Cerpen

Kiai dan Burung Gereja

Ahad, 25 Februari 2018 | 02:00 WIB

Oleh Abdullah Alawi

Kiai Santibi luar biasa terkejut ketika mendapatkan sahabat-sahabatnya dalam keadaan tak bernyawa lagi. Sisa-sisa darah yang mengental berceceran di sekitar tubuh mereka. Ada yang kulitnya terkelupas dengan daging yang menganga dan tulang yang remuk. Ada bagian tubuh yang terpisah seperti dimutilasi. Semut-semut mulai merayapi tubuh mereka. Dan lalat-lalat mengitarinya.

Beberapa saat ia tertegun di hadapan jasad sahabat-sahabatnya yang selama ini telah banyak bercerita dan mengajarkan banyak hal. Cerita dan pelajaran yang tak pernah dia dapatkan dari siapa pun, termasuk gurunya. Juga dari kitab-kitab yang selama hidupnya dieja dan baca. 

Kiai Santibi menyesal karena tak bisa membela dan menolong sahabat-sahabatnya dari manusia yang berpikiran picik dan berhati keji. Yang membuatnya lebih terpukul, semua ini dilakukan di rumah Tuhan, tempat kepala dan hati seharusnya menundukkan diri kepada-Nya. Tempat yang semestinya sumber kedamaian bagi siapa pun, dan apa pun. 

Tak terasa, beberapa butir air mata menetes jatuh di wajahnya yang kuyu. Perlahan dia mengusapkan ujung sorban putihnya ke wajahnya.Kemudian dengan segenap perasaan kalah, dia menggelar sorban putihnya di atas tanah berdebu. Dia mengangkat sahabatnya satu per satu ke atas sorban putih tersebut...

***

Angin pagi berdesir mengacak daun lamtoro dan mangga, ditimpali suara air pancuran yang jatuh ke kolam, disambut kecipak ikan yang riang menyambut sinar matahari. Itulah suasana yang menghiasi setiap pagi di pinggir sebuah masjid yang sederhana dan tua. Di dalamnya, Kiai Santibi sedang khusuk menderas kitab seorang diri. 

Beberapa tahun yang lalu, setiap pagi sampai matahari menyengat, ia sedang memberi petuah kepada puluhan santrinya. Namun kemudian satu per satu meraka hilang dengan alasan sendiri-sendiri sampai tak ada satu pun. 

Meski demikian, kebiasaan menderas kitab tetap menjadi ritus setiap paginya. Kadang ia habiskan untuk wiridan, menderas Al-Qur'an atau membaca kitab Dalailul Khairat sampai waktu duha. Setelah itu, dia pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari masjid. 

Suatu pagi, burung-burung kecil yang bernyanyi di plapon masjid itu membuyarkan konsentrasi Kiai Santibi yang khusuk menderas. Suara mereka menyiratkan keriangan. Memang beberapa hari ini, ia merasakan ada suatu yang berbeda dengan masjidnya. Diliputi rasa penasaran, dia beranjak keluar. Dia memperhatikan burung-burung yang baru dilihatnya itu. Biji tasbihnya dia raba satu per satu. Mulutnya melafal kalimat-kalimat toyyibah. 

Kemudian dia mendatangi mereka.

"Selamat pagi, wahai burung-burung kecil."

"Selamat pagi juga, Kiai." 

“Siapa namamu, wahai burung kecil?” tanya Kiai Santibi.

“Aku burung gereja,” kata burung itu.

“Apa? Burung gereja?” kiai itu kelihatan kaget. Tapi berusaha untuk tenang. 

“Ya, aku dinamai sebagai burung gereja karena memang makhluk sejenisku banyak tinggal di gereja.”

“Apa maksud kedatanganmu kemari?”

“Oh ya, maafkan aku yang tidak meminta izin dulu kepadamu. Padahal aku dan teman-temanku sudah beberapa hari tinggal di masjidmu ini. Aku adalah peziarah yang menyinggahi satu tempat ke tempat lain. Satu rumah ibadah ke rumah ibadah lain. Kadang kami sampai beranak-pinak di suatu tempat, kemudian kami pergi. Sebagian anak-anakku tinggal di situ untuk kemudian pada saatnya nanti untuk berziarah ke tempat-tempat lain. Kami adalah peziarah. Dan telah banyak yang kami temukan...” kata salah seekor burung yang tampaknya sebagi pemimpin mereka. Teman-temannya sekarang ikut nimbrung. 

