Balitbang Kemenag

Ini Hasil Survei Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Selasa, 10 Oktober 2017 | 03:30 WIB

Ini Hasil Survei Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Dialog antar-umat beragama (foto: NU Online)

Jakarta, NU Online
Indonesia dikenal sebagai negara yang plural. Ada ratusan suku dan etnik, budaya, serta bahasa. Pun agama. Indonesia mengakui enam agama, yaitu: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Melihat masyarakat Indonesia yang sangat beragam tersebut–terutama agama yang menjadi sistem kepercayaan (believe system) seseorang, perlu upaya peningkatkan kerukunan antar umat beragama agar tidak terjadi chaos antar satu pemeluk agama dengan yang lainnya.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah indeks kerukunan antar umat beragama tersebut didasarkan kepada apa? 

Setidaknya, ada tiga indeks indikator untuk meningkatkan kerukunan antar umat berama. Pertama, toleransi. Saling menghargai dan menerima adalah pengejawantahan daripada toleransi. Kedua, kesetaraan. Antar satu pemeluk agama dengan yang lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara, serta adanya keinginan untuk saling melindungi dan menjaga. Bukan mayoritas semena-mena terhadap minoritas. Begitupun sebaliknya.

Ketiga, kerja sama. Poin ketiga ini mencerminkan keaktifan satu umat bergama untuk bergabung dengan pihak yang lainnya tanpa harus mempermasalahkan perbedaan agama yang ada diantara mereka. 

Toleransi adalah pilar awal untuk membangun kerukunan antar umat beragama. Itu saja tidak cukup. Perlu dibarengi dengan sikap kesetaraan. Dan kesetaraan tersebut harus disempurnakan dengan sikap saling kerjasama, tolong menolong, dan gotong royong. Kerjasama yang tulus akan mampu melahirkan kesadaran diri bahwa manusia memang diciptakan oleh Tuhan dengan beraneka ragam dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.

Hasil penelitian yang dilakukan Balitbang Diklat Kemenag)menunjukkan adanya peningkatan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Tahun 2015, angka kerukunan antar umat beragama adalah 75,36. Sedangkan tahun 2016, angkanya adalah 75,47. Artinya, ada peningkatan sebesar 0,12. (Kemenag, 2016)

Jika mengacu kepada tiga variabel utama diatas (toleransi, kesetaraan, dan kerjasama), maka indeks kesetaraan merupakan yang paling tinggi, yaitu 78,41. Lalu kemudian disusul dengan toleransi (76,5) dan kerjasama (42,0). Dari hasil ini, kita bisa simpulkan bahwa kerukunan antar umat beragama terutama dalam bidang kerjasama harus terus ditingkatkan agar tidak timpang dengan variabel yang lainnya.

Selain itu, hasil penelitian Kemenag tersebut juga menunjukkan bahwa responden yang beragama minoritas di suatu daerah cenderung lebih rukun jika dibandingkan dengan angka nasional (75,8). Sementara responden yang berada di wilayah yang anutan agamanya berimbang lebih baik sedikit dibangkan yang homogen minoritas (75,47).

Sedangkan responden yang beragama mayoritas di suatu wilayah cenderung berkurang indeks kerukunannya, yakni 66,71, di bawah rata-rata gabungan nasional (67,65).

Dinamika kerukunan antar umat beragama tersebut tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pendidikan, pendapatan, partisipasi sosial, pengetahuan terhadap peraturan, dan wawasan kemajemukan.

Maka dari itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Pertama, mengoptimalisasi sosialisasi Undang-Undang tentang Kerukunan antar Umat Beragama (KUB). Dengan pemahaman yang baik, maka antar umat beragama akan saling menghormati dan menerima satu dengan yang lainnya.

Kedua, mengerakkan dan menggalakkan kegiatan sosial lintas agama. Pemerintah daerah bisa melaksanakan program-program bersama yang diikuti oleh antar umat beragama sehingga mereka bisa saling berdialog dengan yang lainnya.

Ketiga, meningkatkan wawasan masyarakat terutama tentang kehidupan sosial lintas agama. Keempat, mainstreming kerukunan dalam peraturan daerah dan kebijakan sosial lainnya hingga pada tingkat desa. Kelima, menjadikan tokoh agama sebagai agen penggerak kerukunan.

Terakhir, optimalisasi peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) melalui peneningkatan status Peran Bersama Menteri (PBM) menjadi Peraturan Pemerintah (PP) atau Undang-Undang (UU). (A Muchlishon Rochmat/Kendi Setiawan)


Terkait