Langit malam ini tampak suram. Tak ada bintang, apalagi rembulan. Yang tampak di mataku hanya kawanan kegelisahan. Ia tengah bersekutu dengan lelaki pendatang yang selalu menggembor-gemborkan sebuah perjuangan Islam.
<>Hampir tiap malam ia tak pulang ke pesantren dengan alasan menyusun teknik perjuangan, dan aku harus rela berbohong kepada pengurus agar ia tak terkena hukuman. Ah, kami memang sering berbeda pandangan, tapi entah kenapa kali ini aku tak rela membiarkannya dalam pelukan fenomena yang meresahkan.
“Aku ingin membahagiakan emak di kampung, jadi aku harus sungguh-sungguh dalam belajar,” ucapnya suatu ketika, membuatku menarik bibir dalam senyum saat kami baru sampai di pesantren ini. Aku ikut termotivasi sebab semangatnya yang begitu berapi-api. Bahkan tak jarang ia mengalahkanku dalam petak akademis. Kuliah dan belajar di pesantren adalah cita-cita kami, cita-cita seorang anak petani desa yang berkesempatan belajar di kota karena beasiswa.
Hari mulai berganti baju, meninggalkan malam yang kelam penuh ragu. Jam di tanganku menunjuk angka dua, tapi mataku belum semenit pun terpejam. Aku masih menunggunya, berharap ia segera kembali dan memproklamirkan diri keluar dari gerombolan yang aku tak tahu pasti. Yang aku tahu, ia pernah bercerita jika gurunya datang dari negeri seberang, dan ia banyak belajar darinya.
Kudengar langkah seseorang yang datang dari arah gerbang samping. Ia berjalan begitu hati-hati agar tak ada orang yang mengetahui. Matanya merah seperti tengah menahan amarah. Mungkin juga ia lelah sebab dari tadi pagi baru kembali.
“Kau belum tidur, Amin?” ucapnya sembari menepuk punggungku.
“Aku belum ngantuk.”
“Kalau begitu, kita ngopi yuk. Tapi, kau yang buat,” pintanya dengan memasang wajah memelas. Aku mengalah karenanya.
Kubawa dua cangkir kopi ke tempat yang biasa kami gunakan untuk duduk-duduk saat tak bisa tidur. Kulihat mata Akbar tengah menerawang. Tangannya memeluk lutut, sementara wajahnya menghadap langit tanpa surut. Entah apa yang kini ada dalam pikirannya. Kududuki krotak* yang ada di sampingnya. Ia masih tak bergeming.
“Kau pergi ke tempat mereka lagi?” tanyaku memecah sunyi. Ia menunduk.
“Aku akan berjuang di jalan Allah.”
“Dengan cara kabur dari pesantren? Ingat cita-citamu dan harapan emak-mu, Akbar.”
“Ini saat yang tepat untuk berjihad. Emak pasti bangga dengan apa yang aku lakukan.”
“Apa harus dengan cara seperti itu? Aku tahu kau anti-Barat, aku juga benci. Tapi, bukan dengan kekuatan kita melawannya. Sebab kita akan kalah. Kita lawan mereka lewat intelektual. Jihad tidak harus dilakukan dengan peperangan, justru bisa meresahkan. Jika kita mau melawan hawa nafsu dan belajar dengan sungguh-sungguh, kita akan memiliki kekuatan akal untuk bisa melawannya. Itulah jihad yang seharusnya kita lakukan sebagai pelajar. Berjuang di jalan Allah melawan kebodohan.”
“Apa kau takut dengan maut?”
“Tidak. Allah telah mengatur hidup dan mati seseorang. Jika para pejuang Islam mati di medan perang, lalu siapa yang akan berjuang melawan kekafiran?”
“Kau meremehkan perintah Allah.”
“Di bagian mana? Jangan menafsirkan ayat secara tekstual, tapi kita lihat kondisi sekarang.”
“Sudahlah, kau tak tahu makna perjuangan,” ucapnya ketus sembari berlalu. Ia meninggalkanku yang masih terpaku. Tidak mudah mengubah pandangan seseorang semudah membalikkan telapak tangan. Kuseruput secangkir kopi yang kubuat. Hambar. Aku tak bisa merasakan nikmatnya kopi seperti biasanya. Ketakutan mengalahkan rasa nikmatnya. Langit malam ini tampak murung, sepertinya hujan akan turun. Perlahan gerimis mulai menjatuhkan airnya ke tanah pertiwi hingga basah.
***
“Akbar, pak kiai memanggilmu,” suara pengurus memaksaku meletakkan buku yang tengah kugenggam. Ada kekhawatiran yang mengalir. Kulirik wajah Akbar, tak ada gambar ketakutan di sana. Entah kenapa justru aku yang dirundung kegelisahan yang sangat. Akbar segera bangkit dari posisi duduknya, melangkah dengan tegap mengikuti langkah pengurus menuju dalem pak kiai. Aku penasaran dibuatnya. Lalu kuikuti langkah mereka.
“Abah dengar kau punya guru baru, Akbar?” Akbar hanya mengangguk.
“Apa yang kau dapat darinya?”
“Saya belajar tentang arti perjuangan Islam. Abah, Izinkan saya mengikuti langkahnya.”
“Sudah kau pikir masak-masak risikonya?” Akbar kembali mengangguk.
“Abah tak keberatan kau berjuang di jalan Islam. Tapi, Abah berat jika tenaga dan pikiranmu kau curahkan bersama gembong teroris. Jangan kau kira selama ini Abah tak mengawasimu.”
