfidziyah mulai dilakukan secara terpisah.

Dalam konteks sekarang ini, sesuai dengan semangat khittah, penguatan kepemimpinan ulama sebagai penentu kebijakan dan pengendali kebijakan menjadi semakin mendesak. Upaya penguatan syuriyah agar semakin mampu menangkap isu-isu eksternal salah satunya bisa dilakukan dengan memberdayakan peran a’wan atau pembantu dengan di isi oleh pakar-pakar yang tidak mesti ahli agama.

A’wan di beri tugas mengidentifikasi dan merumuskan hal-hal yang mesti menjadi pehartian serius  NU. Isu dan bahan yang telah di diskusikan oleh  a’wan di berikan kepada syuriyah untuk menjadi bahan dan dasar NU mengambil sikap. Nah hal-hal yang telah di putuskan oleh syuriyah menjadi tanggung jawab tanfidziyah dalam hal tindak lanjutnya. Nah apakah kandidat yang sedang mencalonkan diri mau dan mampu menjalankan peran menjadi khadim dari syuriyah?

“Sering terdapat keluhan, NU memiliki banyak SDM yang mumpuni, tetapi kurang dimaksimalkan, mereka tak harus jadi pengurus, tetapi bisa di posisi a’wan,” terangnya.

Berdasarkan pengalamannya selama ini di PBNU, para pakar senior ketika didudukkan di lembaga atau departemen NU tak bisa berjalan dengan baik.

Yang lebih penting lagi dilakukan saat ini untuk menjaga kelangsungan NU ke depan adalah menyiapkan calon-calon pemimpin di jajaran syuriyah dan tanfidziyah untuk  mengganti estafet kepemimpinan 10-15 tahun mendatang melalui pengkaderan yang baik. (mkf)