Wawancara

NU Harus Desak Pemerintah Agar Pro Petani

Selasa, 30 Desember 2003 | 14:27 WIB

Perkembangan NU periode Lirboyo ini, perlu diamati secara serius. Apakah ada perubahan-perubahan substanfif yang dialami NU baik dari sisi jamiyyah maupun jamaahnya.Bagaimana selama kurang lebih 5 tahun ini, NU memainkan peran strategis dalam bidang sosial, ekonomi maupun Politik. Adakah kemajuan-kemajuan yang dicapai atau justru mengalami stagnasi? Untuk menelusuri jawaban ini, wartawan NU Online, M Adnan Anwar mencoba melakukan wawancara jarak jauh dengan Drs Kacung Marijan MA, Dosen FISIP UNAIR, kandidat Doctor  Australian National University serta Penulis buku Quo Vadis NU?.
 
1. Bagaimana dengan evaluasi peran ekonomi dan politik yang dimainkan oleh NU secara kelembagaan selama periode Lirboyo ini, apakah ada perkembangan-perkembangan yang cukup menggemberikan atau justru mengalami stagnasi?
 
Apabila dilihat dari peran ekonomi dan politik yang dimainkan NU, yang paling sulit dilakukan adalah peran di bidang ekonomi. Secara kelembagaan hal ini terjadi karena NU memang bukan lembaga ekonomi, melainkan lembaga keagamaan. Apabila dibandingkan dengan Muhammadiyah pun, NU juga masih tertinggal. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa sejak awal Muhammadiyah memang lebih banyak mengurusi masalah-masalah amal, sehingga lebih banyak bersentuhan dengan problem-problem kongkrit seperti masalah kesehatan, pendidikan, termasuk ekonomi.
 
Secara kelembagaan NU sekarang memang sudah memiliki lembaga yang berkaitan dengan perekonomian. Tetapi lembaga ini juga belum bisa berfungsi dan bergerak secara maksimal. Sehingga yang terjadi adalah bahwa lembaga ini baru bergerak di tataran perumusan konsep-konsep tetapi belum banyak melakukan implementasi.
 
Problem penting yang dihadapi oleh NU di dalam perekonomian adalah masalah modal (capital). NU baru berpikir di bidang ekonomi ketika sudah terdapat kapitalisasi yang luar biasa, termasuk di pedesaan. Ketika NU bermaksud merambah bidang ekonomi, yang harus dihadapi adalah para pemilik modal.
 
Pemecahan masalah seperti itu memang tidak mudah. Tetapi hal itu bisa dilacak melalui dua perspektif sekaligus. Pertama, melihat karakteristik kebanyakan orang NU yang masih bergerak di sektor pertanian. Dalam lebih dari tiga dekade ini sumbangan sektor ini kepada GDP Indonesia mengalami penurunan signifikan. Sementara itu sektor ini masih menjadi andalan penyerapan angkatan kerja. Akibatnya, secara kualitatif para petani mengalami penurunan pendapatan. Penurunan pendapatan ini semakin nyata karena produk-produk mereka mengalami trade off apabila dibandingkan dengan produk-produk sektor industri.
 
Implikasi dari realitas seperti itu adalah bahwa banyak orang NU yang secara kualitatif mengalami penurunan pendapatan.
 
NU mau tidak mau harus ikut-ikutan mengurusi sektor pertanian ini agar warganya tidak secara terus menerus mengalami penurunan pendapatan. NU, misalnya, bisa bergerak bersama-sama dengan lembaga-lembaga strategis seperti universitas untuk memproduksi produk-produk yang lebih berkualitas. Di samping itu, di bidang marketing, NU bisa memanfaatkan jaringannya yang kuat.Tanpa marketing yang baik, produk-produk bagus itu juga tidak ada manfaatnya.
 
Di tataran policy, NU harus bisa mendesakkan kepada pemerintah agar membuat kebijakan-kebijakan yang pro kepada petani, bukan malah memberatkan petani.
 
Perspektif yang kedua adalah melihat arah perekonomian mendatang. Sektor-sektor yang akan terus mendominasi adalah sektor industri manufaktur dan jasa. Kedua sektor ini merupakan penyumbang GNP terbesar. Kelompok yang menguasai dua sektor inilah yang menguasai perekonomian. Kalau NU mau kuat secara ekonomi, ya, mau tidak mau harus ikut menguasai dua sektor ini.
 
Ok, Kita beralih ke masalah politik. Kita harus kembali pada platform dasar NU tentang politik. Bahwa NU tidak akan secara langsung terlibat di dalam politik praktis, tetapi juga tidak anti politik.
 
