Cerita Pendek: Baitul Muttaqin Al Majid
Kian mendekati pertigaan jalan itu, sampean kian bimbang: tetap berjalan lurus atau belok ke kanan. Beberapa jarak di depan adalah rumah seorang teman yang beberapa bulan lalu meminjam uang kepada sampean. Sejak dari rumah tadi sebetulnya sampean berniat bakal menagihnya—karena terdesak suatu kebutuhan. Akan tetapi pembawaan sampean yang kerap sungkan atau lebih tepatnya tidak tega menagih—karena bisa jadi teman sampean pun sedang tidak punya uang—, sesaat tadi timbul keinginan untuk mengalihkan tujuan: belok ke kanan—ke rumah seorang teman yang lain yang, sampean perkirakan, sedang ada uang untuk sampean pinjam.
Sekarang, kendatipun masih ada kecenderungan tetap mengarah ke depan, entah mengapa, kaki sampean malah belok ke kanan yang, sekonyong-konyong kemudian, langkah sampean dihentikan oleh suara seseorang yang bersepeda dari arah yang bakal sampean tuju—tepat di persimpangan itu sampean dan orang itu bertemu. Sebetulnya ada satu makhluk lagi yang berpapasan di situ, yakni seekor lebah yang beberapa saat tadi terbang dari arah yang berlawanan dengan sampean. Hanya saja, sampean tidak memperhatikannya, karena pikiran sampean sejak tadi sibuk mempertimbangkan, sementara kini lebih tertuju pada orang itu yang sekonyong-konyong menyodorkan sebuah amplop yang sepertinya berisi uang sembari berkata supaya sampean menerimanya.
Kendatipun sampean sedang butuh uang, karena sampean tidak mengenalnya—tidak tahu motif tindakannya itu, sampean tidak langsung menerimanya. Melihat gelagat kebimbangan di wajah sampean, ia menyatakan, "Bukankah sampean butuh uang? Terimalah, ini murni pemberian dari saya...”
Kemudian setelah sampean menanggapi, "Bukan untuk mencoblos gambar seseorang?” dan orang itu pun menegaskan, “Bukan untuk mencoblos gambar seseorang,” sampean pun menerimanya sembari mengucap terima kasih pada orang itu yang sesaat kemudian mengarahkan sepedanya ke arah kiri, arah dari mana tadi sampean berjalan.
Sementara sampean melanjutkan perjalanan, si lebah buru-buru terbang menyusul orang itu yang, begitu menyadari sedang dikejar, langsung mempercepat ontelan sepedanya sembari berpikir yang bukan-bukan: apakah si lebah akan menyengatnya? Namun kecepatan sepedanya sepertinya bukan lawan laju terbang lebah itu yang, setelah sejajar dengan kepalanya, menoleh ke arahnya—melontar tanya yang sama sekali tidak diduga olehnya, "Kenapa sampean sekonyong-konyong memberinya uang?"
Sembari memperlambat kayuhan sepeda serta menoleh ke arah si lebah, orang itu menjawab, "Karena beberapa saat sebelumnya ujuk-ujuk terlintas dalam benak saya untuk memberikan uang pada siapa pun yang pertama kali saya temui. Bahkan seandainya tadi saya tidak berpapasan dengannya—hanya berpapasan dengan sampean dan sampean butuh uang—saya bakal memberikan uang tersebut pada sampean."
"Gusti Allah,” seru si lebah, “baik sekali hati sampean. Tapi bukankah sebaiknya memberikannya pada orang yang lebih membutuhkan? Semisal orang-orang miskin atau anak-anak yatim. Karena menurut saya, setidaknya dari tampangnya, orang tadi tidak begitu membutuhkan uang."
Pada saat yang bersamaan, di lain tempat, sampean mengucap alhamdulillah, setelah tahu uang tersebut lebih dari cukup memenuhi kebutuhan sampean. Kendatipun demikian sampean tetap melanjutkan menuju ke rumah teman sampean.
"Itulah persoalannya," timpal orang itu yang menjadikan si lebah melempar tanya, "Maksud sampean?"
"Apabila saya tidak cepat-cepat menunaikan niat saya demi menunggu orang yang betul-betul membutuhkan uang, saya takut niat tersebut dan terutama keikhlasan saya bakal pergi dari benak saya. Lagi pula bukankah kita tidak pernah tahu siapa yang betul-betul sedang membutuhkan uang?"
Kemudian orang itu melanjutkan dengan menceritakan bahwa semalam saat dolan ke rumah seorang teman, temannya tersebut sedang mendengarkan lewat Youtube ngaji seorang ulama yang mashyur mengajarkan bahwa kelak di akhirat, kenangan terbaik kita di dunia adalah saat kita sujud—shalat. Ulama tersebut bercerita bahwa pada suatu hari Kanjeng Nabi Muhammad saw. mendatangi istrinya, Siti Aisyah, menanyakan lauk makanan yang pagi tadi masih dan sekarang Kanjeng Nabi ingin memakannya. Dengan nada agak menyesal, Siti Aisyah memberitahu bahwa lauk tersebut telah habis diberikan pada seorang peminta.