“Barangkali kami akan tinggal di masjid ini untuk waktu yang tidak ditentukan,” kata yang lain.

“Kenapa kamu tinggal di masjidku? Bukankah...”

“Aku paham pertanyaanmu, Kiai," burung itu memotong kalimat, "karena nama kami burung gereja, kan? Kamu sebenarnya bisa mengganti namaku menjadi burung masjid. Tapi aku tetap aku, tetap milik-Nya.”

“Tapi tempat ini bukan gereja?”

“Setiap rumah adalah rumah Tuhan. Aku dan kamu juga adalah kepunyaan-Nya. Sebagai seorang peziarah, masjid, gereja, kuil, sinagog, pura, wihara, sama saja. Sama-sama milik-Nya. Di tempat-tempat itu, aku temukan orang yang menghadap-Nya. Caranya memang berbeda, tapi punya tujuan sama, menghadap-Nya! Sebagai seorang peziarah, kami memahami semua itu sebagai jalan lain. Banyak jalan menuju pintu-pintu-Nya." 

Sekarang kiai itu terdiam. Tasbih di tangannya tetap berputar sambil melafal kalimat toyyibah.

"Kamu ingat seorang sultan muslim yang bersujud di gereja Aya Sopia?" tanya burung gereja itu lagi, "kemudian dia menjadikannya masjid tanpa mengubah nama dan arsitekturnya. Apakah itu akan membuat Tuhan alpa terhadap abdi yang menghadap-Nya?”

Kiai itu mengangguk-angguk. Tapi masih ada sedikit keraguan dalam hatinya. Tubuhnya bergetar, tasbihnya berputar perlahan, bibirnya tetap melafal. Dia seperti Ibrahim yang ragu akan mimpinya untuk menyembelih Ismail. Bisikan setan atau Tuhan? Atau seperti Muhammad yang merasa ketakutan yang didatangi Jibril di goa Hira.

“Bagaiman Kiai, bolehkah kami tinggal di sini?” 

Kiai masih terdiam. Tapi tiba-tiba saja dia ingat akan petuah gurunya ketika menjadi santri. “Undur maa qaala walaa tandur man qaala. Ambillah pelajaran dan hikmah dari siapa pun juga. Bahkan dari seekor lalat atau nyamuk. Seandaianya dari manusia yang mulia, tapi yang keluar adalah kata-kata keji, jangan pernah diambil. Tapi meski dari binatang, kalau bermanfaat, misalnya telur, kita harus mengambilnya." 

Kiai santibi tersenyum mengenang akan ucapan gurunya yang telah almarhum, seraya berkata kepada burung-burung itu,“Kalian ternyata lebih arif dari kami," kata kiai Santibi setelah beberapa saat merenung, "aku senang mendengar cerita-ceritamu yang penuh hikmah. Dengan senang hati, aku persilahkan kalian tinggal di sini, dengan catatan aku ingin selalu mendengar ceritamu.”

“Terima kasih, Kiai. Kami juga ingin mendengar cerita-ceritamu yang pasti jauh lebih banyak. Itu akan sangat berharga bagi kami. Dan nanti akan kami ceritakan di tempat yang lain.”

Sejak itulah Kiai Santibi banyak belajar kepada burung gereja tentang petualangannya, tentang dunia luar. Biasanya dia mengajar santri-santrinya, sekarang dia belajar kepada burung gereja. Dia menjadi santri tunggal dari burung-burung gereja di masjid itu. 

***

Kebiasaan Kiai Santibi yang setiap pagi berbicara dengan burung gereja, diam-diam diperhatikan beberapa orang. Bahkan mereka menguping apa yang dibicarakan kiai dengan sahabatnya. Kemudian mereka pergi diam-diam dan membicarakan perihal Kiai Santibi kepada teman-temannya.

“Akidah kita terancam oleh binatang itu. Kiai Santibi sepertinya sudah terpengaruh binatang yang dirasuki iblis itu. Binatang itu telah mengajarkan ajaran sesat.”

"Kita harus melakukan sesuatu secepatnya."

"Ya, kita harus bertindak secepatnya sebelum kiai itu mengajarkannya kepada yang lain."

"Apa yang harus kita lakukan?"

"Kita harus mengusir binatang-binatang iblis itu dan mengembalikan kepercayaan kiai santibi yang sudah tercemar."

"Mengusirnya berarti kita membiarkan dia menyebarkan kesesatan di tempat lain. Kita harus membunuhnya."

