Balitbang Kemenag

Eksplorasi Karya Ulama Nusantara di Indonesia Bagian Barat

Rabu, 15 Mei 2019 | 05:45 WIB

Eksplorasi Karya Ulama Nusantara di Indonesia Bagian Barat

KH Ahyauddin Ibn KH Anwar Ibn Haji Kumpul Seribandung, pengarang Kitab Al-Nagham

Salah satu penelitian Balai Litbang Agama Jakarta, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI tahun 2018 adalah terkait karya ulama Nusantara. Kajian ini sangat signifikan dilakukan, apalagi terkait dengan tema 'Nilai-Nilai Kebangsaan dan Keagamaan' yang disampaikan oleh para ulama melalui karya-karya mereka. Bangsa Indonesia membutuhkan kajian-kajian karya-karya ulama Nusantara yang mempererat dan memperkuat nasionalisme dan kebangsaan di tengah meningkatnya sikap intoleransi dalama kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini. 

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil di enam lokasi, disimpulkan hasil penelitian. Pertama, Zulkarnain Yani mengangkat tema tentang 'Semangat Kebangsaan dalam Kitab Al-Nagham Karya KH Ahyauddin Ibn KH Anwar Ibn Haji Kumpul Seribandung, Sumatera Selatan'.
 
Ada dua alasan penelitian tersebut dilakukan. Kitab Al-Nagham ini belum pernah ada yang melakukan kajian dan penelitian. Maka, kajian terhadap kitab ini perlu untuk dilakukan. Selain itu, kandungan dari Kitab Al-Nagham, meskipun berupa syair-syair lagu, mengenai tema-tema kebangsaan dan nasionalisme.
 
Berdasarkan hasil kajiannya, disimpulkan bahwa Kitab Al-Nagham karya KH Ahyauddin Ibn KH Anwar Ibn Haji Kumpul Seribandung merupakan salah satu mutiara yang terpendam yang ada di Pondok Pesantren Nurul Islam Seribandung, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Karya ulama seperti ini seharusnya dikenal luas oleh masyarakat.

KH Ahyauddin, melalui Kitab Al-Nagham ini, ingin menyampaikan pesan-pesan semangat kebangsaan berupa cinta tanah air, patriotisme, persatuan dan kesatuan bagi seluruh warga negara di manapun berada. Bahwa melalui syair-syair lagu dalam kitab ini, cinta tanah air, patriotisme, persatuan dan kesatuan dapat terwujud demi mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari rongrongan manapun, baik upaya menjatuhkan negara Indonesia dari dalam negeri maupun serangan dari luar negeri. 

Kedua, Saeful Bahri mengangkat 'Intelektual sebagai Akar Persatuan Muslim; Studi terhadap Misbah Al-Zhalam karya Syaikh Haji Mansur Datuak Nagari Basa (1908-1997)'. Syaikh Haji Mansur Dt Nagari Basa merupakan tokoh utama ulama tua yang aktif berjuang dalam bidang sosial keagamaan, sufi yang berjuang membebaskan kaumnya dalam penjajahan Kolonial, mempunyai genealogi intelektual yang mengakar kepada tokoh-tokoh sentral ulama Minangkabau sehingga representatif untuk mewakili ulama tua, dosen pada beberapa perguruan tinggi, pimpinan pondok pesantren dan surau suluk (zawiyah sufi), dan ulama yang produktif melahirkan karya tulis.

Kajian terhadap karya Syaikh Haji Mansur Dt Nagari Basa disimpulkan bahwa Kitab Mishbah Al-Zhalam adalah salah satu karya ulama Sumatera Barat yang mempunyai arti penting dalam pergumulan intelektual di Sumatera Barat. Pada awal abad 20 Sumatera Barat merupakan salah satu produsen berbagai corak pemikiran. Beragamnya pemikiran membuka peluang perdebatan dan perselisihan di kalangan masyarakat awam. Dalam konteks ini Mishbah Al-Zhalam hadir sebagai bentuk respons ulama kaum tua terhadap situasi yang terjadi.

Berdasarkan teks dan konteks Mishbah Al-Zhalam, ada tiga poin penting yang disampaikan oleh Syaikh Mansur. Pertama, perpecahan di tengah masyarakat diakibatkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan. Kedua, memahami posisi adalah yang penting diketahui sebelum memberikan pendapat dan penilaian terhadap sesuatu hal. Ketika, berilmu adalah dasar untuk menjalin perdamaian dan persatuan. 

