Cerpen

Gubug Kerinduan

Ahad, 28 Desember 2014 | 01:01 WIB

Oleh Slamet Tuharie Ng

--Pagi itu, terik matahari sudah terlampau panas untuk kulitnya yang tipis. Ia sudah tak sanggup berhadapan dengan panasnya matahari yang baru saja merekah dari ufuk timur.<> Bahkan tiap pagi hingga siang menyambangi, waktunya hanya dihabiskan tuk berdiam diri di sebuah gubug kecil yang letaknya tak jauh dari pematang sawah di kaki Gunung Perahu. Belum lagi ditambah suhu yang tak menentu, membuatnya semakin lemah. Kala siang panasnya bisa membakar kulit. Tapi tatkala matahari telah kembali ke peraduannya, hawa dinginnya bisa-bisa menembus ke sum-sum tulangnya yang terdalam.

Ia merasa sangat menderita. Di usianya yang sudah menginjak kepala tujuh, harusnya ia tengah asyik melihat cucunya berlarian, atau mungkin tengah menghabiskan masa tua bersama anak semata wayangnya, Rohman. Tapi itu hanya keinginan yang tak mungkin tercapai, karena saat ini ia menjalani hidup seorang diri. Suami yang sangat ia cintai telah berpulang ke alam keabadian 10 tahun silam karena penyakit ginjal yang dideritanya. Meski seluruh hartanya telah dijual untuk mengobati sang kepala keluarga, ternyata tak kuasa melawan kehendak Tuhan yang menginginkannya kembali kepada Sang Kholiq.

Pun, dengan anak semata wayangnya yang sudah 9 tahun lamanya seperti hilang ditelan bumi. Berawal dari perkenalannya dengan seorang yang ditemui di sebuah masjid di Kota Bogor, Rohman kemudian diajak untuk berangkat ke Timur Tengah. Katanya untuk menimba ilmu di sana. Ia pun tak bisa menahan anaknya untuk tidak pergi meninggalkannya sendirian, karena memang anaknya sangat ingin belajar ke Timur Tengah sejak kecil. Tapi apa daya, kondisi ekonomi tak memungkinkannya. Hingga ketika tawaran itu datang, tanpa berpikir panjang ia pun berangkat ke negeri 1001 malam. Dengan harapan akan kembali ke tanah air membawa pengetahuan dan kesuksesan.

Dialah Mbah Sari, wanita tua renta yang sudah 9 tahun menghabiskan sisa hidupnya di gubug kecilnya yang usang. Usianya yang sudah sangat renta, ditambah matanya yang semakin sayup dan tubuhnya yang kurus kerontang, membuatnya sangat lemah. Seperti tak kuasa berbuat apa-apa. Ia hanya berdoa semoga anaknya sehat wal afiyat dan segera kembali ke pangkuannya. Hanya itu doa yang terus dipanjatkan olehnya setiap waktu.

Sayangnya, meski doa terus terucap dari bibir tipisnya, rasa khawatir, takut, dan cemas masih selalu menghantui pikirannya. Apalagi, semenjak keberangkatannya 9 tahun silam, tak pernah ada kabar atau kiriman surat yang menyambagi gubugnya. Sebenarnya jika ada selembar surat saja dari Rohman, mungkin akan bisa menjadi sedikit pengobat rasa rindunya yang sudah menggunung. Tapi ia beruntung, di tengah kondisinya yang serba susah, masih ada tetangga sebaik Kang Soleh dan istrinya yang sering menemaninya. Termasuk mengirim makanan setiap hari kepadanya. Apalagi saat hujan turun dengan derasnya dan petir meronta di awang-awang, mereka selalu datang untuk menemaninya. Semua dilakukan karena kepedulian mereka pada Mbah Sari yang sudah semakin renta. Termakan oleh zaman.

****

Tak terasa, hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu terlihat menyala terang di rumah-rumah penduduk yang berada tak begitu jauh dari gubugnya. Namun tak untuk Mbah Sari. Gubugnya hanya diterangi oleh lampu teplok dari bekas kaleng minuman yang diisi minyak tanah dan sumbu dari kain. Baginya, yang penting ada cahaya yang menerangi gubugnya. Hingga bisa membuatnya bernafas lega.

Malam itu, hujan kembali mengguyur seperti malam-malam sebelumnya. Petir pun meronta-ronta di awang-awang. Seperti tengah meluapkan kemarahannya. Ia takut, kalau-kalau gubug yang menjadi satu-satunya tempat berteduh, menjadi sasaran kemarahan sang petir. Hingga tiap kali suara petir terdengar, tubuhnya gemetar. Pun dengan gubugnya yang seperti mau roboh dan terbang bersama angin yang mengiringi hujan.

Rasa dingin kini benar-benar menusuk hingga sum-sum tulangnya. Balutan kain selendang tak mampu menahan hawa dingin yang terus menerpa. Begitu pula dengan lampu teploknya yang ikut terombang-ambing oleh hembusan angin yang menyusup melalui lubang-lubang gubug yang terbuat dari anyaman bambu. Membuatnya semakin ketakutan dalam balutan kesepian.

“Mbah....buka pintunya mbah?” terdengar suara seorang lelaki dari balik gubugnya.

“Siapa?” tanya Mbah Sari penasaran.

“Soleh Mbah.”

