Oleh Lexi Weleri
"Tolong kali ini jangan menolak lagi, Nur. Bapak malu sama orang."
Gadis berkulit kuning langsat setinggi 160 cm itu menunduk.
"Nur, Hamdi laki-laki yang baik, berasal dari keluarga yang baik. Nasabnya bagus, pekerjaannya mapan. Kurang apa lagi?"
"Nur mau sekolah, Pak. Nur mau jadi dokter kandungan," ucap lirih gadis berusia 17 tahun itu.
Dialog terhenti. Bapak dan anak saling menatap beberapa detik. Si gadis menunduk lagi. Kali ini sambil meneteskan air mata.
"Ni, kalau ada laki-laki yang baik datang untuk memintamu menjadi istrinya ditolak, Bapak khawatir keluarga kita akan terkena bala. Apalagi ini sudah lamaran kesembilan."
Si Gadis tetap dalam posisi tunduknya. Air matanya menderas. Bapak telah memanggilnya dengan panggilan kesayangan. Ni. Panggilan kesayangan untuk anak perempuan di kampungnya. Bala atau bencana, tentu saja Nur tidak ingin hal tersebut menimpa keluarganya. Namun haruskah?
Suara pintu dibuka terdengar berderit. Muncul sosok berkebaya di sana. Tak lama, terdengar suara serak diselingi batuk.
"Bagaimana Pak, uhuk, Nur nya mau tidak?"
Gelengan kepala dari sang kepala keluarga sebagai jawaban.
"Astaghfirullah. Kita harus jawab bagaimana?"
Sosok ringkih itu mengusap wajah.
"Ni, semua kakak perempuanmu menikah sebelum umur 16 tahun. Kamu bisa lihat sendiri kalau semuanya bahagia dan baik-baik saja. Siapa yang mempengaruhimu sehingga menolak lamaran laki-laki sebaik Hamdi?"
Dalam hitungan milidetik, muncul satu nama di hati si gadis. Satu nama yang setahun belakangan ini menghuni hati dan pikirannya. Namun, tentu tak berani diucapkannya nama itu di hadapan abah-umminya. Cukup diam dengan air mata terus bercucuran.
"Semua kakak perempuanmu lulus MTs langsung menikah. Begitu yang lazim, Ni. Adapun engkau sudah sekolah sampai MAN, itu sudah cukup untuk bekal mendidik anak-anakmu nanti."
Nur tidak menjawab. Terus menunduk dengan air mata yang terus mengucur. Hingga kepalanya terasa pening dan dadanya sesak.
Sepuluh menit kemudian terdengar suara panik, "Abaah, Nur pingsan!" Disusul teriakan sarat kecemasan. "Ya Allaah, bagaimana ini?"
*
Arkian Dewantara adalah nama lengkap lelaki yang menggetarkan hati Nur. Dia kakak tingkat di MAN yang sudah kuliah di sebuah universitas negeri terkemuka. Nur bertemu sepekan sekali, saat ekskul KIR.
"Cita-citamu apa?"
Suara lembut Kak Dewa saat bertanya selalu menggetarkan rasa di jiwa. Jiwa Nur seperti dibawa bertamasya ke angkasa.
Cita-cita.
Apakah itu sebuah kata benda, kata sifat atau kata kerja?
Cita-cita. Bolehkah ia memilikinya? Bukankah takdir perempuan adalah menjadi istri dan ibu, lalu menjadi guru ngaji di rumah atau madrasah. Umi dan semua kakak perempuan seperti itu.
Cita-cita. Apakah itu sebenarnya?
Lalu berbagai buku yang dipinjamkan Kak Dewa membuat wawasan Nur terbuka. Raden Ajeng Kartini memperjuangkan agar perempuan bisa sekolah, sama seperti laki-laki. Setelah mendapatkan ilmu di sekolah dan perguruan tinggi, perempuan bisa menjadi apa saja. Hakim, dokter, pejabat negara, tentara bahkan presiden. Pengetahuan itu menyalakan asa hidup Nur.
Cita-cita.
"Kak, mungkinkah aku bisa menjadi dokter?" tanya Nur di suatu senja. Kala itu mereka hanya berdua, karena Lutfia dan Diana sedang ke kamar mandi, sementara Iwan dan Adli pergi ke warung membeli makanan ringan. Mereka berlima sedang dibimbing intensif oleh Kak Dewa untuk mengikuti lomba menulis karya ilmiah tingkat SMA.
"Tentu saja, Nur. Kamu cerdas dan tekun. Insyaallah kamu bisa," ucap Kak Dewa lembut tapi bertenaga. Seperti biasa.
"Tapi...."
Nur menunduk, tak sanggup melanjutkan ucapannya.
Apakah aku bisa menjebol tembok penghalang cita-cita? Tembok yang tebal dan tingginya entah seberapa. Cita-citanya, entah lebih kuat ketimbang penghalangnya, atau....
"Jangan khawatirkan soal biaya, Nur. Ada banyak jalan yang bisa diikhtiarkan. Ada keringanan dari kampus, ada beasiswa, aku pun bisa membantu mencarikanmu orangtua asuh."
