Oleh Abdullah Alawi
Nama baik kampungku yang terkenal agamis sekarang rusak sudah. Kini hanya jadi cemoohan kampung tetangga saja. Ini disebabkan ulah si Jalu, pemuda tanggung yang tak pernah puasa. Jika bulan puasa tahun sebelumnya, ia melakukannya sembunyi-sembunyi, sekarang terang-terangan.
<>
Seperti biasa, prilaku yang jelek akan mudah ditiru. Anak-anak kecil yang sedang belajar puasa, enggan pula melaksanakan rukun Islam ketiga ini.
Warga resah.
Si Jalu memang tak sendirian. Tapi dialah yang paling berani. Orang tuanya sudah angkat tangan. Segala cara telah dilakukan, mulai cara lembut hingga keras. Jalu bukan menurut, tapi melawan. Pernah ia melaporkan anaknya itu kepada pak RT. Barangkali bisa menasihatinya. Pak RT pun melakukannya. Tapi esoknya Jalu malah sengaja jalan-jalan keliling kampung sambil merokok.
Pak RT geleng-geleng kepala. Orang tuanya pasrah.
Karena itulah sejumlah warga berniat menghakimi si Jalu dengan jalan kekerasan. Itu mungkin satu-satunya cara yang pantas diterimanya. Di sisi lain, ada pula warga yang ingin menyelesaikan dengan cara lain. Mereka sowan ke rumah Kiai Kartiwa, kiai sepuh yang paling dihormati di kampungku. Barangkali dia punya cara lain sebelum cara kekerasan digunakan. Aku termasuk orang yang ikut rombongan itu.
***
“Begitu, Kiai, saya sudah tak mampu menasihatinya. Orang tuanya juga sudah menyerahkannya pada saya. Ketika saya menasihatinya, dia tak mengindahkannya,” kata pak RT setelah menceritakan ulah si Jalu.
Kiai Sepuh itu cuma tersenyum sambil manggut-manggut.
Alis pak RT berkerut seolah hendak menyatu. Kiai Sepuh bukannya marah, malah tersenyum seolah yang didengarnya adalah berita yang menyenangkan. Pak RT dan rombongan kesulitan benar memahami arti senyum kiai.
Kiai sepuh belum mengeluarkan suara seolah mempermainkan kepenasaran kami. Dia malah mengusap-usap sorbannya seolah banyak debu menempel.
“Begini, saya bersama warga ingin memberi ‘pelajaran’ kepada pemuda tanggung tersebut. Kalau dia masih tak menurut, cara kekerasan sekali pun akan kami gunakan. Tapi sebelum itu, barangkali pak kiai...” pak RT menghentikan kalimat-kalimatnya setelah melihat raut muka Kiai Sepuh berubah kaget. Muka keriputnya makin mengkerut.
“Atas dasar apa kalian menghakiminya?!” katanya membentak.
Sekarang pak RT yang benar-benar kaget. Bukannya langsung mendukung, malah balik bertanya yang seharusnya tidak perlu ditanyakan lagi. Sungguh pertanyaan tak terduga. Aku dan rombongan terbengong.
“Ja...jadi, jadi...Pak Kiai ini...”
“Saya tahu. Saya tahu...”
“Kalau sudah tahu ke...kenapa? Mmm....bagaimana Pak Kiai ini...,” pak RT terbata-bata kata-katanya.
“Suruh…, siapa tadi... itu...anak yang tidak puasa itu?”
“Si Jalu, Kiai.”
“Ya, si Jalu suruh datang sendiri ke sini!”
Akhirnya rombongan kami pun pulang dengan perasaan tidak puas. Sepanjang perjalanan, di antara kami tidak ada yang berbicara. Masing-masing dipenuhi tanda tanya. Semuanya tak setuju dengan sikap Kiai Sepuh membiarkan Jalu. Padahal jelas-jelas mencoreng kampung. Kiai Sepuh seharusnya malu bahwa ajaran yang disampaikannya selama ini tak berarti apa-apa di hadapan anak muda itu. Yang lebih mengherankan lagi, Kiai Sepuh bukannya menyelesaikan masalah, tapi menambah masalah yang tak kalah susahnya. Bagiamana mungkin si Jalu mau menghadap Kiai Sepuh?
Tapi sebelum berpisah, kami sepakat urusan itu diserahkan kepada pak RT dan orang tuanya.
***
Seluruh warga di kampungku begitu menghormati Kiai Sepuh. Kami menganggap dia seorang yang weruh sedurung winarah. Ilmu dan pemahamannya sangat luas. Makanya tak pernah ada yang berani membantah keputusannya. Kalau membantah, pasti saja ada akibatnya.
