Balitbang Kemenag

Mayoritas Kristen, Ini Layanan Pendidikan Agama Lain di SMK Kesehatan Gloria Manado

Kamis, 30 November 2017 | 04:30 WIB

Mayoritas Kristen, Ini Layanan Pendidikan Agama Lain di SMK Kesehatan Gloria Manado

Foto: kemenag.go.id

Jakarta, NU Online
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Demikian bunyi pasal 12 ayat (1.a) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bunyi Undang-undang tersebut mengisyaratkan adanya “hak” dan “kewajiban”, yaitu:  hak peserta didik mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama, dan kewajiban satuan pendidikan memberikan layanan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut peserta didik dan pendidiknya seagama dengan peserta didiknya.

Sebuah satuan pendidikan (baca: sekolah) dikatakan melayani atau tidak melayani pendidikan agama sesuai agama peserta didik (baca: siswa) diperlukan sebuah aturan, ukuran atau indikator yang jelas.  PMA Nomor 16 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan pendidikan agama pada sekolah dapat menjadi rujukan aturan teknis. Pasal 4 ayat (1), (2), (3) dan (4) dalam PMA tersebut memberikan batas jumlah siswa yang wajib dilayani pendidikan agama, yaitu paling sedikit 15 siswa yang seagama dalam satu kelas atau satu sekolah. 

Aturan tersebut lebih longgar dibanding Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia lewat UU Nomor 12 tahun 2005. Dalam PMA Nomor 16 Tahun 2010 menganut prinsip “jumlah minimal”, sedangkan dalam Kovenan Internasional, kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang melekat pada “setiap orang”.

Salah satu elemen dari hak kebebasan beragama atau berkepercayaan adalah kebebasan eksternal, yaitu “setiap orang” mempunyai kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan pentaatan.     

Karena alasan teknis dan kebijakan, beberapa sekolah melakukan praktik  penyelenggaraan pendidikan agama, tetapi pendidikan agamanya “tidak sesuai” dengan agama siswa atau guru “tidak seagama” dengan siswanya. Kasus ini dapat ditemukan di sekolah-sekolah swasta yang berciri khas keagamaan tertentu. Misalnya, ada lembaga pendidikan Katholik di kota Blitar yang tidak memberikan layanan pendidikan agama non-Katholik kepada siswa yang beragama lain.

Meskipun secara kuantitatif belum ada data jumlah sekolah di Indonesia yang tidak melayani pendidikan agama sesuai agama siswa, kasus ini menggambarkan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan sekolah terhadap peraturan perundangan yang ada dan sekaligus pelanggaran terhadap hak asasi siswa. 

Namun demikian di sisi lain ditemukan fenomena beberapa kasus sekolah yang melayani pendidikan agama sesuai agama siswa. Sebut saja SMA Muhammadiyah Kupang yang menyediakan layanan pendidikan agama selain Islam kepada siswa sesuai agamanya. Atau, Sekolah Dasar Karang Turi yang mayoritas siswanya beragama Kristen, memfasilitasi penyelenggaraan pesantren kilat kepada siswanya yang muslim di sekolah tersebut. 

Pada tahun 2016 dilakukan penelitian di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kesehatan Gloria Manado. SMK Kesehatan Gloria berada di bawah Yayasan Mitra Halmahera. Sekolah itu tergolong muda karena baru didirikan 4 (empat) tahun yang lalu. Dibanding dengan SMK swasta lainnya di Kota Manado, SMK ini termasuk paling banyak jumlah siswanya. Bahkan sekolah ini menjadi pioner yang membuka jurusan kesehatan dengan program keahlian yang lengkap. 

SMK Kesehatan Gloria tidak hanya melayani pendidikan agama Kristen yang mana siswa mayoritasnya beragama kristen, tetapi juga memberikan pelayanan pendidikan agama Islam dan Katolik. Pemberian pelayanan pendidikan agama itu sesuai dengan keberadaan siswa Kristen, Islam dan Katolik. Dalam konteks PMA Nomor 16 Tahun 2010 tentang pengelolaan pendidikan agama, pelayanan pendidikan agama Kristen dilaksanakan pada hampir setiap kelas.

Hal itu mengikuti aturan pertama yang menyebutkan jumlah  peserta didik Kristen di SMK dalam satu kelas berjumlah paling sedikit 15 (lima belas) orang. 

Pelayanan pendidikan agama Islam dilaksanakan dengan penggabungan beberapa kelas paralel sehingga mencapai paling sedikit 15 (lima belas) orang. Praktik  itu sesuai dengan aturan kedua dari PMA. Adapun pelayanan pendidikan agama Katolik dilaksanakan mengikuti antara aturan keempat. Meski peserta didik yang beragama Katolik lebih dari 15 (lima belas) di SMK tersebut—dan itu harus mengikuti aturan ketiga PMA—pelayanan pendidikan agama Katolik bekerjasama dengan pihak lembaga keagamaan dalam hal ini lembaga gereja.

Dari sisi pendidik, SMK Kesehatan Gloria telah mengadakan guru yang seagama dengan agama siswa, kecuali  untuk siswa yang beragama Katolik yang diajarkan oleh guru yang beragama Kristen. Pembelajaran intrakulikuler pendidikan agama baik Kristen maupun Islam sudah sesuai dengan Standar Komptensi dan Komptensi Dasar (SKKD). Sedangkan ekstrakulikuler pendidikan agama Kristen dilakukan dalam bentuk yang beragam dari mulai penguatan, pembiasaan, dan pendalaman.

Dari semua sarana pembelajaran yang harus disediakan, tempat ibadah dan laboratorium pendidikan agama belum terpenuhi. Penilaian hasil belajar pendidikan agama masih terbatas dilakukan oleh pendidik itu sendiri, belum sampai penilaian hasil belajar oleh pihak sekolah dan pemerintah.

Selain kesadaran keberagamaan pihak sekolah dan usulan orang tua siswa, adanya kebijakan pelayanan pendidikan agama sesuai agama siswa di SMK Kesehatan Gloria juga adanya tuntutan peraturan perundangan. Basis agama yang dianut oleh pendiri sekolah dan usulan orang tua siswa yang beragama Islam beriringan dengan tuntutan Peraturan Perundangan (UU Nomor 20 Tahun 2003, PP Nomor 55 Tahun 2007 dan PMA Nomor 16 Tahun 2010).  

Meski belum ideal, kasus SMK Kesehatan Gloria menjadi lesson learned dan didorong menjadi salah satu contoh layanan pendidikan agama sesuai dengan agama siswa di sekolah-sekolah berciri khas Kristen lainnya. Namun demikian, penyediaan buku agama dan sertifikasi guru agama masih menjadi kendala. (Kendi Setiawan)

Baca Kajian Keagamaan lainnya DI SINI


Terkait