Warta

Pesantren Al-Hasan Jember Diusulkan Dapat Penghargaan Bencana dari PBB

Rabu, 29 Maret 2006 | 05:55 WIB

Surabaya, NU Online
Pengasuh Pesantren Al-Hasan, Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur, KH Muzzamil Hasba (Hasan Basuni) akan  diusulkan mendapatkan "UN Sasakawa Awards" dari PBB atas keberhasilannya menyelamatkan 400 santri saat terjadi banjir Januari 2006 lalu.

Pernyataan itu disampaikan Deputi Penanggulangan Bencana Bakornas Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP), Thabrani saat pemberian penghargaan dari Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) dan Pusat Studi Bencana ITS kepada KH Muzzamil di kampus ITS, Surabaya, Rabu.

<>

"Kiai Muzzamil ini akan kami calonkan untuk mendapatkan penghargaan dari PBB yang nilai penghargaannya berupa uang sebesar 50.000 dolar AS. Kami minta Kiai Muzzamil untuk menulis ceritanya bagaimana saat menyelamatkan 400 santrinya dari bencana banjir," kata Thabrani.

Ia mengemukakan, penghargaan berupa setifikat pernah diterima masyarakat Kabupaten Pulau Simelue, Aceh yang selamat dari amukan bencana tsunami (masyarakat setempat menyebutnya sebagai "semong"). Penghargaan dari PBB itu diterima oleh Bupati Simelue mewakili warga masyarakat.

Menurut dia, masyarakat Simelue mendapatkan penghargaan itu karena dinilai memiliki kearifan lokal menghadapi bencana tsunami pada akhir 2004 lalu sehingga dari ribuan warga bisa selamat dan hanya tujuh orang yang menjadi korban.

"Kalau masyarakat di Pantai Barat Aceh memiliki kearifan lokal untuk membaca alam seperti masyarakat Simelue, mungkin korban tsunami tidak akan sebanyak itu. Masyarakat Simlelue ternyata belajar tentang bencana tsunami itu dari peristiwa "semong" yang terjadi pada 1907 di daerah itu," katanya.

Kiai Muzzamil yang didampingi dua adiknya mendapatkan penghargaan dan sumbangan seperangkat komputer dari Pusat Studi Bencana ITS, bantuan 500 macam buku dan uang dari MPBI dan bantuan 15.000 bibit jati emas dari DPP PAN untuk rehabilitasi hutan yang rusak.

Muzzamil mengemukakan, penghargaan itu merupakan sarana bagi dirinya untuk selalu memperbaiki diri dalam mengelola pesantren. Ia mengaku terjadinya bencana itu juga merupakan peringatan Allah terhadap dirinya yang mungkin banyak kekurangan dalam mengelola pesantren.

Mengenai kearifan lokal yang diminta untuk diceritakan pada forum yang juga dihadiri utusan beberapa negara luar itu, Muzzamil mengemukakan, dirinya memiliki pengetahuan mengenai karakteristik dari pegunungan Argopura yang merupakan pusat dari terjadi longsor hingga menyababkan banjir bandang.

"Beberapa bulan sebelum terjadinya bencana, air sungai di sekitar pesantren sudah berwarna keruh padahal tidak ada hujan. Itu merupakan pertanda terjadinya longsor di atas pegunungan Argopuro. Karena itu kami meminta santri dan warga sekitar untuk waspada," katanya.

Ia kemudian menceritakan bagaimana banjir yang diawali dengan hujan deras pada 1 Januari 2006 itu. Pada 1 Januari malam setelah shalat maqrib, ia mengumpulan keluarga dan santri untuk siap mengungsi. Namun pengungsian baru dilakukan setelah santri melakukan shalat isya’ berjamaah.

"Saat itu air sudah masuk ke pesantren setinggi setengah meter. Kami minta santri dan warga untuk tidak kembali ke rumahnya meskipun hujan sempat reda dan banjir surut. Benar, ternyata pada pukul 12.00 malam, banjir bandang itu datang," katanya.

Sementara Manajer Program MPBI Hening Purwati Parlan mengemukakan, kearifan lokal yang dimiliki oleh Muzzamil itu perlu mendapatkan perhatian dalam upaya menyelamatkan masyarakat dari becnaca.

"Saya melihat RUU Penanganan Bencana yang kini ada DPR ternyata soal kearifan lokal itu tidak ada sama sekali. Mungkin mereka mengira hanya teknologi yang bisa mengurangi dampak dari bencana, padahal kearifan lokal telah terbukti memberikan sumbangan besar," ujarnya. (ant/mkf)