Wawancara HUT KE-76 RI

76 Tahun Merdeka, Pentingnya Mekanisme Pelibatan Masyarakat dalam Kebijakan

Selasa, 17 Agustus 2021 | 02:15 WIB

76 Tahun Merdeka, Pentingnya Mekanisme Pelibatan Masyarakat dalam Kebijakan

Ketua PBNU, KH Imam Aziz. (Foto: dok. istimewa)

Memasuki bulan Agustus 2021, bendera Merah Putih berkibar di berbagai penjuru Indonesia menandai rasa syukur bangsa atas kemerdekaan yang telah diraih selama 76 tahun. Pada Hari Kemerdekaan tahun ini, Pemerintah Indonesia mengambil tema “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh”. Hal ini tidak lain berkaitan dengan situasi pandemi yang masih meliputi Bumi Pertiwi.


Pandemi masih menjadi problem besar yang meluluhlantakkan berbagai sektor kehidupan masyarakat, mulai kesehatan, pendidikan, ekonomi, hingga kebudayaan. Berbagai kebijakan telah diputuskan, tetapi laju pandemi masih belum menunjukkan tanda-tanda selesai.


Melihat fakta itu, Pewarta NU Online Syakir NF secara khusus mewawancarai Moh Imam Aziz, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), pada Selasa (10/8). Berikut petikan wawancaranya.


Pandemi Covid-19 telah melanda Indonesia setahun setengah. Sampai hari ini, pandemi masih belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai dalam waktu dekat. Terbukti masih terkonfirmasi positif puluhan ribu orang setiap harinya. Belum lagi masyarakat yang semakin menderita karena beragam faktor, kesehatan hingga ekonomi. Bagaimana pandangan Bapak melihat fenomena ini dalam kerangka refleksi kemerdekaan Indonesia di tahun ini?


Kalau kita melihat dua tahun pandemi ini, memang terasa berat bagi kita semuanya bangsa Indonesia, tapi juga sekaligus bisa menjadi titik tolak bagi perbaikan Indonesia ke depan. Hikmahnya saya kira ada. Misalnya, kalau saya melihat, sebetulnya, dampak dari pandemi ini menyeluruh, baik itu politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan. Itu saya kira kita mulai memetakan problem yang muncul di pandemi seperti apa.


Misalnya, dari sisi politik, secara umum kita melihat bahwa ada mekanisme politik yang tidak terlalu responsif terhadap situasi pandemi ini. Ketika ada pandemi politik berjalan seperti biasa. Birokrasi seperti biasa. Aturan itu begitu rumitnya. Padahal, kecepatan eskalasi pandemi ini begitu cepat. Tidak ada sinkronisasi antara kementerian dan antara pemerintah pusat dan daerah. Ini membuat situasi mencapai titik-titik yang sangat mencekam karena tidak responsifnya perangkat politik itu.


Lalu, apa hal mendasar yang menjadi penyebabnya?


Sejak awal, kita bisa melihat bahwa pemerintah secara umum tidak menyertakan masyarakat. Seolah-olah, (pandemi) bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah. Ternyata tidak. Kita sejak awal mengingatkan ini. Sampai sekarang, tidak ada upaya pemerintah secara serius menggandeng masyarakat.


Meskipun tidak ada perintah untuk bekerja sama, mereka (masyarakat) tetap melakukan itu (membantu pemerintah menangani pandemi). Saat puncak kasus terjadi, tidak ada yang menginstruksikan gerakan masyarakat. Negara tidak melibatkan masyarakat itu pandangan fatal.


Seluruh proses politik itu harus menyertakan masyarakat. Tidak sekadar simbolik salaman. Tapi memang harus ada porsi-porsi peran yang memang resmi, dalam arti keterlibatan masyarakat itu resmi, ada mekanisme yang jadi pola. Ketika ada sesuatu, masyarakat mendapat porsi cukup penting ketika ada emergency seperti saat ini. Pemerintah daerah juga sangat abai terhadap ini.


