Wawancara

Ali Masykur Musa: Tak Ada Untungnya Hambat Kerja DPR

Kamis, 4 November 2004 | 15:08 WIB

Ternyata bukan hanya pergantian musim yang sulit diperkirakan kedatangan dan kepergiannya akhir-akhir ini. Hujan dan Panas datang tak mengenal lagi jadual.   Kondisi tak menentu itu  terjadi pula di DPR. Suhu politiknya terus memanas, tak jelas kapan akan kembali normal. Masyarakat pun turut merasakan imbasnya. Mereka pun mulai turut merasa gerah. 

Hingga hari ini, meski negosiasi dengan pimpinan DPR sedang berlangsung, fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Kerakyatan tampaknya masih mutung. Sementara mereka yang tergabung di Koalisi Kebangsaan minus Fraksi Persatuan Pembangunan tetap menjalankan kerja-kerja di komisi. Mereka tampaknya tak ambil peduli dengan larangan terhadap jajaran kabinet untuk tidak menghadiri undangan persidangan – persidangan di komisi-komisi DPR pada awal minggu ini.

<>

Bagi Koalisi Kerakyatan yang mengorganisir diri ke dalam Poksi, larangan dari lembaga kepresidenan itu tentu memberikan angin politik bagi mereka. Namun bagi anggota-anggota komisi I hingga XI, larangan  itu sedikit banyak mengganggu konsentrasi yang sedang dilakukan mereka. 

“Saya tidak bisa memahami mereka dalam menghambat kinerja DPR, padahal  DPR dibutuhkan untuk menyusun dan mengesahkan undang-undang, termasuk mereview APBN yang bentuk hukumnya adalah undang-undang,”kata Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Ali Masykur Musa.

Karena ujung dari dampak boikot itu adalah kerugian kepada pihak rakyat, Ali Masykur pun mengajak anggota Dewan yang tergabung dalam Poksi untuk tidak meneruskan aksinya.

“Bisa saja tujuan di balik menghambat kinerja Dewan itu adalah agar pemerintahan itu berjalan tanpa pengawasan. Tapi kalau ini berjalan terus justeru merugikan pemerintah,”kata Ali Masykur.

Ali Masykur pun mengemukakan alasan dari pernyataannya itu. “Saat ini dengan harga minyak dunia yang begitu tinggi, bukan hanya mempengaruhi kemampuan APBN dalam membiaya kehidupan negara, tetapi akan menekan kemampuan sektor riil untuk bergerak. Itu kan mengurangi pendapatan negara, termasuk besarnya subsidi yang harus dipikirkan untuk rakyat kecil. Karena itu pemerintah pasti sangat membutuhkan Dewan untuk membahas penyesuaiannya,”papar Ali Masykur. 

Dalam hal ini, Ali Masykur mengharapkan pemerintah dapat memahami tentang pentingnya DPR berjalan dengan baik dan cepat. “Karena hanya dengan cara itu, DPR akan dapat berkonsentrasi membela kepentingan rakyat,”tandasnya.  

Kesiapan dan kelancaran tugas Dewan ini dianggap semakin mendesak, mengingat untuk Komisi XI saja, Ali Masykur mengaku harus menyelesaikan sembilan RUU yang sangat urgen dalam kaitan dengan pengembangan sektor riil, dan perekonomian rakyat. Kesembilan RUU itu adalah  RUU tentang BPK, Mata Uang, Perkreditan dan Perbankan, Likuidasi Bank, Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dan RUU Perubahan terhadap empat lembaga yang akan dilebur ke dalam Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu: RUU Perubahan atas UU No.2/1992 tentang Usaha Perasuransian, RUU Perubahan atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan, RUU Perubahan atas UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun, dan RUU Perubahan atas UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang agenda pengawasan politik sektor keuangan, perbankan, bukan bank, dan legislasi dari Komisi XI DPR-RI, termasuk manajemen kerja komisi ini, NU Online menyajikan petikan hasil wawancara Abdullah dengan Ali Masykur Musa di Rung Kerjanya, Gedung Nusantara I DPR-RI, Kamis (4/10):
 
Bagaimana pendapat Bapak mengenai keengganan Pemerintah SBY meninjau kebijakan R & D yang sangat merugikan masyarakat?

Kalau kita lihat, kasus BLBI itu kan ada sekitar Rp 139,5 triliun yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dari 144,5 triliun, nah posisi seperti inilah yang menyebabkan perekonomian Indonesia itu hancur. Karena di satu sisi, kita setiap tahunnya harus membayar bunga atas restrukturisasi perbankan,  sedangkan di sisi lain, kita harus membayar hutang luar negeri yang jumlahnya lebih dari 1/3 APBN. Karena itu, dalam pandangan saya, maka pemerintah tidak boleh membuat kebijakan apapun yang menyebabkan para pengemplang dan koruptor kelas kakap itu berjalan seenaknya.

Jika demikian, langkah konkrit apa yang harus diambil pemerintah?

Karena itu, saya menghendaki berpendapat, agar release & discharge yang pernah   menjadi kebijakan pemerintahan Megawati tahun 2002 itu ditinjau ulang. Karena kasus BLBI ini telah menghancurkan perekonomian Indonesia.

Sebenarnya apa arti peninjauan ulang itu untuk pemerintahan yang baru berkuasa saat ini?

Langkah ini akan menjadi batu ujian dari pemerintahan Presiden Susilo B. Yudhoyono. Karena ini akan menjadi tolok ukur, apakah pemerintahan ini mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pene