Balitbang Kemenag

Telaah Demonstrasi Masjid Al-Khairiyah di Eks Kampung Texan Manado

Rabu, 25 Oktober 2017 | 11:30 WIB

Telaah Demonstrasi Masjid Al-Khairiyah di Eks Kampung Texan Manado

Foto: internet

Jakarta, NU Online
Pada Rabu, 26 Oktober setahun silam, terjadi aksi demontrasi yang dikomandoi oleh Makapetor di depan Masjid Al-Khairiyah Eks Kampung Texas Kota Manado. Demonstrasi ini dinilai sebagai bentuk penolakan umat Kristen terhadap pembangunan masjid tersebut. Sehingga isu ini cukup menyita perhatian publik di tanah air. 

Demonstrasi juga mengakibatkan beberapa isu miring seperti isu tentang adannya sweeping jilbab, beredar foto pemuda Islam Manado yang siap melakukan jihad; dan di kalangan umat Islam berkembang bahwa akan ada pihak Kristen yang siap menyerang masjid. 

Sebetulnya, ini bukanlah demonstrasi yang pertama. Tiga tahun sebelumnya yakni tahun 2013, 2014, dan 2015 juga sudah ada aksi demo. Baik reaksi pihak Islam maupun Kristen tidak terlalu besar pada demo-demo sebelumnya. Peserta demo pun hanya puluhan orang saja.

Hasil penelitian yang dilakukan Balitbang Diklat Kemenag RI tahun 2016 menyebutkan, para aksi demo menuntut untuk melakukan pembongkaran terhadap bangunan liar yang berada di lahan mestinya menjadi wisata religi. Mereka meminta aparat yang berwenang untuk mengembalikan fungsi lahan sebagai taman religi. Tuntutan tersebut ditanggapi berbeda oleh pihak Muslim. 

Bagi Muslim, demonstrasi tersebut dianggap sebagai simbol penolakan terhadap proyek perluasan masjid. Memang, Masjid Al-Khairiyah telah ada sejak tahun 1967 tapi tidak bersertifikat. Isu-isu tersebut terus berkembang di tengah-tengah masyarakat. Ketegangan pun menjadi hal yang tidak terelakkan.

Ketegangan bermula saat Pemerintah Kota Manado hendak membangun taman wisata religi yang terdiri dari minatur rumah-rumah ibadah di lahan tersebut sebagai simbol kerukunan. Namun, hal ini ditolak oleh pihak masjid. Mereka beranggapan bahwa ‘fosilisasi’ masjid hanya akan mematikasn fungsi Masjid Al-Khairiyah yang notabennya masih dibutuhkan oleh umat Islam yang berada di wilayah itu. 

Lalu, pihak masjid melakukan perlawanan dengan memperluas lahan pembangunan masjid, dari yang semula 16x20 m menjadi 30x50 m. Selain itu, di lahan yang seharusnya menjadi taman wisata religi juga banyak berdiiri ruko-ruko. Hal ini membuat pihak masjid berkeyakinan bahwa konsep pembangunan taman wisata religi hanya kedok untuk membongkar masjid dan merubahkanya menjadi kepentingan bisnis. 

Sedangkan pihak yang melakukan aksi demo—Makapetor atau pihak Kristen—dianggap tidak rela jikalau di wilayah itu dibangun sebuah masjid yang megah. Aksi saling curiga dan tuding menjadi tidak terelakan di kedua belah pihak.

Secara tidak langsung aksi demo tersebut ditunggangi oleh sentimen agama. Sebenarnya, kasus demo masjid bukan hanya terjadi di Masjid Al-Khairiyah. Ada beberapa masjid di Sulawesi Utara yang juga pernah didemo. Dan ini akan terjadi yang berbasis identitas kalau tidak segera ditangani dengan baik dan tepat.  

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus dilaksanakan agar kasus ini tidak menimbulkan ekses yang lebih parah. Pertama, Kepada pihak Kepolisian (khususnya di Resort Kota Manado) untuk tidak mengizinkan aksi demonstrasi di area sekitar masjid Al-Khairiyah karena itu akan dipahami oleh masyarakat muslim Kota Manado sebagai bentuk “penyerangan” terhadap simbol agama mereka. Sebaiknya, pihak kepolisian mengarahkan massa demonstrasi ke kantor wali kota karena pada prinsipnya tuntutan Aliansi Makapetor adalah percepatan pembangunan taman wisata religi yang merupakan kebijakan pemerintah kota.  

Kedua, pihak Pemerintah Kota Manado secepatnya melokalisir persoalan di eks Kampung Texas sebagai persoalan kebijakan antara pemerintah kota dan pihak masjid AlKhairiyah, bukan persoalan antara umat Islam dan umat Kristen.

Terakhir, dialog persuasif antara pemerintah kota, pihak masjid, FKUB, MUI, NU, Muhammadiyah, dan elemen pemuda muslim yang ada di Kota Manado. Pihak pemerintah kota harus meyakinkan kepada pihak masjid jika pembangunan taman wisata religi tidak menghilangkan fungsi masjid sebagaimana biasanya. (A Muchlishon Rochmat/Kendi Setiawan)


Terkait