Malam memang sudah larut. Hari baru saja berganti seiring melangkahnya jarum jam dari angka ke angka. Namun Surabaya seakan tak pernah tidur. Nadi kehidupan di kota pahlawan seakan selalu berdenyut tanpa mengenal waktu. Jalan raya dan fasilitas umum lainnya tak pernah sepi, termasuk di Rumah Sakit Islam Jemursari. Di sinilah peristiwa besar itu terjadi.
Seorang pria sepuh duduk terbaring di salah satu rung rawat inap. Beberapa hari lamanya ia dirawat disini. Lelaki yang terkenal enerjik itu kini berbaring dengan wajah lesu, resah dan gelisah. Dari raut mukanya tampak ia sedang memikirkan sesuatu. Namun sulit diterka kemana kini pikirannya sedang bekerja. Kegiatannya tetap padat sekakipun belakangan ini kesehatannya tak lagi bersahabat. Pikiran dan wawasannya juga tetap luas meski usianya telah hampir satu abad.
Sehari-harinya ia adalah seorang guru dengan santri yang beribu-ribu. Pesantren yang dirintis abahnya itu kini sudah berkembang pesat. Sarana fisik terus dibenahi, proses pembelajaran untuk para santripun kian ditingkatkan mengikuti arus perkembangan zaman. Meski begitu, modernitas zaman seakan juga menjadi boomerang bagi pesantren yang ia asuh. Degradasi dan dekansi moral pun tak terelakkan.
Kondisi masyarakat pun juga tak kalah ruwet. Kemodernan zaman telah mengikis spiritualitas keimanan mereka secara cepat ataupun perlahan. Akibatnya, moral dan tingkahlaku yang dimiliki semakin jauh dari yang telah digariskan agama. Belum lagi kalau bicara kesejahteraan hidup. Tak bisa ditutupi kalau sebagian besar rakyat masih ada dalam kemiskinan. Kondisi inilah yang kadang membuat mereka berpikir realistis dan materialistis sehingga lupa akan kehidupan ukhrawi.
Urusan kemasyarakatan juga bertambah pelik ketika belakangan jam’iyah yang ia pimpin sedang berurusan dengan persoalan agrarian. Tanah berhektar-hektar milik rakyat kecil itu kini telah beralih kepemilikan. Prosesnyapun begitu mengherankan karena terjadi secara massif hingga patut dicurigai.
Selentingan kabar terdengar bahwa pembelinya adalah investor asing untuk dibangun tambak udang. Yang menjadi perhatian beliau dan jam’iyah-nya, bagaimana nasib rakyat kecil nanti bila semua tanah sudah dikuasai asing? Akankah mereka menjadi terpinggirkan dan asing di negerinya sendiri?
Belum lagi bila berbincang soal kondisi bangsa dan Negara. Sekalipun telah lama merdeka, masih banyak tantangan dan persoalan yang harus diselesaikan. Negara diserang problema dari segala arah. Birokrasinya belum benar-benar bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Demokrasi sudah tercoreng akibat maraknya praktik transaksional yang sering dilakukan politisinya. Pilihan tak lagi didasarkan pada nurani, tapi pada siapa yang memberi.
Selain itu, ancaman juga datang dari rasa nasionalisme yang kian menipis. Serangan dari kelompok yang ingin mengubah dasar Negara makin gencar. Mereka sekarang tak lagi malu untuk menampakkan dirinya di tempat-tempat umum. Gerakannya juga semakin beringas tak kenal ampun dengan mengatasnamakan jihad.
Padahal ideologi negeri ini sudah dibangun berdasarkan konseus yang melibatkan berbagai pihak dan golongan. Mengubah dasar Negara seperti yang mereka inginkan justru akan menimbulkan masalah baru seperti yang kini terjadi pada bangsa-bangsa Arab.
“Apa yang kau risaukan wahai Abah?” salah seorang putranya mendekat. Tak kuasa melihat sang ayah berada dalam kegelisahan.
Ruangan menjadi hening. Waktu seakan berhenti berdetak. Tak mendapat jawaban, si anak lalu berkata lagi, “Urusan Madrasah Diniyah, biarlah kami bersaudara yang akan membantu mengurusnya.”
Memang tetap tak ada jawabannya dari pria sepuh ini. Tapi raut wajahnya yang semula resah dan gelisah kini mulai mencair perlahan. Senyumnya kembali mengembang. Bahkan kalau diperhatikan, wajahnya tampak begitu cerah bersinar. Rupanya, perkataan puteranya seolah memberikan angin segar pada pikirannya yang tengah berkecamuk.
Ia memang sangat cinta pada ilmu agama. Semua santrinya diharapkan bisa menguasai ilmu agama sebagai bekal hidup dunia dan akhirat. Maka iapun menjadikan Madrasah Diniyah sebagai program wajib untuk seluruh santri tanpa kenal tingkatan sekolah formal. Bahkan di usianya yang sudah lanjut, semangatnya masih membara untuk membangun pesantren salaf yang saat ini masih dalam proses pembangunan.
Dan ternyata inilah yang menjadi beban pikirannya terus saja gelisah meski telah dini hari. Barangkali ia khawatir tak akan ada yang mau melanjutkan perjuangannya untuk mencetak generasi faqih dalam agama. Sebab salahsatu keinginannya adalah terus bersama dengan para santri hingga di surga nanti. Dan tentu hanya santri yang alimlah yang akan tetap bisa bersama dengannya.
Esok harinya, di pagi yang masih buta, tangispun pecah. Lelaki sepuh yang di akhir hayatnya tetap bersemangat menghidupkan ilmu agama itu telah tiada. Malaikat Maut baru saja menggoreskan sebuah lukisan terindah kepergian sang manusia mulia. Air mata kehilangan menetes dari semua orang yang pernah berguru padanya.
Ya ayyatuhan nafsu al-muthmainnah. Irji’i ila rabbiki radhiyatan mardhiyah. Fadkhuli fi ‘ibadi. Wadkhuli jannati.
Selamat jalan Kiai! Akui kami sebagai santrimu, dunia dan akhirat.
Ahka, santri Pondok Pesantren Annuqayah dan Mahasiswa Instika Sumenep.