Cerpen

Kepulangan Si Sulung

Ahad, 9 Januari 2022 | 06:00 WIB

Kepulangan Si Sulung

Ilustrasi

Cerita Pendek: Achmad Dhani

Mentari menampakkan wajahnya menjelang waktu Dhuha. Terlihat seseorang berperawakan kurus kering tergopoh-gopoh mengeluarkan beberapa gulungan karpet dari dalam gudang di pojok masjid. Setelah selesai mengepel seluruh permukaan lantai masjid, akan digelar gulungan-gulungan karpet itu di atasnya. Sebagai rutinitas keseharian marbot masjid, mungkin pekerjaan ini adalah pekerjaan terpandang mulia.


Tidak begitu sulit bagi Rohim menunggu masjid, membersihkannya, merapikannya, dan juga menjaga dari pembuat onar kejahatan. Masjid bukan sekedar untuk tempat beribadah, melainkan juga tempat tinggal dan kehidupan baru yang dijalani Rohim. Di sini, ia mendapatkan harapan baru dari kelam usam masa lalunya. Bertemu dengan orang-orang baru yang mau merangkul kegelisahan hatinya. Rela menuntunnya menapakkan kaki meninggalkan bayang-bayang suram yang kerap kali menghantui.


Bila datang malam, Rohim teringat betapa salahnya dia harus pergi meninggalkan rumah aslinya. Menjauhkan diri dari kampung halamannya. Meninggalkan keluarga tercintanya. Dan apapun yang membuat dia bisa tumbuh sedewasa ini. 
Saat itu adalah saat yang sedang buruk-buruknya. Ketika itu, ibunya tercinta melabrak Rohim yang sedang setengah mabuk berjoget bersama biduan di tempat karokean di kampungnya. Ibunya merasa telah dibuat malu setengah mati atas kelakuan anak sulungnya itu. Diseretlah Rohim sepanjang jalan menuju rumahnya.

 

Setiap mata melihat kejadian itu. Sebuah tontonan antara anak dan ibu. Kelakuan yang mencoreng nama baik keluarga Haji Ali. Entah meniru siapa kelakuan Rohim ini. Seumuran hidup, ayahnya bukanlah seorang yang berkelakuan buruk. Ayah adalah seorang guru mengaji, pemuka agama yang terpandang di kalangan masyarakat. Mampu menggembleng anak-anak dengan ajaran agama, termasuk anaknya sendiri, Rohim.

 

Tapi kini Rohim berubah semenjak ayahnya meninggal dunia akibat tumor yang menggerogotinya. Puluhan juta uang habis digunakan untuk biaya berobat ayahnya. Tak sanggup lagi keluarganya membiayai operasi pengangkatan tumor itu. Ibunya meminjam uang ke pamannya, ke pak denya, kepada teman ayahnya, atau ke siapa saja yang bisa dipinjami uang, tapi semua tak menyanggupi. Alhasil, bapaknya meninggal dunia. Rohim menyesal dan kecewa dengan keluarganya yang tak mampu menolong nyawa ayahnya tercinta itu. Dia frustrasi dan sering dia keluar rumah untuk mencari ketenangan.

 

Sampai akhirnya dia berteman dengan orang-orang yang tak berpendidikan, tak punya sopan santun, yang mengajak Rohim terjun ke dunia suram, dunia yang tak memiliki tujuan hidup lebih cerah. seiring usia ibunya yang semakin menua, ibunya pun tak dapat menahan langkah Rohim. Tapi hari itu, ibunya baru sadar atas tanggung jawabnya terhadap anak sulungnya itu. Maka berangkatlah ibunya mencarinya ke tempat-tempat yang biasa tetangga mengadu kelakuan Rohim ke ibunya itu.

 

Ketika kejadian penyeretan itu sampai di rumah, Rohim bertambah kehilangan akal. Dia mengamuk tak karuan. Pergi ke dapur dan memecahkan piring dan gelas. Dia pelototkan matanya kepada ibunya itu.  "Kalau saja ibu punya uang, ayah tak akan meninggalkan kita. Aku tidak akan menjadi seorang yatim."