“Ia bukan teroris. Ia pejuang Islam yang sejati,” kudengar suara Akbar berapi-api.
“Abah hargai kegigihanmu, Akbar. Tapi, Abah tidak bisa menahanmu tetap di pesantren ini jika kau masih bergabung dengan mereka. Abah tidak ingin pesantren ini dianggap menyembunyikan teroris. Kasihan santri-santri yang lain. Abah harap kau bisa berpikir dengan jernih.”
Ada sesuatu yang menohok jantungku. Ketakutanku semakin menjalar, sikap apa yang akan diambil Akbar? Otakku masih saja digerogot tanya, tapi aku tak bisa berlama-lama disini. Aku tak mau Akbar ataupun pak kiai mengetahui keberadaanku. Lagi pula, hari ini kuliahku masuk pagi. Aku harus cepat-cepat berangkat agar tidak telat.
***
Kunikmati terpaan sinar matahari sepanjang lorong kota. Panasnya tak mengurungkan langkahku untuk cepat sampai di pesantren. Rasa penasaran mengalahkan keletihan yang kurasakan. Mata kuliah yang kudapat tadi terasa buyar. Aku ingin segera bertemu Akbar dan menumpahkan tanya yang sedari tadi membuatku gusar.
Kubuka pintu kamar lebar-lebar, tapi tak ada satu pun penghuni yang kutemukan. Kemana Akbar? Setahuku, hari ini ia tak ada kuliah. Bahkan sudah tiga minggu ia tak menunaikan hak dan kewajibannya sebagai mahasiswa. Hanya ada kata jihad yang menguasai otaknya. Lalu, bagaimana aku menjelaskan semua itu pada emak-nya?
Mataku tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di atas lemari bajuku. Ada pesan yang tertulis dengan bubuhan tanda tangan Akbar. Kubaca dengan hati berdebar.
Amin, aku harus meninggalkan pesantren untuk sebuah perjuangan. Aku tak hanya ingin mencium bau surga, tapi aku ingin menyelam di dalamnya. Jika Allah berkehendak, aku akan kembali seminggu lagi. Maafkan aku. Akbar.
Kulipat kertas peninggalan Akbar. Lututku lemas, seakan tak mampu menopang tubuhku yang mendadak beratnya berlipat. Mataku perih, tapi tak ada yang bisa kulakukan kecuali memohon pada-Nya agar Akbar tetap terselimut keselamatan. Allah, ridhoi niat baiknya.
***
Aku duduk di bangku kayu pelataran pesantren, menunggunya bersama rinai gerimis yang mencurahkan rahmat kepada ibu pertiwi. Rintik itu terus berbisik bahwa ia tak kembali malam ini. Tapi, aku tak menghiraukannya dan terus menunggunya sampai pagi tiba.
Semalaman aku menunggu. Ia tak juga tampak. Ada prasangka yang tiba-tiba menyapa. Aku bingung. Tapi, aku segera mendapat jawaban atas pertanyaan yang terus menggerus otakku. Aku mendapatkannya dalam lembaran kertas yang disodorkan seorang teman di hadapanku. Ya, aku menemukan nama Muhammad Akbar di koran yang kuraba dengan mata berlinang. Sebuah nama yang menjadi tersangka aksi teroris. Kekhawatiranku selama ini benar. Air mataku tak mampu lagi kubendung dan tumpah berantakan.
“Amin, barusan ada telfon untukmu dari kampung. Aku kira kau tak ada di pesantren, jadi aku menyuruhnya meninggalkan pesan,” kusapu pipiku yang sedikit basah.
“Ada pesan apa untukku?”
“Katanya uak Suminah meninggal tadi malam karena serangan jantung,” seperti ada halilintar yang menyambar. Uak Suminah adalah nama emaknya Akbar. Lututku terasa lemas, daging di tubuhku serasa tanpa tulang. Dengan langkah tertatih, aku bergegas mohon izin pak kiai untuk pulang kampung.
***
“Tentu saja Suminah jantungan, katanya anak semata wayangnya menjadi teroris. Kasihan dia,” beberapa orang kudengar membicarakan nama Akbar. Aku tak begitu memperhatikan, kulewati jalanan menuju pemakaman tempat uak Suminah diistirahatkan. aku terlambat datang di acara penguburan. Kini makam tampak lengang. Kulihat seorang lelaki berbaju hitam tengah menciumi tanah kubur yang masih baru. Mungkin itu kuburan uak Suminah. Tapi sepertinya aku mengenal sosok itu. Ya, lelaki itu adalah Akbar.
“Maafkan anakmu, Mak…,” ucapnya lirih di sela isak yang mendadak lenyap. Tubuhnya tersungkur di atas tanah. Kuangkat ia yang tergolek lemas dan kutidurkan di pangkuanku. Ada pedih yang merayap saat aku tahu tak ada detak jantung di dadanya. Aku panik, Kucoba selidik nafasnya, tak ada hembusan. Aku menjerit sekeras mungkin. Akbar…..!
NUR AVIAH, lahir di Purbalingga, 22 November 1988. Alumni Sekolah Kepenulisan STAIN Purwokerto. Tinggal di Desa Beji Bojongsari-Purbalingga. Cerpennya, “Biduk Cinta Telaga Biru” dibukukan dalam antologi cerpen nasional dengan judul “Bukan Perempuan” dan “Perawan Seblang” dibukukan dalam antologi “Nyanyian Kesetiaan”. Cernaknya “Doni dan Anak Kelinci” dimuat di Radar Banyumas.
* kursi yang terbuat dari bambu, biasanya diletakkan di halaman rumah