Cerpen

Domba Ketujuh

Selasa, 15 Oktober 2013 | 10:01 WIB

Kira-kira pukul 08.30, setelah shalat Iedul Adha, orang-orang berkumpul di halaman masjid yang lapang. Mereka akan menyaksikan penyembelihan tujuh ekor domba jantan yang bagus dan seekor kerbau gemuk yang diserahkan beberapa orang kaya kepada DKM.
<>
Anak-anak yang berpakian bagus-bagus berkumpul di sekitar halaman. Mereka bermain sesukanya. Tawa bahagia berderai. Mereka ingin menyaksikan darah yang mengalir deras dari tenggorokan, kemudian menyentuh bumi. 

Para orang tua juga telah datang. Mereka membawa alat untuk membantu penyembelihan. Mereka telah siap menyaksikan darah yang akan mengalir dari tenggorokan kemudian mencium bumi, lalu ada tubuh yang bergelinjangan sekarat meregang nyawa. 

Ibu-ibu dengan masih memakai pakaian lebarannya juga telah hadir sambil tak henti-hentinya ngobrol soal apa saja. Anak-anak gadis membentuk kelompok sendiri. Mereka ngobrol soal yang berbeda. Mereka sudah siap melihat darah yang mengalir deras mencium bumi.

Sementara yang akan disembelih seperti tidak tahu-menahu kejadian apa yang akan menimpanya. Kerbau itu tenang-tenang saja memakan rumput hijau yang diletakkan di atas karung. Dia tidak tahu darahnya akan dialirkan hari ini, kemudian sekarat, kemudian dikuliti, kemudian dicincang, kemudian diiris, disate, disemur, dan apa pun namanya. Dia tidak tahu-menahu sama sekali. Dia tidak tahu ini adalah hari terakhirnya. Cuma dia mungkin merasa asing karena ada makhluk lain yang ramai-ramai di sekelilingnya. 

Tujuh ekor domba juga sama seperti itu. Mereka tidak tahu-menahu darahnya akan dialirkan hari ini ke perut bumi. Mereka hanya memakan rumput liar di halaman masjid itu. Kadang-kadang berkeliling mengitari pancung, berusaha melepaskan diri dari tambang pengikat. Tapi tambang itu begitu kuatnya. Sesekali digoda anak-anak, kemudian domba itu mundur, ancang-ancang hendak menanduk. Tapi anak-anak tersebut berhamburan sambil tertawa, meski sedikit cemas.

Matahari bersinar terik. Langit biru cerah tak terhalang awan sedikit pun. Beberapa ekor burung melayang rendah di udara. Angin cuma sepoi-sepoi saja.

Tidak berapa lama kemudian, beberapa orang ahli penyembelihan mendekati kerbau yang asyik merumput. Dengan hati-hati sekali, mereka mampu menggulingkan makhluk itu hingga posisinya memudahkan untuk disembelih. Kerbau itu tak bisa berkutik karena tambang telah meringkusnya. Semakin dia bergerak, semakin tambang itu meringkusnya. Tenaganya sia-sia belaka. Hanya meraung, hendak berdiri. Tapi tak kuasa. Hanya tanduknya dibanting-bantingkan sekenanya.

Seseorang maju ke depan. Rokok yang sudah hampir menjadi puntung, dibuangnya. Dia mencabut golok dari sarungnya menantang cahaya matahari. Mata golok berkilauan. Dia penjagal. Dengan golok terhunus, dia mendekati makhluk yang sudah tak berdaya itu. Seorang kiai siap memimpin doa. Si pemilik kerbau menyaksikan di belakangnya. Orang-orang yang menyaksikan melingkar agak jauh dari kerbau tersebut. Pandangan mereka terpusat pada leher kerbau. Tambang yang meringkus setiap kaki kerbau dipegang kuat-kuat beberapa orang lelaki muda.