Tak ada yang berani mendekati Rohim. Ibunya hanya menangis melihat kelakuan anak sulungnya itu. Kedua adik perempuannya pun hanya berani bersembunyi di bawah kedua ketiak ibunya.

 

"Istighfar, Le. Kamu harus istighfar. Ini sudah menjadi kehendak Gusti. Kita tak mampu mengubah kehendak-Nya."


Serak suara ibunya itu, sambil mengelus-elus rambut kedua adik Rohim, ibu tak henti-hentinya mendera kekacaun ini. Kekacauan semakin memuncak tatkala ibunya menasihati bahwa dia harus bekerja mencari uang. Menghidupkan kembali perekonomian dalam keluarga kecilnya itu.


"Adik-adikmu ini masih kecil semua, Le. Kamu harus pahami itu. Bantulah ibumu ini."


Semakin menjadi-jadi saja setan yang merasuk dalam raga Rohim. Apalagi pengaruh alkohol yang mematikan separuh akal sehatnya. Secara usia Rohim memang sudah dewasa. Namun, sikap kedewasaan mungkin belum ada di dalam dirinya. Dia mulai geram dengan keadaannya saat itu. Ia sadar, memaki-maki ibunya bukanlah solusi yang tepat!


Keluarlah Rohim dari rumahnya. Meninggalkan semua yang dia temui saat itu: ibunya, kedua adiknya, orang-orang yang melihatinya di sepanjang jalan dan orang-orang yang dia temui di tempat karokean. Dia berjalan sejauh mungkin. Tak ada yang menghalanginya, bahkan ibunya sekalipun. Dia gunakan sisa uang yang ada di dalam sakunya. Menaiki bus tanpa tahu di mana dia harus turun.


Ketika sampai bergantinya malam, uang dalam sakunya pun sudah habis. Tak ada kendaraan lagi yang bisa mengantarkannya. Berjalan sendiri, tanpa teman dan tanpa arah tujuan. Dan tatkala malam semakin larut, letih sudah raga dan jiwanya itu. Hingga pada akhirnya, dia melihat masjid yang pintu gerbangnya sudah tergembok rapat, tetapi di dalamnya terlihat orang yang sedang shalat. Mungkin shalat tahajud. Tergeraklah hatinya untuk masuk ke dalam masjid agar bisa shalat. Terlebih, bila diizinkan, untuk beristirahat di sana.


Selepas shalat, orang di dalam masjid itu mendekati Rohim yang tengah duduk menyenderkan bahunya pada pagar besi, sehingga terlihatlah dia membelakangi masjid.


"Mas, mau numpang tidur di sini?" tanya orang itu kepada Rohim.

 

Berdirilah Rohim dengan badan lemas yang dibawanya. "Saya mau shalat, Pak. Apakah diperbolehkan, Pak? Bila saya shalat di masjid ini?"


Tak ada suara dari mulut orang itu. Namun ia menganggukkan kepala sembari membukakan gerbang masjid.

 

Hal yang langsung dituju Rohim tentu saja adalah tempat wudlu. Selepas wudlu dia masuk ke dalam masjid. Memulai dengan takbir pertama, menandakan dia sedang menjalani kewajibannya untuk beribadah kepada Sang Khaliq. Setelah menutup rangkaian ibadahnya dengan salam, dia ulangi lagi sampai beberapa kali. Dengan jumlah rakaat dan salam yang berbeda. Mungkin dia ingin menggantikan kewajiban shalat-shalatnya yang lain, yang beberapa waktu dia tinggalkan.


Melihat Rohim selesai shalat, orang itu memanggil Rohim. Orang itu duduk di serambi masjid dengan sarung yang dililitkan di leher. Terlihat kerutan wajah dan jenggotnya yang memutih, bisa dikira-kira bahwa orang itu berada pada kisaran umur enam puluhan tahun, atau bahkan lebih. Dan songkok putih yang dikenakannya, Rohim mengira orang itu adalah orang yang sudah menunaikan rukun Islam kelima.

 

"Maaf ya, Pak. Kalau boleh, untuk sementara waktu saya mau bermalam di sini," kata Rohim kemudian.