Bukannya kesal Kanjeng Nabi malah senang mendengarnya. Lalu memberitahu Siti Aisyah bahwa sesungguhnya apa yang disedekahkan adalah apa yang masih—tetap ada (dalam arti tetap dijaga oleh Gusti Allah Ta’ala bahkan dilipatgandakan sebagai pahala bagi orang yang bersedekah kelak di akhirat) sedang apa yang dimakan bakal habis (terserap tubuh orang yang memakannya). Kemudian ulama tersebut mengajarkan tentang logika ikhlas yang, menurutnya, amat mudah; bagaimana tidak mudah, bukankah apa yang kita berikan pada orang lain, tidak lain adalah pemberian Gusti Allah Ta’ala—Dzat Yang Maha Pemurah? Segala yang kita miliki, mulai dari harta bahkan hidup-mati kita tidak lain adalah karunia-Nya.
"Momen tadi," demikian orang itu melanjutkan, "adalah momen bagi saya melatih keikhlasan..."
Si lebah manggut-manggut mengiyakan. Saking seriusnya mendengarkan, si lebah tidak menyadari sedari tadi di sampingnya terbang sejajar dengannya seekor lebah yang sejurus kemudian memberitahunya beberapa jarak di depan tampak seekor lebah menari-nari di angkasa—memberi informasi pada lebah-lebah yang lain akan keberadaan sekelompok kembang. Kemudian setelah menyatakan bahwa ia akan jalan duluan yang disilakan oleh orang itu, si lebah mengucap salam yang dibalas oleh lelaki itu pun dengan salam.
Sementara lebah-lebah itu terbang menuju kembang untuk menyesap sarinya, sampean telah sampai tujuan. Pada awalnya, saat sampean menyatakan bahwa maksud kedatangan sampean untuk meminjam uang, teman sampean itu agak tergeragap (karena semua uangnya baru saja diberikan pada seseorang untuk membayar jasa lukisan—yang mana setelah lukisan tersebut dibingkai oleh teman sampean, teman sampean baru mendapat bayaran, itu pun setelah mengantarkannya pada pemesan). Akan tetapi setelah sampean menceritakan apa yang sampean alami di tengah jalan tadi, teman sampean tampak lega—turut merasa senang.
Kemudian teman sampean itu, seusai menyebut ciri-ciri seseorang, bertanya pada sampean, apakah orang tersebut yang memberi uang pada sampean. Rada tercengang sampean menjawab dengan anggukan. Bahkan ketika teman sampean menyebut sejumlah uang di dalam amplop yang diberikan kepada sampean, lagi-lagi sampean hanya mengangguk-angguk membetulkan. Sampean pun merasa heran, dari mana teman sampean tahu tentang semua itu.
"Berarti ia memberikan semua ongkos lukisannya pada sampean," kata teman sampean terdengar menyimpulkan.
Sampean menanggapi, “Maksud sampean?”
"Beberapa hari lalu seseorang memesan sebuah lukisan sekaligus dibingkai pada saya. Saya pun memesankan lukisan tersebut pada teman saya. Beberapa saat tadi teman saya ke sini mengantar lukisan tersebut; saya pun memberikan uang jasa lukisannya. Tidak dinyana kemudian, teman saya memberikan uang tersebut pada sampean..."
"Gusti Allah,” ucap sampean penuh kekaguman, “seperti yang saya sampaikan tadi, pada awalnya saya ke sini untuk meminjam uang pada sampean. Namun setelah saya mendapat rezeki yang lebih dari cukup untuk kebutuhan saya, saya berniat membaginya dengan sampean,” kemudian sembari mengeluarkan amplop tersebut dari saku celana, sampean menambahkan, “siapa nyana, uang ini asalnya dari sampean...”
Untuk beberapa saat sampean dan teman sampean itu hanya saling memandang. Kemudian saat sampean menyodorkan sejumlah uang, sembari menerimanya teman sampean menanyakan sebetulnya kebutuhan apa yang menjadikan sampean sepagi ini mencari pinjaman uang.
Sampean pun menceritakan bahwa kemarin sore seorang pengurus yayasan yang mengasuh anak-anak yatim mendatangi rumah sampean untuk mengambil infak yang rutin sampean berikan sekali sebulan. Karena saat itu sampean sedang tidak ada uang, sampean pun menyatakan padanya bahwa kemungkinan besok sampean akan mengantar infak sampean ke kantor yayasan tersebut.
"Pada awalnya, saya berencana menagih uang pada seseorang yang meminjam uang pada saya, namun di tengah jalan niat saya teralihkan ke sini hingga terjadi apa yang tadi saya ceritakan," demikian sampean mengakhiri penjelasan. Kemudian, di luar dugaan sampean, teman sampean itu memberikan kembali kepada sampean untuk turut diinfakkan.
Doplangkarta, 16.4.2021
Baitul Muttaqin Al Majid, pernah membaca dan menulis beberapa cerita—mudah-mudahan akan lagi. Beberapa cerpennya disiarkan duniasantri.co, magrib.id, maarifnujateng.or.id, dawuhguru.com, jurnaba.co, iqra.id, cerano.id, buruan.co, nubanyumas.com, dan termaktub dalam beberapa buku antologi bersama. Karena hidup di dunia hanya sementara—sementara mukim di Doplangkarta, pesisir selatan bagian tengah Pulau Jawa.