Langit tampak suram. Kabut mendekapnya menjadi gelap seperti malam pekat. Tak ada keemasan di ujung langit barat. Daun perdu bergoyang-goyang dibuai angin. Beberapa lembar yang berwarna kuning jatuh, diikuti pula yang kering dan cokelat. Di langit, rombongan peking terbang mencari tempat berlindung dari amukan basah yang membuat bulunya kuyup jika hujan memuntahkan airnya ke bumi.
<>
Aku masih nanar berdiri di depan kelas. Celingukan, ke kiri dan ke kanan. Menunggu seorang teman menghampiriku, setelah menimbang berbagai usulan yang akhir-akhir ini menyergap telingaku. Aku sendiri masih tidak yakin dengan keputusan yang kuambil, meski banyak teman-teman menggoda dengan sebutan “Presiden Bayangan”. Akan tetapi, alasan itu yang membuatku berani menenggelamkan diri di bak politik sebagaimana hobiku yang suka mengomentari bualan para pendoa atau bahkan pendosa yang menamakan diri sebagai pejabat.
“Ayo kang Singgih, konco-konco sudah kumpul di markas,” ajak Awan, mahasiswa semester lima yang memproklamirkan diri sebagai tim sukses atas pencalonanku.
“Tenang saja, Kang, bukankah kita sudah mengantongi lima suara dari tim sembilan yang menyeleksi. Empat sisa suara masih dibagi calon lainnya. Pasti jadi,” Aku tersenyum karenanya. Kami pergi menerobos gerimis yang mulai berjatuhan. Berlalu menuju markas mengikuti konvensi.
Pemilihan presiden kampus tinggal menghitung hari. Mahasiswa hanya bisa mencalonkan diri melalui tumpakan partai yang dibesarkan oleh masing-masing bendera organisasi. Jika sudah demikian, tak ada saling sapa antaranggota bendera yang berbeda. Seperti ada sekat yang memisah. Yang tampak hanya kedekatan sesama anggota partai yang mereka sebut kebersamaan dan loyalitas. Tetapi ketika pemilihan berakhir, semuanya kembali seperti biasa. Berbaur.
Konvensi berakhir. Hanya dua calon presiden yang memenuhi persyaratan. Aku dan Irfan. Hanya ada satu yang akan lolos nantinya untuk maju ke petak pertandingan politik yang sebenarnya, melawan calon dari bendera yang berbeda. Aku merasakan ada kejanggalan. Dua tim panitia Sembilan yang seharusnya diambil dari dosen Pembina partai tidak hadir. Mengapa? Benakku terus digerogot tanya. Tanpa mereka berdua, bisa saja aku kalah suara. Mereka berdualah penguat dukunganku.
“Hasil keputusan akan diumumkan besok. Nilai dari keduanya sama kuat,” ucap Anwar yang kini menjabat sebagai ketua PKM, Partai Karya Mahasiswa, sebelum menutup pertemuan.
“Tapi Kang, tidak profesional jika menginapkan suara meski hanya barang semalam.”
“Ada beberapa hal yang harus kami pertimbangkan, saudara Awan.”
Sebagian peserta yang datang berbisik pelan, sebagian lagi memilih diam sebelum akhirnya semua bubar.
*****
“Kang, kita kalah. Irfan yang akan mewakili bendera kita. Kurasa ada yang bermain di belakang,” Awan mulai berapi-api seraya menepuk pundak Singgih.
“Anehnya, kau tak lolos gara-gara sertifikat diklat politikmu bukan sertifikat lokal yang dikeluarkan kampus,” tambahnya.
Sejenak aku terdiam. Seperti ada yang berhenti mengalir. Panas, dingin, kesal bercampur menguasai tubuhku yang sedikit mengurus. Harapku kandas di tengah perjuangan para penyuara yang menginginkanku menjadi pemimpin. Tak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali pasrah, meski ulu hatiku terasa berdarah. Dari awal pencalonan ia sudah dipersulit. Tinggal selangkah pun aku terpelanting.
“Permainan yang kasar. Mereka memperlakukanku seperti lalat yang tak berguna. Bedebah!” Singgih berlalu, meninggalkan Awan yang masih mematung.
Ada suara-suara bergambar kekecewaan mampir di telingaku ketika ia berjalan melewati beberapa mahasiswa yang duduk di emperan kelas. Ada juga yang tertawa dengan kepuasannya sebab calon yang didukungnya maju mewakili partai. Rupanya berita itu seperti kilat yang menyambar. Begitu cepat merambat di telinga para mahasiswa.
“Hormat pada bapak presiden Singgih,” ucap Jono, sembari meletakkan telapak tangannya di kening sebelah kanan. Seperti anak kecil yang sedang melakukan penghormatan kepada pembina saat ritual upacara bendera. Lelaki dekil yang kerjaannya keluyuran di lingkungan kampus itu konon dulu seorang aktivis kampus. Entah apa sebabnya hingga sekarang ia mendapat predikat “gila”.
“Inilah presiden kita,” ucapan lelaki itu membuatku sejenak melupakan kekesalan dan kekecewaanku. Setidaknya masih ada yang mengakui keberadaanku.
“Orang gila saja tahu siapa yang pantas menjadi presiden, yang waras malah tidak mau tahu,” Aku masih berbangga diri diiringi tawa kecut.
Aku duduk di bawah beringin belakang gedung laboratorium fakultas Fisipol. Mataku tertuju pada ilalang yang rimbun. Beberapa semut hitam saling bersalaman saat berpapasan. Gotong royong membawa runtuk roti yang terbuang di tanah. Alangkah rukun binatang mungil ini. Itulah solidaritas yang sebenarnya.