"Iya tentu boleh dong, Mas. Enggak papa, kalau mau, Mas bisa istirahat di kamar pojok masjid itu. Nah, pakai saja kamar itu. Toh, marbotnya sudah tidak di sini lagi."


Saat itulah Rohim bertemu dengan orang yang baru saja mengetuk pintu hatinya untuk bertaubat. Rohim mengenali orang itu dengan nama Haji Ali. Setelah mendengar cerita-cerita Rohim tentang perjalan hidupnya, Haji Ali meminta Rohim untuk menetap di lingkungan masjid itu, yang ternyata mesjid itu adalah masjid pribadi Haji Ali.

***


Kini Rohim sudah lima bulan menjadi marbot masjid itu. Hari ini adalah hari  Jumat terakhir di bulan Ramadhan. Tidak lama lagi Idhul Fitri akan datang. Semua orang akan berkumpul-kumpul dengan keluarganya. Yang sedang di perantauan pulang ke kampung halaman. Yang bekerja akan mendapat THR. Dan yang tengah berpisah dengan keluarganya akan berkumpul lagi.

 

Rohim merasa ada perasaan yang ganjil pada dirinya. Dia mengingat bilamana setiap lebaran dia akan berkumpul dengan keluarga. Ah, tapi ia malu untuk sedikit saja memikirkan tentang itu. Dia masih merasa bersalah bila harus menemui ibu dan keluarganya. Mungkin hal yang terbaik kini adalah harus menetap di masjid ini.

 

Rohim menghibur dirinya dengan berpikir dan rasa yang semakin kuat: Bagaimana mungkin Rohim meninggalkan Haji Ali mengurus sendiri masjid ini? Setiap harin Rohim mendapatkan makanan dari Haji Ali. Dia diberi kebebasan untuk mengambil sendiri makanan di rumah Haji Ali yang kebetulan adalah sekawasan dengan masjidnya itu. Rohim dianggap anak oleh Haji Ali dan istrinya. Terlebih anak-anak Haji Ali sudah berkeluarga semua dan berada di luar kota.

 

Selepas bersih-bersih masjid, Rohim ada rencana untuk pergi ke pasar. Haji Ali berpesan agar setelah selesai dari kegiatannya di masjid dilanjut untuk membeli pisang raja agar ketika maghrib nanti bisa dibuat kolak sebagai hidangan berbuka puasa. Berangkatlah Rohim mengendarai motor matic berwarna putih yang disediakan untuknya di dalam rumah Haji Ali.


Tak butuh lama Rohim harus ke pasar. Memang jarak pasar dan tempatnya sangatlah dekat, memerlukan waktu tempuh sekitar lima menit saja. Itu pun kalau macet. Kalau tidak macet, pasti hanya tiga menit. Tapi apesnya kini jalan agak ramai. Perempatan jalur untuk menuju pasar sedang ada pengaspalan jalan. Kini dia harus menunggu, kelihatannya para pekerja hampir selesai menaburkan koral dan aspal panas di permukaan jalan. Tidak semua permukaan jalan itu diperbaiki, hanya permukaan yang terlihat berlubang saja.


Di samping tempat dia menunggu, di tepi jalan ada dua anak yang menawarkan koran. Dia merasa iba dengan anak-anak penjual koran itu. Rohim dengan senang hati langsung membelinya. Kedua anak itu perempuan, yang mengingatkannya kepada kedua adiknya di rumah. Hatinya sangat sakit, ketika kedua anak penjual koran ini menawarkan koran kepadanya dengan alasan ingin membelikan obat ibunya yang sedang sakit.

 

Segera saja timbul dalam pikiran Rohim untuk pulang ke rumah asalnya. Dia sadar rumahnya sebetulnya bukanlah di sini. Dia sadar keluarga aslinya bukanlah keluarga Haji Ali. Rohim masih punya ibu, masih mempunyai dua adik yang sangat mungkin sangat merindukan kakaknya. Dan masih ada harapan lagi untuk bisa mengubah nasibnya. Walaupun tak ada lagi ayah yang bisa memotivasinya, tapi dia punya segudang kenangan bersama ayah dan keluarganya. Apakah kenangan itu tak bisa dia jadikan pemantik semangatnya?

