Wawancara

KH Hasyim Muzadi: "Nawaitu Saya Memimpin Umat"

Ahad, 7 September 2003 | 18:42 WIB

Pria yang mengawali kariernya pada 1967 sebagai Ketua Ranting NU di Malang ini kian sibuk saja. Apalagi setelah namanya disebut-sebut sebagai calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa. Kendati masih berupa wacana, tapi pro-kontra telanjur merebak.

Namun, bukan lantaran itu, wajah Ketua Umum pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi terlihat kuyu. Anak ketujuh dari delapan bersaudara keluarga pedagang tembakau kecil-kecilan ini kelelahan. Beberapa pekan terakhir ia sibuk mengunjungi sejumlah daerah yang menjadi basis NU. "Yang saya butuhkan saat ini adalah tidur sebentar. Saya baru saja dari Ciamis, Jawa Barat," ujarnya lirih sambil menyelonjorkan kedua kakinya pada sofa warna hijau di ruang kerjanya di lantai tiga Gedung PB NU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Rabu pekan lalu.

Hasyim tampaknya tak terlalu berminat dalam urusan kursi presiden. "Nggak pernah ngebayangin. Saya pernah diberi nasihat oleh ayah saya bahwa saya tidak perlu mencari kebesaran, tapi besarkanlah amalmu kepada masyarakat. Kamu akan besar dengan sendirinya. Tapi, jika terfokus menuju kebesaran, kamu akan berkelahi dengan semua orang untuk menuju ke sana," paparnya.

Cak Hasyim--demikian ia biasanya dipanggil--lebih senang berkiprah di NU. Alasannya, ketika mengurus umat, akan muncul dimensi kemanusiaan dan persatuan. "Saya bergaul dengan mereka, menyantuni dengan mabadi khoiro ummah (pilar-pilar pengembangan umat), keadilan, persatuan, tata nilai yang menyangkut gerakan zikir bersama," tutur petinggi NU ini.

Berbagai hal itu diungkapkan Cak Hasyim ketika berbincang dengan Tempo News Room di ruang kerjanya. Pembicaraan kemudian dilanjutkan dalam mobilnya yang meluncur ke kantor Kedutaan Besar Singapura. Berikut petikan wawancara Ecep S. Yasa bersama fotografer Samtirta M. seputar sikapnya tentang pencalonan dirinya untuk pemilihan presiden, kesibukan, hingga keluarganya.


Empat lembaga otonom NU mencalonkan Anda untuk menjadi calon presiden. Bagaimana sikap Anda sesungguhnya?
Itu baru wacana internal karena berasal dari badan otonom NU dan wilayah-wilayah. Dan lagi, keputusan itu tidak bisa dilakukan NU. Koridornya tetap ada pada partai politik. PB NU hanya menampung aspirasi, kemudian, sebagai orang tua, kita berpikir mencari jalan keluar.

Anda menyebutkan masalah pencalonan presiden bukan soal pribadi, tapi NU. Maksudnya?

Begini, ada dua dimensi yang harus dipertimbangkan seorang calon presiden. Dimensi pertama soal kebutuhan bangsa, bahwa bangsa ini sedang terpuruk. Karena itu, harus dicari siapa yang menurut perhitungan bisa melakukan recovery Indonesia.
Yang kedua, saya menyarankan, sebaiknya dalam tenggang waktu prakondisi ini, suara masyarakat perlu didengar. Sebab, tanpa mobilisasi atau partisipasi masyarakat dalam mengangkat kembali Indonesia, bisa dibilang tidak mungkin. Dengan demikian, recovery yang saya maksud tidak hanya pekerjaan elitis, tapi harus menjadi pekerjaan populis.
Makanya, saya tidak punya pretensi ingin jadi presiden. NU bukan organisasi politik sehingga secara formal tidak bisa mengajukan calon presiden. Salah kalau NU mendahului.

Secara pribadi Anda berminat?

Nah, itu tadi, seperti yang saya bilang, presiden akan berhasil bila dia dikehendaki rakyat. Soal minat, setiap warga negara boleh saja. Tapi, dalam kondisi Indonesia terpuruk, yang diperlukan adalah presiden yang dikehendaki. Lagi pula, saya ini Ketua PB NU, saya dari Malang ke Jakarta disuruh memimpin NU, mengurusi umat, tidak disuruh jadi pejabat. Kalau ada pergeseran dari mengurusi umat ke pejabat, itu harus sesuai konstituen. Tidak bisa begitu saja. Wong konstituen menyuruh saya tidak jadi pejabat, kok.

Dari berbagai pernyataan Anda, kok te