Bergegaslah ia membukakan pintu gubugnya. Nampak samar-samar wajah seorang lelaki yang membawa payung sambil menenteng sebuah plastik hitam. Lalu plastik itu diberikan untuknya. Isinya cukup sederhana, hanya nasi dan ikan asin yang digoreng dengan sedikit minyak. Maklum, Kang Soleh sebenarnya bukan orang yang kecukupan, tapi ia tetap peduli pada keadaan Mbah Sari. Baginya, yang penting bisa berbagi meski tidak dengan sesuatu yang mewah.

“Mbah ini ada makanan sedikit. Monggo Mbah dinikmati,” ucap Soleh sambil membuka plastik hitamnya.

“Terimakasih, Mbah ngerepotin terus,” jawabnya dengan terbata-bata.

“Tidak Mbah, sama sekali tidak merepotkan. Tapi maaf, hanya nasi jagug dan ikan asin Mbah. Tadi anakku sakit, jadi istriku tidak sempat masak.”

“Tidak apa-apa. Ini sudah sangat nikmat.”

Ia bersyukur karena malam itu masih ada rizki Tuhan yang turun padanya. Baginya, nasi jagung dan ikan asin adalah nikmat yang luar biasa. Sembari menikmatinya, ia kembali bercerita kepada Kang Soleh tentang kerinduannya kepada Rohman, anak semata wayangnya. Kang Soleh pun terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa. Sebab cerita itu selalu ia dengar tiap kali mengantarkan makanan untuk Mbah Sari. Tapi ia sadar, Mbah Sari sudah terlalu rindu kepada anaknya. Apalagi sampai detik ini, sama sekali tak ada kabar tentang sosok yang dirindukannya itu. Kang Soleh pun hanya bisa menjadi pendengar setia dari cerita kerinduan seorang ibu kepada anaknya. Tak jarang, matanya berkaca-kaca tatkla mendengar kenangan indah Mbah Sari dengan anaknya.

****

Pagi itu, sekitar pukul 05.30 WIB, tiga mobil berwarna abu-abu gelap terparkir tak jauh dari gubugnya. Mbah Sari yang merasa terganggu dengan suara mobil itu, mencoba mengintip dari celah gubugnya yang terbuat dari anyaman bambu. Dari balik gubugnya, tampak para polisi bertubuh kekar dan mengenakan penutup muka tengah berbaris rapi sambil membawa senapan laras panjang. Ia kaget bukan kepalang, apa yang sebenarnya terjadi. Jantungnya berdetak semakin kencang. Keringat dingin pun membasahi pagi yang belum sepenuhnya terang.

Tak berselang lama, Pak Kades bersama pamongnya mendatangi gubug Mbah Sari dan memintanya untuk segera keluar. Ia semakin bingung dan ketakutan. Apa yang sebenarnya terjadi padanya hingga harus meninggalkan gubug kecilnya itu.

“Ayo Mbah, keluar dulu. Sampean tidak aman kalau di sini,” ucap Pak Kades.

“Memang kenapa Pak?”

“Mereka itu lagi memburu teroris Mbah, jadi mending Mbah ke rumah saya saja dulu.”

Sontak, setelah ucapan itu terdengar ia pun menjadi lemah tak berdaya. Tubuh rentanya ambruk menimpa pagar gubugnya yang mulai reot. Ia takut kalau-kalau yang dimaksud adalah anaknya, Rohman. Naluri seorang ibu pun tak bisa dibohongi. Sambil tersedu-sedu dan terbata-bata ia menyebut nama anaknya berulang kali. Pak Kades dibantu dengan beberapa polisi kekar itu pun kemudian menandu Mbah Sari menuju rumah Pak Kades yang jaraknya sekitar 200 meter. Setelah itu, polisi bersenjata lengkap masuk memenuhi gubugnya yang kecil dan sebagian dari mereka memasang garis kuning tanda larangan untuk melintas.

Mbah Sari yang tak lama kemudian sampai di rumah Pak Kades pun sudah ditunggu oleh para tetangganya. Mereka penasaran dengan yang terjadi sebenarnya pada Mbah Sari. Tapi apa daya, ia sudah tak sadarkan diri. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya seperti kelu untuk berucap.

“Pak Kades, sebenarnya ada apa. Apa yang terjadi pada Mbah Sari dan mengapa mereka menggeledah gubug Mbah Sari? ” ucap Kang Soleh yang dipotong oleh Pak Kades.

“Begini, tadi pimpinan regu polisi itu menemuiku. Ia menjelaskan bahwa Rohman tertangkap di Bogor karena terlibat terorisme,” jawabnya dengan lugas.

Semuanya kaget bukan kepalang. Sosok Rohman yang dikenal baik dan bersahaja itu ternyata harus berurusan dengan jaringan terorisme. Mereka tak ada yang menyangka sama sekali. Di tengah ketidak sadaran Mbah Sari mendengar jawaban Pak Kades, tiba-tiba badannya menjadi dingin. Matanya terpejam sangat dalam. Sepertinya raganya yang sudah renta tak mampu menyangga kenyataan yang harus dihadapi. Sungguh tak disangka, kebaikan dan ketulusan seorang ibu harus dibalas dengan kepedihan yang amat dalam. Rumah Pak Kades pun pagi itu banjir air mata. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

 

Slamet Tuharie Ng, lahir di Batang 09 Juni 1990. Saat ini tengah menyelesaikan studi magisternya di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain sebagai mahasiswa, saat ini penulis merupakan Wakil Sekjend Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) masa khidmah 2012-2015.


Terkait