Wawancara

NU dan Pelajaran Penting Dari Pakistan

Rabu, 21 April 2004 | 13:56 WIB

Dinamika Islam tradisional di belahan dunia lain seringkali menunjukkan pola dan sejarah yang hampir sama. Baik menyangkut pandangan hidup, maupun wacana kebangsaan terutama menyangkut relasi dengan penguasa. Untuk mencermati fenomena itu, wartawan NU Online Alifatul Lailiyah bersama M. Adnan Anwar menggali permasalahan ini secara mendalam melalui wawancara tatap muka dengan pakar politik Asia Selatan, Prof. Christopher Candland yang mengajar di Wellesley College, Amerika Serikat. Wawancara ini dilakukan ketika ia berkunjung ke redaksi NU Online beberapa waktu yang lalu, berikut ini petikan wawancaranya:

Bagaimana perbandingan antara NU sebagai Muslim Tradisional di Indonesia dengan Muslim Tradisional di Asia Selatan khususnya Pakistan Apakah ada kesamaan cara pandang dan pemikiran serta  semangat nasionalismenya?

<>

Pertama, bagi saya, ketika berbicara masalah identitas Islam di Pakistan, terlebih dahulu kita harus menengok sejarah berdirinya negara Pakistan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pakistan didirikan pada 14 Agustus 1947 dengan harapan akan menjadi tanah airnya masyarakat Muslim yang berasal dari negara India.

Pada kenyataannya, negara Pakistan ini semula memang bagian dari wilayah India yang didirikan oleh orang-orang Islam yang ingin mempertegas identitas keislamannya. Dan Islam adalah agama mayoritas bagi orang-orang India di bagian Selatan. Penting untuk diingat dan diketahui bahwa pendirian Pakistan bukan dimaksudkan untuk menjadi negara Islam, tapi negara untuk orang Islam.

Ketika digelar pertemuan Dewan Konstituante (Constituent Assembly) tahun 1947 Muhammad Ali Jinnah, founding fathernya Pakistan dan pemimpin Partai Liga Islam (The Muslim League), berpidato di depan peserta pertemuan Dewan Konstitusional (Constitutional Assembly) mengatakan “Sekarang kamu bebas untuk melaksanakan ajaran agamamu, apakah itu Hindu, Islam, Kristen, Budha”. Sayangnya, sebelum pembentukan UUD selesai, Ali Jinnah wafat pada tahun 1948, tidak berselang lama setelah Pakistan berdiri. Tetapi anehnya, sekarang ini banyak pendapat yang mengklaim kalau Muhammad Ali Jinnah mendukung Pakistan sebagai negara Islam. Meskipun adiknya, Fatimah Jinnah yang hidup lebih lama dari Ali Jinnah dan merupakan pembantu juga pendukung gagasan kakaknya selalu mengkampanyekan gagasan Jinnah tentang negara Pakistan sekuler bukan negara Islam.

Satu pertanyaan yang layak diajukan dalam konteks ini adalah apa sebetulnya karakter negara Pakistan itu?

Setelah pemisahan terjadi India - Pakistan tahun 1947 sesungguhnya tuntutan untuk mendirikan Pakistan sebagai negara sekuler cukup besar, kelompok-kelompok yang memilih untuk tidak mewujudkan identitas keislaman dalam konteks bernegara. Sementara, aspirasi yang menuntut pendirian negara Islam justru hanya suara minoritas yang datang terutama dari Maulana Al Maududi dengan partainya Jamaat Islami, namun sekali lagi ini hanya suara minoritas. 

Hanya saja, ketika Zia Ul-Haq naik ke tampuk pimpinan melalui kudeta tahun 1977, ia mengundang orang-orang Jamaat Islami dan segera memberlakukan kampanye-kampanye Islamis (Islamization Campaign) tahun 1979.  Dan konstitusi pun terbentuk tahun 1956 di bawah tekanan pemerintahan Zia Ul-Haq. Zia berprinsip bahwa otoritas politik tertinggi hanya ada pada Allah. Ia berkeyakinan bahwa partai politik adalah organ yang tidak Islamis. Dan demokrasi itu tidak Islamis, sebab orang tidak tahu apa yang baik bagi diri mereka sendiri. Karena itu, hanya ulama-ulama Jamaat Islami yang bisa menentukan apakan sebuah hukum tertentu bertentangan dengan Islam atau tidak.

Kalau disinggung masalah corak keberagamaannya, orang-orang di Pakistan yang menganut Islam tradisional mengacu pada tradisi Beralvi yang menganut Madzhab Sunni. Kelompok Muslim tradisional di Pakistan ini dikenal sangat kritis terhadap pemerintah, khususnya pada saat rezim Zia ul-Haq berkuasa. Walaupun mayoritas dari mereka tidak lahir dari kalangan berdidikan tinggi, tetapi cara pandang mereka sangat moderat bahwa konsep bernegara  tidak harus dituangkan dalam simbol-simbol Islam.

Lalu bagaimana dengan sejarah perkembangan dan kebangkitan Deobandi di Pakistan yang juga punya peran besar dalam mengambarkan relasi negara - agama?

Deobandi adalah gerakan yang bermula dari kota Deoband di India dan pesantren (Madaris) Deoband menjadi pusatnya yang lahir dipertengahan abad 19. Deobandi disebut-sebut sebagai gerakan reformasi dan modernisasi Islam (revivalism). Gerakan ini lebih diminati oleh profesional dan orang-orang berpendidikan tinggi. Kalau di Indonesia miriplah dengan Muhamadiyyah, relasinya dengan penguasa pun cukup dekat, ya seperti Muhamadiyahlah di jaman Orde Baru.

Banyak pengikut Deobandi secara individu terlibat di Partai Jamaat Islami, partai yang mendapat berkah dari pemerintahannya Z