Masih segar dalam ingatan warga akan kejadian beberapa tahun ke belakang. Subuh itu mang Japar yang biasa mengumandangkan adzan tidak terdengar suaranya. Justru pada subuh itulah saf di masjid bertambah karena ingin tahu kenapa mang Japar tidak terdengar suaranya. Apakah dia sakit?
Ketika mereka datang ke masjid, tahulah bahwa ampli yang baru dibeli masyarakat secara gotong-royong dan jam dinding masjid itu raib. Mereka geram. Berjamaah subuh hampir tidak jadi kalau saja Kiai Sepuh tidak keburu datang. Mereka melaporkan kejadian itu kepadanya.
Kiai Sepuh malah tersenyum. Bukannya menyuruh warga langsung mencari maling yang mungkin belum jauh, ia malah mengajak warga untuk shalat berjemaah terlebih dahlu. Bukan hanya itu, surat yang dibaca pada setiap rakaat adalah surat panjang-panjang, membuat makmum tak sabar. Setelah awe salam, makmum meminta supaya tidak wiridan dan langsung mencari si maling.
“Tak usah...sekarang masih gelap. Nanti saja setelah siang kita bisa melihat orangnya.”
Orang-orang mengerenyitkan kening. Bagaimana mungkin si maling masih ada ketika hari terang. Bukankah dia dia sudah kabur jauh-jauh.
“Tapi, Kiai...” kata seorang memberanikan diri.
“Sudahlah, jangan susah-susah!” jawabnya.
Akhirnya mereka menurut meski pantatnya gatal bukan main. Wiridan terasa lama.
Ketika matahari muncul, orang-orang kaget ketika mereka tahu ada orang yang tak dikenal membawa gembolan mengelilingi kampung tak henti-hentinya seolah linglung tak tahu jalan pulang. Orang tak dikenal itu bahkan sempat ngobrol dengan petani yang mau berangkat ke sawah dan menanyakan ke mana jalan ke luar dari desa itu. Orang kampung itu merasa heran. Jalan yang lurus ke sana itu adalah jalan keluar desa.
Dan hampir saja si maling itu dihakimi ramai-ramai oleh warga kalau tidak datang Kiai Sepuh. Ketika warga meminta dia untuk dipukuli atau dibawa ke yang berwjajib, kiai sepuh melarangya. Tidak hanya itu, si maling malah disuruh tinggal di rumhnya.
Pada pagi berikutnya si maling itulah yang mengumandangkan azan pada pengeras suara yang amplinya, pada pagi sebelumnya hendak dicurinya. Dia menjadi muadzin sampai beberapa bulan sambil belajar ilmu agama secara langsung pada kiai sepuh.
Beberapa tahun kemudian orang kampung tahu orang yang dulu mau maling itu menjadi da’i yang terkenal. Begitulah Kiai Sepuh. Selalu melakukan cara yang berbeda dengan warga.
***
Pada pertengahan puasa, aku dikejutkan suara anak-anak muda menderas Al-Quran di masjid. Mereka menggunakan pengeras suara. Tak biasanya mereka melakukan itu. Bukannya mereka sedang enak-enakan buka puasa bersama si Jalu?
“Siapa yang tadarus di masjid itu, pak RT” tanyaku kepada pak RT yang kebetulan lewat.
“Si Jalu dan temannya. Kamu heran kan? Dia sudah sadar sekarang. Malam tadi saf tarawih bertambah. Ya, itu si Jalu dan teman-temannya ikut berjamaah. Setelah tarawih, dia berecerita tentang pengalamannya. Dia menyadari sikap salahnya. Wah, malam tadi kamu pasti tidak tarawih, ya?”
Mukaku merah. Malam tadi aku memang tidak tarawih. Aku kelelahan setelah seharian bekerja di sawah.
“Kamu tahu tidak apa yang dilakukan Kiai Sepuh padanya?” tanyanya lagi.
“Tidak. Apa yang dilakukannya?” tanyaku penasaran.
“Si Jalu di suruh makan sepuasnya di rumah Kiai Sepuh. Setalah itu, dia disuruh merokok yang telah disediakan...”
“Apa?!”
“Hei...tunda dulu herannya. Saya jalan dulu, ya. Ada urusan. Nanti malam saya ceritakan.”
Aku tak habis pikir apa yang baru diceritakan pak RT. Seandainya cara kekerasan yang dilakukan kami jadi dilakukan, apa jadinya nanti. Mungkin si Jalu bukan menurut, tapi makin menjadi. Cara kekerasan memang salah.
Tapi apa benar dia disuruh makan dan merokok? Ada-ada saja cara Kiai Sepuh itu. Nanti malam aku tak ingin cerita dari pak RT. Aku akan langsung minta si Jalu untuk menceritakannya.