Aku baru saja membereskan barang-barangku. Besok pagi aku pulang kampung. Kepulanganku kali ini bukan karena lebaran dan juga bukan karena liburan kuliah.
<>
Besok ayahmu pulang, demikian ibu memberi tahuku lewat telpon, kemarin. Betapa senangnya hatiku mendengar kabar itu. Maklumlah, sudah lama aku tidak bertemu dengan ayah. Terakhir kali bertemu pada saat aku kelas dua SMP. Kalau dihitung-hitung, sudah hampir delapan tahun aku tidak bertemu dengan beliau.
Ayah bekerja di Malaysia atau lebih tepatnya menjadi TKI. Sementara ibu tidak bekerja. Beliau hanya sibuk di dapur sertamengurus dan mengasuhku. Sebenarnya ibu pernah mau membuka warung nasi. Kata beliau biar pemasukan keuangan kami bertambah. Namun, ayah tidak membolehkan ibu bekerja.
“Sudahlah, Bu, biar bapak saja yang mencari uang. Apakah kiriman bapak setiap bulan tidak cukup? Kalau memang kurang, biar bapak tambah bulan depan. Yang penting ibu tidak bekerja,” begitulah ayah berkata pada ibu.
Aku bisa membayangkan, betapa giat dan kerasnya ayah bekerja di sana. Begitu juga dengan ibu. Dengan telaten dan sabar, beliau mendidik dan mengasuhku. Mereka tidak pernah lelah.
Aku berjanji pada diriku sendiri akan membuat ayah dan ibu bangga padaku. Aku tidak mau jerih payah mereka selama ini terbuang sia-sia. Untuk itulah, aku belajar dengan tekun dan tidak pernah bolos sekolah.
Masih melekat dalam ingatanku, betapa senangnya ibu waktu mendengar kabar kalau aku dapat beasiswa ke Yogya. Ketika mendengar kabar yang menggembirakan itu, ibu langsung menyuruh aku menulis surat untuk ayah.
“Biar ayahmu tahu kalau putra kesayangannya hebat,” kata ibu dengan wajah sumringah. Dan aku pun mengikuti perintah ibu.
Satu bulan kemudian, surat kami pun dibalas oleh ayah. Isi surat ayah cukup singkat. Beliau memberi tahu kalau beliau dalam keadaan sehat dan menanyakan kabar kami. Namun, ada salah satu kata-kata ayah yang membuat kami menangis. Isi suratnya begini, alhamdulillah, ternyata kerja keras ayah selama ini tidak sia-sia. Dan juga do’a ayah diterima oleh Yang Maha Kuasa. Kejarlah cita-citamu. Ayah akan lebih giat lagi bekerja, dan tak akan pernah lupa mendo’akanmu setiap kali selesai shalat. Suatu hari nanti, ayah akan pulang dengan melihat kamu sudah menjadi orang sukses.
Aku menangis setiap kali melihat foto ayah dan ibu, yang aku simpan di dalam lemari. Aku rindu sekali pada mereka.
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Malam semakin larut. Angin mendesir kencang. Sementara aku masih khusuk menatap foto ayah. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan beliau.
“Ah, daripada besok kesiangan dan ketinggalan kereta, lebih baik aku tidur,” kataku dalam hati seraya merebahkan tubuhku di atas kasur.
Tidak terasa, hari sudah pagi. Aku langsung beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi.
Dengan mengucap bismillah, aku pulang. Kalau tidak ada aral melintang, dalam 24 jam aku akan sampai di kampungku.
Sepanjang perjalanan, pikiranku tertuju pada ayah dan ibu. Semoga beliau dalam keadaan sehat. Amin.
Tanpa terasa, bus yang aku tumpangi sudah sampai di tempat tujuan. Begitu turun dari kereta, aku berlari ke rumah, yang jaraknya tidak begitu jauh dari stasiun. Aku terkejut begitu sampai di halaman rumah. Di sana aku melihat banyak orang datang, berkerumun dan mengaji. Tiba-tiba pikiranku jadi tidak enak. Ada apa ini sebenarnya?
Tiba-tiba ibu berlari dari dalam rumah, menghampiriku. Sambil memelukku, ibu berkata, “Ayahmu sudah pulang.” Ibu menarik tanganku. Beliau mengajak aku masuk ke dalam rumah.
Betapa terkejutnya diriku melihat tubuh ayah yang terbujur kaku. Aku langsung menghampiri dan memeluk tubuh ayah yang sudah dibungkus dengan kain kafan. Dan air bening pun menetes dari sepasang mataku. (Yogya, 2011)
Ilustrasi: Ayah karya Fariza Fadillah Allama