Langkah yang dilakukan oleh NU belakangan ini sudah cukup bagus, yakni berusaha me<>

4. Bagaimana dengan instrumen politik partai yang di miliki seperti PKB, apakah NU secara kelembagaan perlu terus memperkuat posisi ini, atau memang konsentrasi NU harus segera beralih pada fully penguatan masyarakat ?
 
PKB memang didirikan dan menjadi instrumen NU. Hanya, seiring dengan fakta bahwa warga NU itu juga ada di partai-partai lain, PKB lalu menjadi salah satu instrumen. Bukan satu-satunya instrumen. Untuk ke depan, PKB tetap menjadi salah satu instrumen politik utama dari NU.
 
Hanya, yang perlu diingat adalah, rumah tangga NU dan PKB itu sendiri-sendiri. PKB ngurusi politik, NU ngurusi non-politik atau politik yang strategis saja. Tetapi, karena umatnya sama, keduanya harus sering berkomunikasi. Tujuannya itu, agar kekuasaan yang diraih PKB itu, misalnya, bermanfaat untuk umat, bukan para elitenya saja. Untuk ini, NU harus terus di garda depan penguatan masyarakat. Tanpa adanya penguatan masyarakat, kekuasaan itu hanya akan menguntungkan elite saja, bukan umat.
 
NU sendiri punya pilar yang sangat kuat di dalam penguatan masyarakat, karena NU memiliki komunitas yang berbasis pada lembaga pendidikan, entah di pesantren maupun maarif (non-pesantren). Lembaga ini harus diperkuat.Hanya saja, di sini NU juga memiliki kendala, yakni bagaimana mempertahankan lembaga pendidikan lama untuk mengembangkan nilai-nilai Aswaja dan mengadopsi unsur-unsur modern. Ini merupakan tantangan dari NU.
 
Sekiranya NU bisa memecahkan masalah ini, NU bisa memasuki ruang modern tanpa harus kehilangan jati diri.
Bagaimanapun juga, pendidikan merupakan instrumen yang sangat penting di dalam persaingan, baik di bidang ekonomi, politik atau yang lain. Tanpa adanya pendidikan yang memadai, warga NU akan teru saja tergencet, baik secara politik maupun ekonomi.
 
Masalahnya, sejauh ini masalah ini belum terpecahkan secara memadai. Di tengah-tengah munculnya sekolah-sekolah dan universitas yang bermutu, bisa dihitung dengan jari sekolah-kolah yang bermutu dari NU. Bahkan, universitas-universitas yang 'dikelola' oleh orang-orang NU termasuk yang ketinggalan.

Untuk itu, di tengah-tengah adanya kerakusan kekuasaan, harus ada kerakusan untuk mengembangkan lembaga pendidikan ini. Tanpa ini, fondasi NU ke depan akan rentan.

5.Soal penguatan ekonomi, selama ini nampaknya NU belum memiliki skema pemberdayaan ekonomi masyarakat NU, dulu pernah ada BPRNU tapi hilang, dari kasus ini, dari mana sebenarnya memulai agenda penguatan ekonomi NU, bisa dijelaskan tentang peluang pengembangannya seperti apa? dengan NU tidak berdaya secara ekonomi nampak bahwa independensi politiknya diragukan ?
 
Soal ini sudah saya singgung di depan. Secara ekonomi, umat NU itu tergenjet. Sektor pertanian mengalami penurunan. Kebijakan negara tidak pro pertanian. Di sektor industri manufaktur dan jasa, NU masih minim. Padahal dua sektor ini yang sekarang dan akan terus mengendalikan perekonomian. Kalau kita percaya bahwa pemilik modal itu ikut menentukan politik, realitas ini merupakan peringatan jelas agar NU serius ngurusi ekonomi juga. Kalau tidak, secara ekonomi dan politik akan tergenjet terus.
 
 
6.Dalam kasus ini, apakah NU perlu beraliansi dengan kekuatan kapital/modal agar terjadi proses percepatan pengembangan ekonomi?
 
Salah satu faktor penting di dalam perekonomian adalah modal. Kalau NU mau membangun ekonomi, ya, harus punya modal. Tetapi, modal itu 'kan bentuknya bisa macam-macam, bukan uang saja. Kalau orang itu pintar, bisa saja bersaing. Itulah sebabnya, seperti saya katakan tadi, NU perlu mengembangkan dunia pendidikan, agar warga NU memiliki modal yang kuat di dalam membangun ekonomi.
 
Beraliansi dengan pemilik modal (uang, misalnya) sebenarnya tidak masalah sekiranya orang-orang NU memiliki modal kepintaran yang kuat pula. Untuk ini, kita bisa meniru Malaysia. Awalnya, Malaysia tidak memiliki modal yang cukup. Untuk itu, dia menggalang pemilik m