Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Malam semakin larut. Angin mendesir kencang. Tak ada suara yang bisa ditangkap telinga. Yang terdengar hanyalah suara isak tangis perempuan yang terdengar dari atas Jembatan Gajah Wong.
<>
Perempuan itu bernama Markoni. Perempuan semampai, dengan kulit kuning langsat itu sengaja datang ke Jembatan Gajah Wong dengan maksud ingin bunuh diri.
“Lebih baik aku mati daripada menjalani hidup seperti ini,” kata perempuan itu sambil lalu tangannya mengusap air mata yang mulai membanjiri wajahnya.
Sesaat perempuan itu terdiam. Matanya menatap sebuah foto yang ia simpan di dalam dompetnya. Dengan raut wajah marah, ia berkata, “Semua ini gara-gara kamu, Martomo. Dasar pengkhianat. Sampai kapan pun, aku tidak akan memaafkanmu.”
Markoni frustasi. Ia sudah tidak kuat lagi dengan kehidupannya yang berlumuran dosa. Ia menghabiskan hari-harinya dengan memberikan kehormatannya pada lelaki hidung belang. Ia menjadi pelacur bukan karena uang. Ia menjadi pelacur, karena merasa tidak akan ada laki-laki yang mau mempersuntingnya. Ia merasa kotor. Keperawanannya telah dinodai Martomo.
“Mana ada laki-laki yang mau menikahi perempuan yang sudah tidak perawan,” kata Markoni pada temannya, Juminten, setengah tahun yang lalu, tepatnya, satu bulan setelah Martomo memutus tali pertunangan dengan dirinya. “Aku akan merusak hidupku,” tambahnya, dengan nada penuh sesal.
“Jangan berkata seperti itu, Mar. Aku yakin, suatu hari nanti, akan ada laki-laki yang mencintaimu dengan tulus, dan menerimamu apa adanya,” kata Juminten, berusaha menenangkan perasaan Markoni.
“Tapi, Jum, aku sudah tidak perawan. Kehormatan dan masa depanku sudah dihancurkan oleh Martomo.”
“Sabar, Mar. Istighfar.”
“Hatiku hancur, Jum. Aku tidak menyangka, dia bakal menyakiti hati dan perasaanku. Padahal, dulu, dia berjanji akan menikahiku. Aku menyesal telah memberikan keperawananku pada lelaki bajingan itu.”
Di mata Markoni, Martomo adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Ia pertama kali kenal dengan lelaki itu pada saat berkunjung ke rumah neneknya di Jawa. Menurut neneknya, ia dan lelaki berambut ikal itu masih ada ikatan keluarga.
“Tapi, setiap kali aku ke sini, aku kok nggak pernah lihat Martomo, Nek?” tanya Markoni pada neneknya.
“Dia tinggal dengan ibunya di Sumatera,” jawab neneknya, singkat.
Waktu itu, Markoni tinggal di rumah neneknya selama satu minggu. Dan selama berada di rumah neneknya itulah, ia sering berduaan dengan Martomo. Meski waktunya cukup singkat, Martomo dan Markoni saling jatuh cinta. Dan akhirnya, mereka sepakat untuk pacaran.
***
“Maafkan aku, Markoni. Aku harus pergi,” begitulah sebagian isi surat Martomo yang dikirim kepada Markoni, satu bulan setelah mereka tunangan. Lelaki itu memutuskan berangkat ke Singapura untuk menjadi TKI. Tapi, Martomo berjanji, suatu saat nanti ia akan pulang untuk melamar Markoni.
Karena saking cintanya pada Martomo, Markoni menolak beberapa lelaki yang mau mempersuntingnya. Ia bersikap seperti itu, karena ia setia menunggu kekasihnya pulang dari Singapura.
Namun, dua bulan setelah kepergian Martomo, ia mendapatkan kabar dari sepupunya yang juga menjadi TKI bahwa Martomo telah menikah, dan istrinya hamil muda.
Betapa remuk perasaan Markoni setelah mendengar kabar itu. Martomo, lelaki yang sangat dicintainya, menikah dengan perempuan lain. Ia menyesal telah memberikan kehormatannya pada lelaki itu.
Setengah bulan setelah mendengar kabar tentang pernikahan Martomo, Markoni merasa hidupnya hancur, dan merelakan tubuhnya dijamah dan digauli oleh lelaki hidung belang.
***
“Aku benci kamu, Martomo,” kata Markoni sambil menangis. Perempuan berwajah oriental itu masih berada di Jembatan Gajah Wong. Matanya terlempar ke bawah jembatan. Angin malam semakin dingin, hingga membuat tubuhnya menggigil.
Jogja, 2011
Yenni Eka Yuanita, cerpenis, mahasiswa Sosiologi FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta