Dari seberang jalan laki-laki bertopi dan kaos oblong berwarna biru dongker dengan gambar bintang putih dalam bingkai merah bagian dada, melangkah menuju ke arahku. Bengkel sedang sepi, tidak seperti biasanya. Aku sadar betul, rizki memang tidak bisa datang dengan dipaksa. Hanya, aku harus tetap berusaha.
<>
Lama tidak berjumpa, dengan agak susah kugali ingatanku tentang keberadaanya. Jenggot tipis menghias rapi janggutnya, tetap sederhana dengan kesan bersahaja. Ternyata, laki-laki itu, temanku di bangku kulah dulu. Dia aktif diorganisasi keislaman kampus. Kita pernah saling kenal, bahkan pernah tingal satu kontrakan ketika aku dan dia bingung baru masuk di bangku kuliah. Pernah juga suatu saat fatwa-fatwanya menyerang teman-teman di teater. Aku yang bertangung jawab di teater waktu itu hanya diam tidak menanggapi. Toh akhirnya berlalu begitu saja.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mendengar sepak terjangnya. Kiprahnya tak lagi terlihat. Entah, aku sendiri tak mau tahu. Memikirkan kuliahku yang semakin tak jelas ujung pangkalnya saja membuatku pusing. Buntutnya kuputuskan, untuk berhenti putus di tengah jalan. Kerja, bengkel. Karena aku yakin ada banyak jalan untuk menemukan kebahagiaan. Dan masing-masing manusia mempunyai kebebasan untuk memilah dan memilihnya.
“Kau sukses dengan usahamu di sini,” katanya kepadaku setelah kupersilahkan duduk di bangku panjang sederhana, tempat para pelanggan menunggu.”
“Kau lihat sendirilah, dari dulu aku seperti ini dan itu aku nikmati,” jawabku dan beranjak duduk di sebelahnya.
“Kau begitu menikmati kehidupan seperti ini? Kehidupan yang yang tak pernah diberi janji surga oleh Allah.”
Tanpa sungkan dia mulai mengkhotbahiku. Sudah kuduga sebelumnya, aku hanya tersenyum.
“Saudara-saudara kita telah didzolimi, kita mesti balas mereka. Harus! Amerika keparat, setan laknat!” katanya berapi-api.
Aku tetap diam, tapi ku coba memahami kata-kata yang ia lontarkan. Setidaknya aku memahami seberapa dalam dendam dan kebencian dalam hatinya. Dan aku pun tahu semua itu, bahkan tidak hanya aku. Dunia pun tahu. Bagaimana tersiksanya rakyat Irak pasca Perang Teluk dengan embargo ekonominya. Bagaimana tersisanya Muslim Bosnia, Chechnya. Dan bagaimana hancurnya perasaan ketika Muslim Afganistan tidak diberi kesempatan membentuk pemerintahan yang mereka inginkan. Aku tahu tak hanya kamu, Temanku. Tolonglah mengerti, haruskah kejahatan kau balas kejahatan? Jangan kau tambah penderitaan saudara-saudara kita.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanyaku.
“Perang suci telah aku kobarkan, darah mesti dibalas darah. Jihad, itulah perintah Tuhan. Dan aku berharap kau bersedia masuk dalam barisan kami,” katanya tanpa ragu sedikitpun.
Hanya hatiku yang mampu berbicara. Teman, aku harap ini jangan sampai terjadi. Kau tak beda dengan mereka. Membunuh, menumpahkan darah. Manusia memang selalu begitu, egois dan serakah. Bila ada darah yang tertumpah, maka mereka menganggap itu adalah perintah Tuhan. Tuhan akan murka jika perang balasan tidak dikobarkan. Tuhan akan menangis bila ada suatu bangsa yang diinjak-injak, terjajah. Mau tak mau, akhirnya mereka semua berlomba-lomba jadi bangsa penjajah. Tuhan! Dengan maha Rohman dan Rohim-Mu ampunilah dosa-dosa manusia yang telah mengaburkan keagungan-Mu, kasih sayang-Mu telah menjadi keegoisan dan keserakahan yang menakutkan.
“Kau terlalu ceroboh mengajak orang seperti aku, yang sedikit pun tak ada keinginan menapakkan kaki di jalan yang kau tawarkan. Tidakkah kau pikir keselamatanmu?” aku tolak ajakan untuk bergabung dalam perang sucinya.
“Keselamatan di tangan Allah, bukan di tanganmu karena jalanku adalah jalan Allah, dan satu yang selalu kuingat kau adalah temanku,” jawabnya. Kecewa tidak, aku tidak tahu.
“Bilapun bukan temanku, untuk kebahagiaan yang kau impikan, rasanya tak kuasa aku untuk menghalangimu. Sedikit pun aku tak punya hak untuk membencimu. Itu janjiku pada diriku sendiri.”
Pasrahku mengiring langkah kakinya hingga hilang di perempatan jalan.
***
Bom telah diledakkan. Bali menjeritkan tangis. Ratusan raga merintih, meregang nyawa. Korban berjatuhan. Bule-bule menemukan kematian mereka dengan cara yang mengerikan di negeri impian mereka, Bali surga dunia.
Kematian memang menyakitkan dan mengerikan. Cobalah sedikit turut ikut merasakan. Betapa sakitnya sakaratul maut. Dengarkanlah telinga! Dengarkanlah, walau dengan samara-samar lenguhan dan rintihan-rintihan yang mengiringi tragedi yang pasti terjadi, kematian. Baik itu oleh mereka yang menyadari dan menghendaki akan adanya atau pun oleh mereka yang tak menyadari dan tidak menginginkan akan terjadinya.
Menyakitkan juga bagi orang-orang terdekat yang telah ditinggalkan. Betapa tak banyak dibayangkan, betapa sakit dan hancurnya perasaan jika harus merelakan kepergian seorang kekasih, teman, bapak, anak, suami ataupun istri dengan cara yang sangat mengerikan.
Tak heran jika dunia begitu terguncang. Dunia dengan kekekcewaan yang begitu dalam dan mengecam tindakan tersebut. Wajar saja, karena pembunuhan adalah biadab, dan bidab tetaplah biadab.
***
Dari seberang jalan, laki-laki itu kembali datang. Kehadirannya yang memang sudah kutunggu-tunggu.
“Kaukah?” tanyaku padanya. Dia hanya diam tak menjawab.
“Kenapa …? Kenapa semua ini harus terjadi?”
“Kenapa tidak boleh terjadi?” Dia balik bertanya.
“Seharusnya tidak harus ada yang jadi pembunuh dan yang dibunuh!”
“Kamu tidak mengerti!”
Aku tidak mengerti benar konsep yang dia pahami. Karen abagiku pembunuhan adalah biadab.
“Kamu terperangkap dalam permainan mereka. Itu yang kupahami tentang kebiadabanmu itu temanku. Ini adalah skenario besar mereka, dan ini merupakan kemenagan bagi mereka. Karena dengan kebiadabanmu itu, kau telah membukakan jalan lebar mereka untuk menghancurkan kita…,” mencoba kuingatkan.
“Kamu jangan khawatir! Bolehlah kita mengira terperangkap. Tetap yakinlah! Kita akan menang. Karena bom akan terus diledakkan!” janjinya bersemangat. Seperti kemarin ia pergi hingga bayangannya hilang di perempatan jalan.
Benar juga, bahaya telah mengancam. Diberitakan di seluruh media massa, dia termasuk daftar-daftar yang dicari. Ia masuk organisasi yang diharamkan di republik ini. Walau tidak diketahui pasti dan jelas apa dan siapa itu. Aneh, benar-benar aneh dunia ini. Dia temanku…? Dari mana dia dapatkan senjata pemusnah yang dalam penyelidikan awal hanya dibuat di negeri anak cucu Musa, Isra’il. Tapi entahlah. Banyak kepentingan berbicara di sini. Karena negeri ini memang sedang kacau, benar-benar kacau.
Laki-laki itu keras kepala. Tetapi dia temanku. Aku masih belum bisa mengerti dan yakin betul kalaulah dia si biadab itu.
Andaipun dia yang melakukannya, kepalanya telah disiapkan untuk membayar semua itu. Untuk membeli mimpi-mimpinya, syahid dan syurga.
Aku sadar betul siapa dia. Dia begitu mempercayaiku dan memahamiku. Sedang aku, tak benar-benar mengerti dan paham tentang dirinya. Yang kutahu, dia adalah temanku yang datang dan pergi dari seberang jalan.
Hanya itu….!
*MUHAMMAD adalah guru Biologi di Madrasah Aliyah Hidayatus Syubban Lembaga Pendidikan Maa’rif Kota Semarang, Jawa Tengah,