 

Dia menyadari harus mengubah sikap buruknya. Harus meminta maaf kepada ibunya. Itu semua harus diawali dengan: dia harus pulang.

 

Sepulang dari pasar, Rohim merencanakan diri meminta izin kepada Haji Ali untuk bisa kembali pulang ke kampung halamannya. Tapi dia urungkan dulu niatnya itu. Dia mempertimbangkan bahwa lebih baik nanti ketika habis shalat Jumat dia akan berbicara kepada Haji Ali.

***

 

Jamaah mulai meninggalkan masjid setelah shalat Jumat selesai. Dia menunggu Haji Ali keluar dari dalam masjid. Dilihatnya Haji Ali masih berzikir di shaf paling depan. Setelah menengadahkan tangannya, terlihat tanda-tanda Haji Ali akan segera selesai berzikir.

 

Sampai di dekat pintu keluar masjid, Rohim sengaja berdiri seolah-olah akan menghadang seseorang yang akan melewati pintu keluar. Haji Ali menyapanya dengan senyuman bertanda tanya besar. Rohim segera menyalaminya dengan tazim lalu perlahan menyampaikan maksudnya.

 

"Pak Haji, ada sesuatu yang perlu saya sampaikan," kata Rohim setengah berbisisk. 

 

"Eh eh. Ada keperluan apa ini kok kayaknya penting sekali?"

 

"Begini, Pak Haji. Selama ini saya kan belum pernah tahu kabar di rumah sama sekali. Nah, saya ini merasa sangat merindukan keluarga saya, Pak Haji."
 

Rohim tak meneruskan perkataannya. Sebenarnya dia merasa sungkan dan tak tega bila harus meninggalkan Pak Haji Ali mengurus sendirian masjid ini. Hening. Pak Haji tak segera menanggapi pernyataan Rohim dengan kata-kata. Keduanya sama-sama diam. Beberapa saat, Pak Haji Ali tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih, tanpa ada satupun gigi yang berkurang. Dia tampa mulai menangkap arah pembicaraan Rohim ini.

 

"Saya sebenarnya enggak melarang kamu untuk pergi ataupun terus menetap di sini. Kalau memang kamu mau pergi untuk pulang, ya silakan. Namun...."

 

Pak Haji Ali menjeda ucapannya dengan helaan napas panjang dan tatapan mata tajam yang kini tertuju kepada Rohim.


"Kamu harus benar-benar bersikap baik kepada keluargamu, terutama ibumu yang masih ada itu. Jangan sampai perbuatanmu membuatnya kecewa," kata Haji Ali.

 

Rohim menganggukkan kepalanya. Ia juga berterima kasih kepada Pak Haji Ali atas semua yang telah Rohim terima. Terutama pelajaran agama yang menjadi sebuah perubahan besar dalam kehidupannya saat ini. Jadilah sore harinya dia pulang ke rumahnya menggunakan sepeda motor Pak Haji Ali yang diberikan kepadanya itu.

 

Sesampai rumah dia disambut hangat oleh keluarganya. Adik-adiknya telah lama merindukan kehadiran kakak; begitu pula ibunya. Ibunya mengatakan sudah lama memaafkan segala kesalahan dan kecerobohan Rohim. Tak ada dendam di antara mereka, lebih-lebih karena Rohim telah datang dengan segala perubahan yang dia bawa. 

***

Achmad Dhani, kerap dipanggil Kang Dhani adalah Mahasantri di Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta. Dilahirkan sekitar 20an tahun yang lalu di Grobogan, Jawa Tengah. Dia merasa sebagai seseorang yang tidak terlalu pandai dalam dunia tulis menulis, tetapi karena kebiasaan di pondoknya yang menekankan sistem kepenulisan, dia mulai menekuninya. Dia juga penikmat kajia-kajian keislaman, terutama tarikh islamiah. Pemiliki akun facebook dan instagram @achdhaniiy.  
 


Terkait