Wawancara

Rekfleksi 80 Tahun NU, Kedepankan Sikap Toleran, Moderat

Sabtu, 28 Januari 2006 | 07:37 WIB

Senin, 30 Januari 2006, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 80 tahun. Bagaimana tokoh NU menilai organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia ini setelah sekian lama bergulat dengan persoalan bangsa dan negara? Evaluasi perjalanannya selama ini dan harapan ke depan penting untuk dilakukan dalam rangka mengembangkan NU menjadi lebih baik. Inilah wawancara Moh. Arief Hidayat dari NU Online dengan KH. Salahuddin Wahid (Gus Solah), mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang juga salah satu cucu pendiri NU, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Jumat (27/1) lalu.

Bagaimana Gus Solah melihat NU sekarang?
Kalau saya lihat NU itu apa? Menurut saya ada beberapa hal dari NU. Pertama, dia sebagai sebuah ajaran, sebuah paham keagamaan yang dikenal Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dengan ciri-cirinya mengedepankan sikap toleran, moderat, sikap adil. Nah, sekarang kita lihat apa benar begitu? Bagaimana sesama NU bisa berkelahi. Tidak toleran itu, tidak moderat itu.

<>

Jadi, NU, terutama tokoh-tokohnya, coba mengkaji dirinya sendiri, apakah pertentangan-pertentangan itu apakah sesuai dengan ajaran NU.

Kemudian juga yang harus disikapi adalah sekarang banyak anak-anak muda NU yang punya paham atau pemikiran berbeda. Mesti di-gimanain ini. Kalau Muhammadiyah kemarin kan mengatakan, sejauh yang saya tangkap, yang berpaham liberal itu nggak boleh. Di Muhammadiyah begitu. Saya baca di koran satu penerbitan kemarin. Nah, di NU bagaimana, apakah juga tidak boleh.

Kemudian yang kedua, NU sebagai relaitas politik menjawab dan realitas sosial. Sebagai realitas politik, warga NU ada di mana-mana. Ya, biarkan saja seperti itu. Sebagai relaitas sosial, sebagian besar mengatakan warga NU itu orang yang tertinggal, orang mustad’afin, orang yang ekonominya lemah. Pertanyaannya, sejauhmana NU bisa berperan untuk membantu warga ini melalui tokoh-tokoh NU yang ada di berbagai partai.

Yang ketiga adalah NU sebagai organisasi. Ini juga perlu dikaji, sejauhmana NU bisa mengembangkan, misalkan bidang pendidikan, lembaga-lembaga sosial, rumah sakit, membantu ekonomi, baik itu namanya bait al mal. Itu juga perlu dikaji.

Tadi disinggung soal anak-anak muda NU yang punya paham berbeda. Kalau menurut Gus Solah sendiri bagaimana?
Bukan saya yang harus menjawab, mestinya pengurus NU.

Bagaimana pandangan Gus Solah tentang NU kaitannya dengan politik kebangsaan?
Ya, NU kan tidak berpolitik, pasti harus kebangsaan. Tidak berpolitik kepartaian kan? Saya kira tidak ada masalah. Kecuali kalau NU dipakai sebagai kendaraan politik.

Khusus bidang pendidikan. Kalau menurut Gus Solah pendidikan di NU bagaimana?
Masih belum, masih kurang. Dibanding dengan Muhammadiyah NU ketinggalan. Makanya, NU harus lebih banyak belajar dan menuju ke arah sana.

Bicara pendidikan di NU juga tidak bisa dilepaskan dari pesantren dan ulama. Jadi, ini juga beberapa yang perlu dikaji. Masalahnya sekarang banyak pimpinan NU yang tertarik di bidang politik. ini harus dicegah. Kalau ngurusin NU, ya ngurusin NU. Kalau ngurusin politik, jangan ngurusin NU.

Keberadaan lembaga pendidikan di NU seperti LP Ma’arif, menurut Gus Solah apa kurang bagus?
Menurut saya masih kurang optimal. Tapi, rasanya masih bisa ditingkatkan.

Strategi peningkatannya bagaimana?
Ya, memberdayakan organisasi. Mengevaluasi, introspeksi, mencari apa yang menjadi potensi dalam dirinya. Itu digali dan dijalankan.

Kemudian apa yang harus di lakukan NU ke depan?
Ya, melaksanakan programnya. Kan programnya sudah jelas itu. Cuma nggak dijalankan saja. Sekarang kan semua pada tertarik ke politik. Ke depan jangan tertarik ke politik lagi lah. Harusnya menjalankan programnya yang sudah disusun dengan baik itu.

***