Wawancara

PBNU Harus Lakukan Rekonsiliasi Secara Institusi

Kamis, 28 Oktober 2004 | 13:07 WIB

Jakarta, NU Online
PBNU secara institusi harus merespon upaya gerakan rekonsiliasi yang dilakukan komponen kultural Nahdlatul Ulama dengan korban G30S-PKI. Upaya ke arah rekonsiliasi secara konstitusi ini sangat diperlukan bukan karena Nahdlatul Ulama ketika peristiwa pembantaian terjadi dalam ruang hegemoni sehingga mau tidak mau masuk dalam pusaran kekuatan besar yang tidak dapat di elakan, tetapi karena secara empirik dan normatif upaya itu telah di lakukan di tingkat bawah.

“Biarkan kesalahan masa lalu menjadi kenyataan sejarah kelam yang harus dilupakan untuk membangun keutuhan bangsa kedepan,” ungkap anggota Komnas HAM MM. Billah kepada NU Online beberapa waktu lalu. Dan upaya yang tersisa adalah bagaimana PBNU secara institusi melakukan rekonsiliasi secara kelembagaa. “Sekarang tinggal Nahdlatul Ulama secara institusi yang melakukan itu,” katanya. Untuk mengetahui secara utuh kedalaman pemikirannya, berikut ini wawancara Ahmad Kosasih Marzukih dari NU Online.

<>

PBNU belum bersikap secara institusi terkait dengan rekonsiliasi NU dengan korban G30S-PKI bagaimana menurut anda ?
  
Jadi ada dua pendekatan, pertama pendekatan empirik dan kedua pendekatan normatif. kalau pendekatan empiris seperti yang sudah dilakukan oleh temen-temen yang berusaha untuk mempertemukan korban atau keluarga korban dengan aktivis NU yang tidak diakui secara institusional tetapi idenya bergerak kesana. Dan saya mengikuti beberapa pertemuan itu dan nampaknya kedua belah pihak sudah sampai pada satu kesepakatan bersama. bahwa itu adalah peristiwa historis yang terjadi pada masa lalu, dan mereka juga melihat konteks bagaimana peristiwa itu dan yang terjadi serta terkait di lapangan hanyalah pelaku-pelaku di tingkat lapangan yang sebenarnya digerakan oleh suatu struktur yang lebih besar diluar dirinya sendiri.

Jadi struktur yang lebih besar itu adalah pertikaian-pertikaian politik pada saat itu tahun 1965 misalnya, itu masih gencar-gencarnya perang dingin antara US dengan Uni Soviet. Oleh karena itu pengaruh itu sangat kuat sehingga kemudian mempengeruhi struktur politik di Indonesia saat itu yakni ketika kekuatan politik hanya terdiri dari 3 yakni Sukarno, AD, PKI dan ini artinya apa. Jika analisis ini benar maka NU bukan kekuatan politik yang terletak pada titik pusat tapi pada kekuatan pinggiran. Jadi semacam ikut arus, seperti ada banjir misalnya, orang akan kebanjiran. Mereka yang ada di lapangan seperti Pemuda Ansor yang ikut di lapangan pada waktu itu, jadi ikut arus terdorong dan terseret terus dan tidak bisa berbuat lain bahkan ketika saya masih SMA mengadakan dan mendengar ujaran bahwa ini dari tentara dan jika tidak disadari akan terjadi situasi jika kita tidak membunuh maka akan dibunuh. Ini jargon dari militer, kan situasi perang dan ansor pun terseret lalu begitu. Dan meskipun di dalam pertikaian-pertikaian konflik-konflik NU sebenarnya motivasinya bisa berbeda-beda,

lalu misalnya di dalam pertikaian-pertikaian itu sebenarnya motovasinya bisa bermacam-macam, ada motivasi pribadi, keluarga, ekonomi jadi sebenarnya bukan pada tingkat politik artinya sudah ada rekonsiliasi sosial antara keluarga korban dengan lapisan tertentu dari golongan NU dan bahkan kalangan muda ini didukung oleh kyai-kyai lokal di daerahnya yang cukup pengaruh. Nah sebenarnya ini kalau secara empiris dan kalau NU sebenarnya yang merupakasn wujud dari gelombang-gelombang empirik itu maka NU harus menangkap sinyal itu dan menjadikannya sebagai satu kebijakan  ditingkat sosial pada tingkat komunal

Dan kedua adalah pendekatan normatif, itu dari kadiah-kaidah keagamaan, kadiah moral sebenarnnya tidak ada salahnya kalau orang mengaku berbuat salah itu lalu mengaku salah dan menyatakan diri bahwa memang dulu  saya dulu memeng berbuat begini tetepi dulu harus dijelaskan dulu kenapa dulu berbuat begitu ? jadi misalnya dulu di Ansor JATIM mengapa dulu ikut berbuat begitu, mengapa dulu membuhuh PKI ?

Jadi saya kira dengan menyatakan rasa bersalah, mengakui pernah terjadi dan terlibat oleh karena  itu merasa bersalah dan meminta maaf adalah sikap yang positif dan terpuji. Dan Tuhan pun, dalam kaidah agama mengatakan Tuhan tidak akan memaafkan kesalahan anda sebelum orang tersebut memaafkan kesalahan anda atau anda dengan tulus meminta maaf. Oleh karena itu dengan segala ketulusan sebenarnya tokoh yang dulu terlibat secara organisasional sesungguhnya tidak ada salahnya itu juga minta maaf. Benar dulu kami terlibat, dan sejauhmana terlibatnnya juga diterangkan yaitu kemudian kami menyatakan minta maaf. Dan secara individual sebenarnya Gus Dur sudah mengakui itu dan secara organisasional kan belum. Jadi sebenarnya pada tataran ini  sudah tipis sekali. Artinya ada arus besar yang sekarang mendorong supaya Nu secara institusional mengesahkan gerakan rekonsiliasi antara warga NU dengan warga korban. Tinggal  mengesahkan kan artinya secara organisatoris dan secara politis.

Bagaimana kalau upaya ke arah sana tidak dilakukan oleh PBNU?