Penyembelihan dimulai setelah doa dibacakan. Golok itu melukai tenggorokan sang kerbau. Darah mengalir deras mencium lubang di bawahnya. Dari mulutnya keluar ngorok bercampur darah. Tubuh itu meregang melepas nyawa. Kakinya kejang-kejang beberapa lama. Nafas terakhir habis. Kemudian sekarat, kemudian mati, kemudian dikuliti, kemudian dicincang, kemudian ditimbang, kemudian dibagikan. Kepala dan hatinya dipisahkan buat kiai. Pahanya buat ketua DKM. Pahanya yang satu lagi buat pak kades. Kulitnya buat bedug yang semalam bolong terus-terusan dipukul. Sisanya dibagikan buat mereka yang berhak menerima.

Domba-domba jantan itu pun tak jauh berbeda nasibnya dengan kerbau tersebut. Lehernya dipenggal. Darah mereka mengalir menciumi bumi. Kemudian dagingnya dibagi-bagikan. Kepalanya buat kiai kampung tetangga. Buat bapak kepala dusun. Buat bapak ketua RT, bapak pertahanan sipil, anggota DKM dan sesepuh kampung. Kakinya jadi rebutan. Kulitnya dijual kepada tengkulak kulit yang beberapa hari sebelumnya sudah memesan. Sebagian untuk dimasak waktu itu juga bagi yang bekerja membantu penyembelihan. Sisanya dibagikan buat mereka yang membutuhkan.

Matahari semakin meninggi. Siang semakin panas saja. Penyembelihan terakhir adalah domba ketujuh. Orang-orang sudah kelelahan. Orang-orang yang menyaksikan tidak sebanyak penyembelihan sebelumnya. Pak kiai sudah pegal mulutnya menghembuskan doa-doa. Sang penjagal sudah gonta-ganti. Darah yang berceceran sudah mengental. Seseorang menuntun domba itu ke lubang penyembelihan bekas kawan-kawannya. Domba ketujuh itu tidak berontak sebagaimana domba sebelumnya. Dia pasrah. 

Ketika golok itu akan menggorok lehernya, setelah doa dibacakan, saat setiap pasang mata terpusat pada lehaernya, tiba-tiba dengan lantangnya domba ketujuh itu bicara.

“Sebentar, sebentar, sebelum golok ini menggorok leherku, sebelum darahku jatuh ke tanah, sebelum nyawa ini melayang, sebelum tubuh ini dikuliti, izinkan aku bicara dulu.”

Kontan saja sang penyembelih mundur beberapa langkah menabrak orang-orang yang ada di belakangnya. Orang-orang di belakangnya menabrak orang-orang di belakangnya pula. Orang-orang seragam dalam kekagetan. Orang yang memegang tali pengikat kaki domba itu kabur tunggang-langgang. Matanya terbelalak. Mulutnya ternganga. Tapi ada juga yang tetap diam terkena sihir. Tak bergerak seperti patung kedinginan.

Penyembelih itu terkesiap. Goloknya terlepas hampir mengenai kakinya. Wajahnya kehilangan darah. Dia hampir saja kabur kalau beberapa orang tidak menceghnya. Nafasnya sengal-sengal seperti baru saja dikejar setan. Keringat sebesar biji-biji jagung keluar dari mukanya yang kehitaman.

Beberapa saat mereka adalah patung. Mereka masih tak percaya akan mata dan pendengarannya masing-masing. 

Kemudian, mereka saling bertanya atas kejadian itu, dan kemudian saling tidak tahu jawabannya. Di antara mereka ada yang mengusulkan untuk membatalkan pemyembelihan domba ketujuh.

“Bagaimana kiai, apakah penyembelihan ini akan dilanjutkan?” tanya seseorang di sampingnya yang merupakan ketua DKM.

Pertanyaan ketua DKM itu memecah keheningan kiai. Dia mengusap keringat di wajahnya beberapa kali dengan sorbannya. Mulutnya mengucap istighfar. Tapi dia belum menjawab pertanyaan itu seolah tidak tahu apa yang harus dikatakan dan dilakukan. Dia menghela nafas dalam-dalam.

“Wahai manusia, kenapa kalian keheranan mendengarku bicara? Tidak ada yang luar biasa bagi-Nya. Aku hanyalah seekor binatang yang sudah tak berdaya. Tak perlu diherani apalagi ditakuti. Kejadian ini biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Kalau mau disembelih, sembelihlah aku! Itu lebih baik bagiku. Tapi sebelum itu, izinkan aku bicara barang sebentar,” kata domba ketujuh dengan suara lantang dan jelas sehingga setiap telinga dapat mendengarnya.