Yang muncul jadinya adalah penolakan dan pengingkaran. “Gak ada Covid-19 itu” (salah satu ucapan pengingkaran masyarakat terhadap adanya virus Covid-19 yang dicontohkan Imam Aziz).


Sebetulnya, sejak awal, kerja sama tidak sekadar formalitas mungkin tidak seperti sekarang. Ini refleksi yang sangat penting. Keterlibatan masyarakat dalam prinsip pembangunan harus dibuat mekanismenya, tidak sekadar formalitas.


Bagaimana seharusnya mewujudkan keterlibatan masyarakat itu?


Sekarang ini, sejak ada birokrasi di Indonesia, program Pemerintah selalu ditangani birokrasi. Punya kekuatan politik yang luar biasa. Dia bisa jalan sendiri meskipun tanpa ada garis politiknya. Siapapun pemerintahnya birokrasi bisa tetap berjalan. Praktis di situ, tidak ada keterlibatan masyarakat. Apalagi sekarang, birokrasi terlalu besar.


Setelah pilihan presiden, pilihan gubernur, pilihan bupati wali kota, masyarakat selesai. Yang berjalan dan bekerja adalah birokrasi. Begitu sampai ke tingkat pusat. Ganti orang itu enggak ada dampaknya juga. Ini tidak manusiawi. Begitu kayak mesin. Anggaran yang harus habis dengan laporannya yang penting ada.


Birokrasi harus turun ke bawah pakai SK dan seterusnya. Menangani hal emergency ini jadi susah. Harus ada proses debirokratisasi. Harus ada pemotongan jalur birokrasi yang signifikan. Manfaatnya, masyarakat bisa ikut serta dalam pembangunan. Tidak sekadar membagikan BLT dari APBN terus habis. Enggak ada apa-apanya. Tidak sekadar kasih langsung habis.


Ini sangat penting sekali, menurut saya, menjadi titik poin untuk berangkat dari sini. Kita harus menata lagi proses politik itu.


Soal kepedulian dan gotong royong masyarakat kita begitu besar. Terbukti dengan adanya beragam penggalangan dana dan donasi untuk saudara-saudara kita yang membutuhkan. Bagaimana Bapak melihat hal tersebut?


Itu potensi yang harus dilihat negara. Jangan semau-maunya pakai APBN. Nyatanya faktanya bisa kok masyarakat terlibat langsung. Seolah-olah dengan kekuatan APBN bisa diselesaikan. Dalam masa krisis masyarakat nyatanya ikut.


Bagaimana dampak terhadap ekonomi?


Ekonomi ini juga parah. Terlalu banyak tangan birokrasi menangani ekonomi. Kalau kita lihat struktur APBN kita, pajak itu besar sekali, dibanding dengan bagi hasil. Hasil dari pajak enggak ada. pajak ini digunakan pemerintah untuk ‘belanja modal’, ngasih duit kepada perusahaan atau pada birokrasi itu juga, untuk dijadikan modal. BUMN faktanya setiap tahun dapat suntikan dana dari APBN. Bisanya rugi.


BUMN juga tidak hanya di sektor esensial. Dalam UUD, ada usaha-usaha langsung dengan kepentingan rakyat, seperti transportasi, bahan makanan, pokok yang menjadi BUMN. Sekarang, semua hal ditangani BUMN, mulai dari bank, tambang, perhutanan, bahkan perikanan dan perkapalan.

 

Bulog juga enggak jelas fungsinya. Itu semua pakai duit APBN modalnya. BUMN ini punya anak bahkan cucu perusahaan. Rakyat tidak punya akses untuk dagang beras saja susah bukan main karena semuanya ditangani pemerintah yang gratisan dari pajak.


Ekonomi ini sangat rawan ketika seperti pandemi seperti ini. Sekarang masyarakat tidak bisa apa-apa, hanya bisa menguras tabungan saja.