“Hei, kenapa menyendiri? kudengar kau tak jadi maju mewakili partai di pemilihan?” tanya Bowo, ketua partai dari bendera lawan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Ada binar di mata Bowo, menyimpan tanya dan ingin segera ia tahu jawabnya.
“Cari angin. Kalau soal pemilihan, memang aku tak layak.”
“Hei, jangan pesimis begitu. Aku tahu betul kemampuanmu. Bahkan partaiku hampir tak mengirim calon ketika mendengar kau akan maju,” Aku tersenyum nyinyir.
“Bagaimana kalau kau gabung di partaiku. Kami membutuhkan kandidat sepertimu. Aku sudah membicarakan soal ini dengan temen-teman, mereka sepakat. Sekarang bukan saatnya memandang bendera, tapi kita lihat kemampuannya. Kau pantas, kawan.”
“Suatu kehormatan bagiku bisa bergabung denganmu. Terimakasih banyak tawarannya, kawan.” Keduanya terdiam. Memandang langit yang berawan. Cerah. Tapi terasa gelap di mataku.
*****
“Penghianat.”
“Pecundang.”
“Kupikir dia loyal. Dasar pembual.”
Berbagai kidung hinaan terdengar menjengkelkan. Aku yakin serapah itu ditujukan kepadaku sebab banyak mata mata yang memandangku penuh curiga. Ada apa dengan mereka? kutinggalkan mereka seolah tak mendengar apa-apa. Melangkah ke markas, memenuhi panggilan ketua partai.
Duduk bersila. kucoba membaca mata Anwar. Sorotnya seperti harimau yang akan menerkam mangsa. Matanya bulat. Ada kemerahan melukis tipis di langit mata yang berwarna putih.
“Memalukan. Melepaskan diri hanya untuk menjadi pecundang.”
Aku masih tak mengerti kemana arah pembicaraannya. Yang aku tahu, seharian ini aku mendengar kata pecundang puluhan kali.
“Apa maksud Kang Anwar berkata seperti itu kepadaku?”
“Apa kau pikir semua orang tidak tahu kalau kau umpetan di ketiak partai lawan. Jangan lagi mengaku sebagai anggota PKM”
“Oh, jadi karena ocehan tak berguna itu aku dituduh sebagai pecundang?” Kuatur nafas yang naik turun.
“Aku masih punya harga diri kang. Justru aku yang di-pecundangi kawan sendiri!”
Mata Anwar menghadap tanah yang dipoles tehel berwarna hitam. Mulutnya bungkam. Tak ada kata yang terlempar. Mukanya memerah, seperti anak kecil yang ketakutan karena ketahuan mencuri mainan. Kutinggalkan lelaki itu.
*****
Auditorium kampus mulai ramai. Beberapa perempuan memberikan lembaran kertas yang di dalamnya bergambar. Gambar calon presiden untuk dicoblos. Sementara yang laki-laki mengawasi dan menghadang mahasiswa yang selesai mencoblos untuk dicap telunjuknya sebagai tanda. Hanya dua partai dari tiga partai di kampus yang lolos verifikasi. Di luar, beberapa prenjak mengoceh tanpa mengenal lelah saling bersautan. Entah apa yang mereka bicarakan.
“Kang Singgih, maafkan aku,” Irfan mencoba mendekatiku yang duduk menyendiri di belakang auditorium. Aku masih terdiam.
“Terus terang, aku tidak nyaman dengan pencalonan ini. Gambarmu lebih pantas dipajang disana,” Irfan mendongakkan kepalanya ke arah Banner ukuran besar bergambar dirinya. Aku nyengir kuda.
“Sudah berapa banyak yang kang Anwar minta darimu?” Irfan menunduk dan sesaat diam.
“Kang singgih tahu soal itu?”
“Aku juga sempat diminta saat awal-awal kuproklamirkan diriku sebagai calon.”
“Lalu?” Irfan mulai penasaran.
“Aku menolaknya. Aku tak mau dia menyetelku.”
“Aku tidak tahu dampaknya akan sejauh itu,” Kami terdiam.
Penghitungan suara telah dirampungkan. Berakhir dengan kemenangan di pihak Irfan, meski lebih dari sepertiga suara memilih golput. Merekalah pendukungku yang akut. Sebagian acuh dengan pemilihan, bahkan sempat mengomporiku membuat partai baru. Sebagian lagi berpindah kepada Irfan untuk menunaikan hak suaranya.
Aku benar-benar menjadi presiden bayangan. Hanya bayangan. Tidak nyata. Menurutku, politik bukan hanya sebatas loyalitas, tapi menyagkut kepentingan suatu golongan. Aku memilih jalanku sendiri. Jalan yang siapapun tak bisa menghentikannya. Jalan yang tak bisa terbeli oleh rupiah. Jalan yang tak dilewati para pendosa.
NUR AVIAH, lahir di Purbalingga tanggal 22 November. Alumni STAIN Purwokerto Jurusan Dakwah. Karya-karyanya antara lain:“Biduk Cinta Telaga Biru” dibukukan dalam antologi cerpen “Bukan Perempuan”, Obsesi Press STAIN Purwokerto 2009 (Nominator Lomba Cerpen Nasional). ”Perempuan Seblang” dibukukan dalam Antologi cerpen ”Burung Garugiwa; Nyanyian Kesetiaan,” Obsesi Press STAIN Purwokerto 2012 (Nominator Lomba Cerpen Nasional). “Doni dan Anak Kelinci” (Cerpen Anak) dimuat dalam Harian Radar Banyumas.