Kalimat Kak Dewa tersebut memantik api di bara semangatnya. Membuatnya bergairah untuk tekun belajar setiap hari.
Kak Dewa telah merebut simpati Nur sejak awal berjumpa. Kakak pembimbing KIR yang lahir dan besar di ibu kota negara lalu melanjutkan sekolah di MAN kampung halaman kakek neneknya. Kakak kelas yang luas wawasannya dan mendukung mimpinya. Kakak kelas yang mencuri hati dan perhatiannya. Senantiasa menyalakan semangatnya untuk meraih cita.
Namun nyala semangat itu kerapkali bagai nyala lilin yang disapa tiupan angin. Saat angin itu berhembus kencang, nyala itu pun padam seketika.
*
Malam menyapa. Langit gelap tanpa warna kecuali hitam. Seperti hati Nur yang kelam karena kehilangan harapan.
"Ya Allah, aku ingin jadi dokter kandungan. Hamba sedih menyaksikan kematian ibu melahirkan karena tidak mau dibantu dokter laki-laki. Ya Allah, jika niatku ini Engkau ridhoi, bimbing dan mudahkanlah. Bila Engkau tak ridho, maka aku berserah pada-Mu."
Nur bersandar di dinding. Teringat Ripah, keponakannya yang piatu. Ibunya meninggal saat melahirkan. Bidan menyatakan tidak sanggup menangani lalu merujuk ke rumah sakit. Namun kakak iparnya itu menolak.
"Aku malu auratku terlihat laki-laki." Begitu alasannya. Suaminya pun berpendapat sama. Yang membuat Nur tambah sedih adalah karena hal tersebut bukan kejadian satu-satunya. Setidaknya dia sudah mendengar lima kasus serupa di kalangan keluarga besarnya. Maka sungguh besar tekadnya untuk bisa menjadi dokter ahli kandungan.
Malam semakin sepi. Tak ada suara selain sayup sayup suara jangkrik dan binatang malam. Nur merapatkan jaket yang dia kenakan. Hawa dingin terasa menusuk tulang. Perutnya terasa perih karena hanya terisi sedikit sekali makanan. Sedikit itu pun dia paksakan dikunyah mulut dengan susah payah. Nafsu makannya terbang sudah.
Nur menghirup nafas pelan-pelan, membuangnya pula pelan-pelan. Memenuhi rongga dada dengan udara semaksimal bisa, dengan iringan istighfar di dalam hati, cukup membantu mendinginkan jiwanya yang gerah. Tujuh belas kali dilakukannya hal tersebut, lalu terbersit sebuah pemikiran di benaknya.
Diraihnya ponsel dan disentuhnya huruf demi huruf.
[Kak Dewa, maafkan malam-malam Nur mengganggu]
Tanpa menunggu lama, Nur telah mendapat jawaban.
[Nggak masalah. Ada apa?]
Nur menghela nafas sebelum mengetik lagi.
[Nur nggak mungkin bisa jadi dokter]
[Kenapa? Apa lagi yang melunturkan keyakinanmu?]
Nur tercekam ragu. Hendakkah dilanjutkan niatnya. Tapi kalau niat itu tidak dijalankan, bagaimana dengan kemungkinan lamaran kesepuluh dan entah berapa lagi.
Nur tahu abah dan ummnya tak akan memaksa. Nur yakin mereka mengutamakan pilihan hatinya. Terlebih sejak dia pingsan, tak satu kali pun lagi Abah dan Ummi membicarakan perihal lamaran Hamdi. Dari sikap umi Hamdi yang terkesan memaksakan senyum saat berpapasan dengannya kala yasinan kemarin, Nur tahu bahwa orangtuanya telah menolak lamaran mereka.
Ah, penolakan itu pun sejatinya menggores luka di hati Nur sendiri. Hubungan kekerabatan keluarganya dengan Hamdi masih cukup dekat. Penolakan tersebut sedikit banyak akan merenggangkan hubungan karib yang sebelumnya terjalin.
Nur menatap ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Menatap dua baris kalimat yang membawa jiwanya melayang ke angkasa. Membuncahkan harapan.
[Kenapa tidak dijawab, Nur?]
[Cerita aja. Siapa tahu Kak Dewa bisa bantuin]
Nur mengucap bismillah sebelum menulis kalimat demi kalimat untuk menceritakan keadaannya.
Pada akhirnya Nur menangis saat menulis dua kalimat terakhirnya.
[Kak Dewa, izinkan aku memintamu untuk melamarku. Karena hanya Kakak yang mendukung cita-citaku jadi dokter]
Nur meletakkan ponsel. Mempertautkan kedua tangan yang terasa dingin. Tengkuk dan sekujur badannya pun terasa dingin. Malam kian gelap, sepi dan dingin. Namun hati Nur mulai terpercik cahaya walau selarik. Senyum mengembang di bibir dan hatinya membaca pesan Kak Dewa.
[Doakan dimudahkan-Nya melobi Mama Papaku. Insyaallah aku akan segera melamarmu. Sudah lama aku mencintaimu, dan juga cita-cita muliamu]