Wawancara

Program Ekonomi Para Capres Tidak Realistis

Kamis, 17 Juni 2004 | 03:02 WIB

Jakarta, NU Online
Selama ini masyarakat merasakan kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat kecil, dan pengusaha kecil. Akibat dari kebijakan yang tidak berpihak kepentingan masyarakat kecil itu, beban hidup menjadi bertambah berat.

Khusus untuk Jakarta, sedikitnya orang tua harus merogoh Rp 1 juta dari sakunya bila ingin memasukkan anaknya di sekolah dasar yang layak. Begitu juga bila ingin diterima di SMP - SMU, tanpa uang  Rp 2-6 juta, orang tua terpaksa harus menerima kenyataan bahwa sang anak tidak bisa melanjutkan kejenjang menengah. Praktis hanya mereka yang berasal dari keluarga mampu yang bisa sekolah secara layak. Beban yang sama juga dirasakan masyarakat di daerah-daerah lain.

<>

Tidak berbeda dengan pendidikan, karena minimnya perhatian negara untuk sektor kesehatan. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai baik dari Puskesmas, maupun Rumah Sakit.  Beban berat juga dialami sektor usaha ekonomi lemah, karena minimnya perhatian pemerintah, bukan hanya kesulitan mendapatkan akses kredit dari perbankan, namun mereka juga kesulitan mendapatkan bahan baku yang murah.

Barang-barang hasil produksi menjadi terlalu mahal untuk dijual di pasaran. Apalagi dengan rendahnya perlindungan barang produksi lokal dalam persaingan dengan produksi asing. Tanpa perhatian dari pemerintah, mereka sulit berkembang. 

Seperti pada Pemilu yang sudah-sudah selama orde baru, besarnya belanja kebutuhan masyarakat saat ini pun tidak dilewatkan begitu saja oleh pasangan Capres dan Cawapres. Untuk meraih suara masyarakat kecil yang mayoritas, semua kandidat yang turut berlaga pada Pemilu 5 Juli yang akan datang menawarkan janji-janji kepada masyarakat.

Dalam kampanye masing-masing, kelima kandidat Capres dan Cawapres menjanjikan kepada masyarakat pemilih untuk memaksimalkan  alokasi biaya belanja kebutuhan  bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat kecil, dan pengusaha kecil dalam APBN dibanding yang dialokasikan dalam APBN selama ini.

Pertanyaannya sekarang,  apakah janji-janji mereka masuk akal jika diukur dengan situasi sosial ekonomi saat ini? Alokasi anggaran yang mana saja yang akan dikurangi untuk mewujudkan janji salah satu dari kelima pasangan itu saat menjadi presiden nanti?

Karena dalam setiap kampanye, masing-masing kandidat  tidak menjelaskan tentang hal itu. Mereka semua juga tidak menjelaskan tentang caranya meningkatkan belanja semua kebutuhan masyarakat tanpa mendongkrak defisit, dan hutang dalam dan luar negeri.

Untuk mendapatkan analisa kritis tentang janji-janji yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan strategi masuk akal dalam mewujudkan janji-janji tanpa harus menimbulkan resiko berarti, Abdullah dari NU Online mewawancarai pengamat ekonomi dan keuangan dari Persatuan Bank-Bank Swasta Nasional (Perbanas) Aviliani, Kamis, (17/6). Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana tanggapan Ibu terhadap pernyataan para capres yang menjanjikan akan menyisihkan anggaran lebih besar untuk bidang-bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat kecil dan usaha kecil menengah (UKM)?


Kalau saya menilai program ekonomi Capres itu tidak ada yang realistis.

Kenapa ibu mengatakan demikian?

Karena kalau mau bicara tentang APBN, saat ini bisa dikatakan sulit sekali mengalokasikan anggaran-anggaran publik, seperti bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat kecil, dan pengusaha kecil.

Apa penyebabnya?


Penyebabnya ada dua; pertama, alokasi pembayaran untuk pinjaman luar negeri sangat besar, dan   itu tidak mungkin untuk ditunda. Kedua, sebagian besar kita bisa melihat pos pengeluaran rutin itu juga tidak mungkin untuk dipangkas.

Bagaimana peluang untuk mewujudkan janji-janji itu?

 
Menurut saya kalau para Capres ingin tetap mewujudkan janjinya ada dua kemungkinan: pertama dia bisa menaikkan pajak dengan resiko iklim investasi jadi tidak kondusif; kedua kemungkinannya adalah dengan melakukan pinjaman luar negeri lagi. Kedua-duanya itu sebenarnya dikhawatirkan  banyak orang. Praktik yang kedua ini banyak dilakukan pada zaman Pak Harto. Pada zaman itu,  volume pinjamannya besar, alokasinya digunakan seolah-olah untuk rakyat, tapi beban pembayarannya menumpuk  sekarang ini. Jadi kalau misalnya cara kedua ini ditempuh oleh para Capres dalam mewujudkan janjinya, maka pemerintahan penggantinya akan menanggung beban pembayaran yang besar, dan lebih besar lagi beban masyarakatnya. Jadi menurut saya, janji - janji itu tidak realistis.

Bagaimana caranya