Setelah mereka sepakat untuk membunuh binatang-binatng itu, keesokan harinya mereka mendatangi masjid di waktu pagi. Dan mendapatkan Kiai Santibi yang sedang asyik mendengarkan sahabatnya bercrita.

"Asalamu ‘alaikum, Kiai..”

"Waalaikum salam..." 

“Bukankah itu burung-burung gereja?"

"Iya, kata kiai. Dia sahabat-sahabat saya."

"Kiai, jangan berbicara dengan burung kafir itu? Jangan didengarkan! Dia pasti mengajarkan kekafiran."

“Dari mana kamu tahu bahwa dia mengajarkan keafiran?”

Orang itu berpikir sejenak. Dia tak mengerti maksud kiai. 

“Dari namanya, ya dari namanya, kata salah seorang membantu temannya. Dia kan burung gereja. Berarti dia burung kafir. Namanya juga gereja. Bukan begitu teman-teman?" Tanyanya kepada temannya yang langsung mengiyakan. 

Kiai Santibi hanya mengangguk-angguk dan mengusap janggutnya.

“Kamu tahu namaku?”“

Kiai kan bernama Santibi.”

“Di dalam namaku yang sebelah mana letak ketidakkafiranku?”

“Mmm... ya pada namamu,” jawabnya.

"Hm…" kiai itu tersenyum. Kemudian melanjutkan, "lalu kalau namaku seperti apa aku menjadi kafir?"

Orang-orang itu kembali terdiam.

"Kalau namaku Yulius atau Robert?" tanya kiai itu melanjutkan dengan tegas.

Mereka masih terdiam.

"Tuhan itu tidak melihat nama, jasad dan segala lahiriyahnya. Tapi hati," kata kiai sambil menujuk dadanya, "apa pun namanya, yang penting dia beribadah kepada-Nya."

"Kami tidak menyangka sekrang kiai berpikiran seperti ini," kata salah seorang. 

"Ini pasti gara-gara burung kafir itu," kata yang lain.

"Ya, gara-gara burung kafir."

"Kita harus mengusirnya."

"Kita bunuh saja!"

"Atas dasar apa kalian hendak membunuhnya sedang ia sama-sama makhluk Tuhan? Kamu tahu sahabat Nabi Sulaiman juga adalah seekor burung hud-hud? Kalian tidak tahukah ini adalah rumah Tuhan? Tempat siapa pun seharusnya mendapat kedamaian, termasuk burung-burung itu? Membunuhnya berarti merusak ciptaannya."

"Kami bukan merusak ciptaan-Nya, tapi menjaga akidah kami."

"Jelas-jelas dia merusak kepercayaan. Kiai Santibi saja sudah terpengaruh, apalagi kami-kami ini."

"Saya tidak merasa teracuni oleh burung ini. Malah dia selalu mendorong dan menambah keimananku dengan bercerita bagaimana kesalehan-kesalehan di masjid yang lain. Aku malah dibantu untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Kalau kalian hendak membunuhnya, berarti kalian hendak membunuhku."

Semua kembali terdiam.

"Kita pulang saja. Susah bicara dengan orang yang teracuni akidahnya." 

"Jangan-jangan Kiai Santibi sudah pindah kepercayaan..."

Kemudian orang-orang itu pulang dengan perasaan kesal. Sepanjang perjalanan mereka membicarakan rencana-rencana lain terhadap burung-burung itu. Sementara Kiai Santibi hanya menggeleng-geleng kepala melepas kepergian mereka.

***

Dengan perasaan kalah, Kiai Santibi menggali lubang di belakang rumahnya. Kemudian mengubur jasad sahabat-sahabatnya bersama sorban putihnya. Dia menguburkan mereka sebagaimana layaknya seorang murid kepada gurunya. Kemudian dia terpekur di hadapan tanah itu.

Orang-orang mengintip penguburan itu dari tempat tersembunyi. Mereka kelihatan puas melihat Kiai Santibi yang putus asa.

"Lihat, orang semacam itu sudah tidak pantas disebut kiai. Burung dianggap seperti manusia. Apalagi ini burung gereja."

"Ini pantas hanya dilakukan oleh orang gila."

"Kiai Santibi sudah gila."

"Ya, dia gila."

"Ini gara-gara burung kafir itu."

"Kita harus segera mengirimnya ke rumah sakit jiwa."


Penulis adalah warga NU kelahiran Sukabumi, pernah nyantri di Pondok Pesantren Asy-Syarifiyah dan Assalfiyah Nurul Hikmah


Terkait