Hampir-hampir tidak ada yang tidak ditangani BUMN. Itu juga berlaku di daerah, ada BUMD. Mestinya, ekonomi berjalan biasa, kecuali hal-hal esensial. Dalam pembangunan saja, yang menang tender, bahkan besinya BUMN, semennya BUMN, pasirnya mungkin BUMN. Ini mengerikan. Ini enggak ada insentif untuk menjalankan sektor-sektor ekonomi. Kalau sekarang ini masyarakat hanya mendapatkan remah-remahnya saja. Ini nggak sehat.


Kembali ke UUD, di mana yang ditangani negara itu yang betul-betul esensial, masyarakat yang harus dapat dari situ, seperti transportasi murah, bahan pokok yang harus dijaga. Tapi selebihnya masyarakat yang bekerja dengan menghidupkan kelompok-kelompok dari masyarakat. Dipermudah untuk kredit usaha. Ada kontrol pendampingan yang lebih mudah.


Untuk kebijakan kebudayaan, apa yang harus kita refleksikan bersama?


Di level ini, banyak hal yang harus kita perbaiki. Misalnya, di masa pandemi seperti saat ini sangat kelihatan. Bagaimana melaksanakan pembelajaran daring. Yang sangat penting adalah ada keterlibatan masyarakat dalam pendidikan. Jangan dibirokratisasi juga. Ada proses birokratisasi luar biasa. Di balik itu ada uangnya.


Harus ada evaluasi lebih jauh lagi karena faktanya masyarakat mampu menangani pendidikan ini. Tapi karena dibirokratisasi, masyarakat menerima dampaknya yang sangat berat sekali. Kurikulum ditentukan semuanya oleh pemerintah pusat. Misalnya, masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan harus ikut. Untungnya, anggaran pendidikan lebih besar. tapi lebih banyak habis di proses birokratisasi itu.


Paradigma saya adalah bagi tugas antara negara dan masyarakat. Kurikulum memang harus ada yang ditentukan pusat, tetapi jangan banyak-banyak, misalnya kewarganegaraan, sejarah, bahasa Indonesia. Itu kurikulum yang diatur.

 

Selebihnya, diatur bareng-bareng antara masyarakat dan pemerintah, terutama pemerintah daerah. Karena yang tahu urusan pendidikan itu, masyarakat dan pemerintah daerah. Jadi, ada kurikulum kontekstual dengan daerahnya. Anak-anak sekarang nggak tahu lingkungannya karena semua pelajaran Jakarta.


Misalnya, ekonomi Jawa Tengah penghasil apa saja. Mereka itu nggak tahu, nggak mikir mereka. Pelajaran sangat jauh dari lingkungan karena semua ditentukan pusat. Kalau misalnya, porsi besar itu, selain sejarah, PPKN, dan bahasa Indonesia, tetapi selebihnya urusan masyarakat dan pemerintah daerah sehingga kontekstual.


Basisnya lokal. Tidak kemudian orang Papua harus belajar bahasa Jawa. Orang Papua harus belajar gamelan. Sekarang kan begitu seolah-olah kebudayaan Indonesia itu satu. Seolah hasil bumi itu seragam. Model pembagian negara masyarakat ini penting sekali.


Karena seluruh kurikulum terpusat yang diuntungkan itu pembuat buku paket. Itu luar biasa. Berapa pelajaran. Berapa murid. Tapi kalau desentralisasi, yang hidup bukan hanya pusat, tapi guru juga bisa buat buku teks lokal, percetakan lokal.

 

Belum lagi aktivitas pendidikan. Harus ada kerja sama pemerintah dan masyarakat terutama di dalam penyelenggaraan pendidikan sampai pada aktivitas pembelajaran yang sifatnya lebih kontekstual. Itu berlaku juga untuk perguruan tinggi. Mestinya, bisa menyusun sebuah pembelajaran yang sangat kontekstual.


Selebihnya adalah proses pendalaman demokrasi. Keterkaitan itu sangat berpengaruh terhadap manfaat proses demokrasi. Demokrasi tidak sekadar milih presiden, tapi pembagian peran antara masyarakat dan negara secara lebih nyata dalam berbagai sektor. (*)