Berikutnya, Muhammad Tarobin yang mengkaji 'Agama dan Tradisi: Fiqih Salat, Teologi dan Filosofinya dalam Kitab Nur Al-Salah karyaTengku Muhammad Saleh (1901-1966)'. Berdasarkan hasil kajian tersebut, disimpulkan bahwa pengajaran tentang shalat dalam Kitab Nur Al-Salah tidak semata diajarkan sebagai fiqih-an sich, tetapi perlu disampaikan dengan pendekatan multidisiplin, dilengkapi dengan pendekatan-pendekatan lain yang sesuai dengan latar belakang masyarakatnya. Dengan kata lain para ulama terdahulu telah menggunakan pendekatan multidisiplin guna melakukan internalisasi nilai-nilai ibadah dan memotivasi masyarakat untuk melakukan ibadah sebagai bentuk ungkapan syukur bukan semata sebagai taklif bagi insan beragama.
 
Keempat, Mahmudah Nur yang mengkaji 'Kepemimpinan Abuya Muqri; Antara Agama dan Magi (Telaah terhadap Naskah Catatan Harian Abuya Muqri)'. Berdasarkan kajiannya terhadap Naskah Catatan Harian Abuya Muqri tersebut disimpulkan bahwa kemampuan dalam agama dan magi menjadi indikator paling penting bagi para kiai di wilayah Banten. Tanpa keduanya, para kiai tidak mempunyai kedudukan yang penting dalam masyarakat Banten. Dengan kemampuan agama dan magi (ilmu hikmah) yang tertulis dalam NCHAM, Abuya Muqri berhasil diakui sebagai salah satu kiai yang terkenal di Banten dan menjadikannya sebagai simpul ilmu hikmah di Banten pada abad ke-20.
  
Kelima, Rakhmad Zailani Kiki yang mengkaji 'Pemikiran Keagamaan dan Kebangsaan KH Muhammad Ali Al-Hamidi Betawi dalam Kitab Ruh Al-Mimbar'. Berdasarkan hasil kajiannya, disimpulkan bahwa Kitab Ruhul Mimbar ditulis dalam format teks khutbah dimaksudkan agar dapat memberikan manfaat langsung kepada umat karena dapat dimanfaatkan oleh para khatib untuk khutbah Jumat dan ceramah-ceramah mereka.

Topik keagamaan dan kebangsaan diangkat oleh KH Muhammad Ali Alhamidi dikarenakan pada saat dia menulis, dalam hal ini Kitab Ruhul Mimbar Jilid 1, suasana keadaan bangsa Indonesia baru saja merdeka, rentan terpecah belah, apalagi adanya Agresi Militer Belanda Pertama. Karenanya tema-tema keagamaan dan kebangsaan yang ditulis oleh KH Muhammad Ali Alhamidi dalam ruang lingkup persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyemangati umat, menumbuhkan semangat nasionalisme melalui khatib-khatib yang membacakan tulisan-tulisan dari pemikirannya tentang keagamaan dan kebangsaan dari atas mimbar.

Keenam, Muhamad Rosadi yang mengkaji 'Pemikiran KH Abdullah bin Nuh (1905-1987) dalam Kitab Ana Muslimun Sunniyyun Syafi’iyyun. Berdasarkan kajiannya, KH Abdullah bin Nuh merupakan sosok ulama pejuang yang turut serta merebut kemerdekaan bangsa Indonesia sekaligus mengisi kemerdekaan melalui pemikiran yang dituangkan dalam bentuk kitab. KH Abdullah bin Nuh juga mewajibkan agar menjauhi takfir kepada sesama Muslim; kewajiban untuk bersikap husnudzdzan (prasangka baik) kepada sesama Muslim. Juga, mencintai dan mengagungkan orang-orang shalih sebagian dari ajaran agama; keyakinan bahwa mencari keberkahan orang-orang shalih bukan bid’ah; keyakinan bahwa mencintai dan mengagumi orang shalih baik masih hidup atau sudah meninggal memperkuat keimanan. Pembahasan mengenai hal ini diperkuat dengan syair yang berjudul Pangeran Abdul Hamid Diponegoro Al Mujahid. (Kendi Setiawan)


Terkait