Cinta tanah air atau nasionalisme di Indonesia merupakan pemahaman dan kesadaran atas prinsip kesatuan dalam keragaman dengan dasar dan tujuan berbangsa dan bernegara yang sama.
Demikian salah satu hasil penelitian berjudul Nasionalisme dan Islam di Indonesia; Belajar dari Pandangan Bakri Syahid dalam Tafsir Al-Huda yang dilakukan tahun 2020. Penelitian tersebut dilakukan Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Menajemen Organisasi pada Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Peneliti Islah Gusmian dari Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, pada penelitian tersebut mengungkapkan nasionalisme merupakan pemahaman dan kesadaran atas prinsip kesatuan dalam keragaman dengan dasar dan tujuan berbangsa dan bernegara yang sama.
Peneliti dalam laporannya menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang secara sosio-antropologis memiliki 'takdir keragaman'. Mengacu kepada data Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2020, tercatat ada 1.340 suku dan enam agama resmi yang hidup di wilayah bentangan garis Khatulistiwa ini.
Maka, inti dari nasionalisme adalah kemanusiaan, yaitu kesatuan dan kebersamaan dalam membentuk kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan. Pandangan demikian tentu berbeda dengan nasionalisme Eropa abad 19 Masehi yang bersifat sekular dan tribal.
Peniliti juga mengungkap konsep nasionalisme yang demikian sempat ditolak oleh sekelompok Muslim di Indonesia. Seperti apa yang pernah disampaikan oleh Felix Siauw dalam akun twitter-nya bahwa membela nasionalisme tidak ada dalilnya dan tidak ada panduannya, sedangkan membela islam, jelas pahala dan contohnya. Pernyataan ini muncul disebabkan apa yang mereka yakini dan mereka fahami dari sistem khilafahnya, demokrasi bukanlah islam, dan harus ditolak, serta nasionalisme bukanlah bersumber dari islam.
"Melalui beberapa ungkapan yang dilontarkan oleh Felix Siauw dalam blog pribadinya, felixsiauw.com yang berjudul Talak Tiga Nasionalisme, Now. Tulisan tersebut diposting pada 23 Juni 2012. Selain itu, Felix Siauw juga mengunggah dalam akun twitter-nya pada 30 November 2012, bahwa membela nasionalisme tidak ada dalil dan tidak ada panduannya. Pandangan yang diambil dan difahami demokrasi bukan islam menurutnya, harus ditolak, serta nasionalisme bukanlah bersumber dari islam," tulis peneliti.
Kedangkalan pemahaman yang demikianlah para peneliti berupaya untuk bisa memberikan jalan keluar terbaik. Sehingga, tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahamai prinsip-prinsip dasar nasionalisme melalui apa yang didealektikakan oleh Bakri Syahid dengan teks-teks al-Qur’an secara konseptual dan ilmiah.
Peneliti melaporkan salah satu hal yang didesiminasikan oleh Bakri melalui Tafsir Al-huda yang ditulis pada era 1970-an menjelaskan tentang nasionalisme kebangsaan. Hal itu diperbincangkan dan diteguhkan dengan konsep dan idenya dengan baik dihadapan al-Qur’an. Nasionalisme menurut Bakri tidak bertentangan dengan prinsip utama Al-Qur’an dan bahkan nilai-nilai yang ada di dalamnya merupakan bagian dari pesan utama Al-Qur’an.
Peneliti merekomendasikan, pemerintah untuk mengambil kebijakan yang strategis dan statis melalui kejadian sosial ini. Bagaimana semua lapisan masyarakat utamanya generasi milenial harus diberikan pemahaman tentang nasionalisme atau cinta tanah air tidak bertentangan dengan islam dan justru bagian dari nilai-nilai islam. Agar tidak salah dalam memamah asupan berita dan gagasan yang datang mengharu-biru.
Penyampaian tersebut harus benar-benar sampai kepada titik pemahaman masyarakat, baik secara ilmiah, edukatif, maupun argumentatif melalui pandangan-pandangan yang terjadi. Cara ini menjadi satu keniscayaan dalam rangka menghadapi pandangan-pandangan yang berkembang di sebagian masyarakat Muslim Indonesia yang mengatakan bahwa Nasionalisme atau cinta tanah air bukan bagian dari Islam.
Penulis: Muhammad Nur Haris
Editor: Kendi Setiawan