“Kalau kamu mau bicara, bicaralah! Kami bangsa manusia akan memberikan kesempatan bagimu. Kami siap mendengarnya,” kiai mewakili teman-temannya. Ia mencoba tenang.

“Baik, baik,” kata domba ketujuh, kemudian berhenti sebentar. Tenggorokannya seperti tersedak. “Tapi tolong, tambang yang mengikat leherku dilonggarkan sedikit supaya aku leluasa bicara. Percayalah aku tidak akan kabur. Aku tidak akan ngamuk. Kematian adalah hal yang biasa saja,” katanya lagi.

Beberapa orang, meski ragu-ragu, segera melonggarkan tambang pengikat leher domba ketujuh. Canggungnya sedikit demi sedikit berkurang.

“Begini, bangsa manusia,” kata domba tersebut sambil tetap dalam posisi untuk disembelih. Sementara tubuh dan keempat kakinya masih diringkus. “Sebelum nafas terakhirku habis, nyawaku hilang melayang-layang, darahku mencium bumi, tubuhku dikuliti, dagingku dicincang diiris-iris kemudian kalian masak dengan berbagai macam cara dan selera. Aku rela. Aku ikhlas. Karena itu garis takdir yang dituliskan atas diriku. Tapi sebelum semua itu terjadi, aku punya satu permohonan.’’

“Kalau boleh tahu, apa permohonan terakhirmu itu? Kalau kami mampu, kami bisa mengabulkannya,” kata kiai itu mulai agak akrab. Orang-orang yang menyaksikan pun keheranannya sedikit mencair. Mereka memasang mata dan telinga masing-masing seolah tidak ingin terlewatkan satu huruf pun atas kata-kata domba ketujuh.

“Begini bangsa manusia, sudah kukatakan bahwa aku ikhlas seikhlas-ikhlasnya jika aku dijadikan qurban. Aku rela leherku disembelih, darahku mambasahi bumi, tubuhku dikuliti, dagingku dicincang, aku tidak akan menangis, keluargaku pun tidak akan bersedih karena itu tidak akan berlaku dalam duniaku. Anak-anakku pun tidak akan melakukan balas dendam karena kami tak mengenal itu.”

“Lantas apa maumu?”

“Tapi aku dan kawan-kawanku tak rela sama sekali. Tak rela.”

“Kamu tak mau disembelih?” tanya kiai. “Kalau itu maumu, kami bisa mempertimbangkannya.” 

“Bukan itu permasalahannya.”

“Lantas?”

“Kenapa daging kawan-kawanku dan mungkin juga aku bagian yang banyak hanya dinikmati oleh kiai, ketua DKM, kepala desa, kepala dusun, pak RT, pak pertahanan sipil dan sesepuh kampung? Kenapa mereka yang didahulukan? Mereka itu orang yang berada. Mampu membeli tanpa dibagi. Mereka sering makan daging. Biarkanlah orang-orang miskin, anak-anak yatim, orang-orang jompo menikmati daging lebih banyak setahun sekali. Mereka jarang-jarang makan daging.”

Kiai itu merah mukanya. Kata-kata itu menohok mukanya. Ketua DKM tertunduk. Orang-orang yang mendengar itu berbisik-bisik.

“Sebelum kalian menyembelihku, sembelihlah nafsumu! Sembelihlah hasratmu. Potonglah kerakusanmu! Sembelihlah keangkuhanmu. Penggaallah kesombonganmu. Potonglah keserakahanmu!”

Sekarang, orang-orang itu kembali terdiam. Mereka seperti makhluk tanpa suara.

"Kenapa kalian bengong? Sembelihlah aku! Sembelihlahlah aku! Aku ingin segera menghadap-Nya. Menyusul teman-temanku"

Semuanya diam.

"Baiklah kalau kalian tidak mau menyebelihku, biarlah aku yang akan menyembelih diriku sendiri, mencincang sendiri, dan biarlah aku membagikannya ke faqir miskin, anak yatim, orang-orang jompo. Aku tidak mau merepotkan kalian...."

Sukabumi, 2004

 

ABDULLAH ALAWI, lahir di Sukabumi, Jawa Barat.


Terkait