Wawancara

Ciptakan Iklim Intelektual dalam Badan Otonom Perempuan NU

Selasa, 7 Februari 2006 | 05:07 WIB

Akhir bulan lalu Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 80 tahun. Salah satu yang menjadi bahan refleksi bersama adalah gerakan perempuan NU, dalam kaitannya dengan upaya pemberdayaan perempuan di Indonesia. Bagaimana anak muda NU melihat organisasi kemasayarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia ini dalam upayanya mewujudkan cita-cita tersebut? Berikut wawancara Moh. Arief Hidayat dari NU Online dengan Ai Maryati As Shalihah, aktivis perempuan NU yang juga Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Korp PMII Putri (Kopri). Kopri adalah sebuah badan otonom di bawah sebuah organisasi mahasiswa, yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang mewadahi gerakan perempuan.

Bagaimana Anda melihat NU saat ini dalam hubungannya dengan gerakan perempuan?
Saya lihat memang NU sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam konsisten terhadap jam’iyahnya sejauh ini, konsisten pada Khittah 1926. NU bukan lagi sebuah komunitas yang berorientasi pada politik, lebih pada pengembangan sumber daya manusia, mengimplementasikan ajaran-ajaran keislaman dan membawa umat supaya lebih punya kesadaran terhadap Islam.

<>

Di situ ada nilai trasenden yang luar biasa, yaitu nilai-nilai kemanusiaan. Ketika NU bersuara keras soal pemberantasan korupsi, tentang upaya perdamaian di dunia. Saya kira ini menunjukkan bahwa NU saat ini lebih maju, bahwa NU saat ini makin mempunyai perspektif dalam memandang fenomena sosial, politik dan budaya.

Sebagai kader NU, ada runutan sejarah yang tidak bisa dilepaskan antara NU dengan PMII (Peregerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Dalam konteks perempuan, ini juga menjadi sebuah bacaan ketika NU memiliki cara pandang seperti itu dengan realitas gerakan perempuan hari ini. Kalau menurut saya, dalam kemajuan yang tadi saya sebutkan, alangkah baiknya itu juga diimbangi dengan membuka cakrawala atau membuka seluas-luasnya kader perempuan untuk ikut berkompetisi, dan NU harus memfasilitasi itu. Dalam konteks kesetaraan menurut saya masih terjadi disparitas (kesenjangan), masih perlu kita perjuangkan lagi.

Fasilitas yang dibutuhkan seperti apa?
Sebetulnya kan dalam konteks kesetaraan terlebih dahulu harus ada sistem yang dipersiapkan untuk memberikan ruang kompetisi, dan itu saya pikir perlu didorong oleh organisasi induknya. Jangan sampai kemudian yang disalahkan ya perempuannya. Tetapi sejauhmana ada fasilitas, ada ruang, ada kesempatan yang disiapkan sebagai sistem untuk mewujudkan kesetaraan itu. Dengan demikian, disparitas atau kesenjangan yang terjadi tidak luar biasa lebar.

Saya kira NU sudah cukup mampu untuk menyediakan sebuah sistem untuk gerakan perempuannya. Sudah ada sistem, tapi saya melihatnya belum berjalan efektif dan harus terus diperjuangkan lagi.

Fasilitas yang dimaksud mungkin seperti adanya semacam wadah bagi perempuan NU?
Kalau sampai hari ini saya masih mengkritik, bahwa NU terlalu memberikan ruang yang sangat besar bagi banom (badan otonom), maksudnya hanya kepada Fatayat, Muslimat dan IPPNU (Ikatan Putera Puteri Nahdlatul Ulama). Padahal, menurut saya perempuan yang lebih mempunyai perspektif, lebih maju adalah ruang-ruang di luar itu, yaitu PMII. Meskipun independen dari NU, tapi PMII masih punya kontribusi untuk NU.

6 bulan kepengurusan Kopri, saya melihat kesempatan untuk berafiliasi, kesempatan menerima akses dari NU gerakan eksternal Kopri belum terbangun. Maksud saya, ini menjadi otokritik bersama. Karena sentrum gerakannya, NU dengan PMII, kalau gerakan perempuannya ya dengan Kopri.

Adanya badan otonom yang mewadahi kader perempuan NU, Anda menilai sudah efektif atau belum?
NU dengan badan otonom, Fatayat dan sebagainya, saya melihat proporsi mereka sudah tertata dan terbangun. Misalkan kita bicara soal kesehatan perempuan, yang kita tanya Fatayat. Kalau bicara pemberantasan buta huruf di lingkungan lanjut usia ya nanya Muslimat. Kemudian misalkan bicara ToT (Training of Trainers) di tingkat elementer, di SMU atau madrasah ya nanya IPPNU.

Tetapi kan ada ruang, membangun perspektif kepemimpinan perempuan, peningkatan kualitas perempuan, atau membangun kesadaran berorganisasi. Itu kan sebetulnya ruangnya ada di organisasi mahasiswa. Nah, sampai hari ini belum terbangun ruang dan kesempatan itu. Tolonglah dikasih langsung dari PBNU ke PMII misalnya, yang sampai hari ini komitmen menyuarakan kesetaraan dalam perspektif tadi, itu dikasih semacam fasilitas. Jadi, ada sistem yang memang bisa kita isi, kita bisa artikulasikan.

Artinya PMII atau Kopri minta perhatian lebih dari NU?
Ya bukan perhatian, tapi kita sedang membangun sistem dan kita setuju. Ada nilai-nilai bersama yang kita sepakati dalam perspektif Islam. Ada juga nilai-nilai yang kita sepakati dalam perspektif sosial. Contohnya, bahwa kita konsisten bukan sebagai underbow sebuah partai politik. PMII setuju itu, dan NU juga setuju itu, itu yang mempertemukan. Kemudian dalam nilai-nilai Islam, kita setuju bahwa haluan atau pedomannya adalah Ahlussunnah Wal Jamah (Aswaja), dan itu of course. Tidak ada kita menggunakan ideologi lain.

Makanya, dari