Cerita Pendek Abdul Mukhlis
Siang yang terik. Debu batubara mengepul hitam di langit. Sesiang ini matahari memanggang tubuh para pekerja tambang tanpa ampun. Baju mereka basah penuh cucuran keringat. Sesekali para pekerja itu mengusap peluh yang menghiasi kening dengan lengan baju yang dikenakannya. Di sudut sana, mataku terpusat menyorot pemandangan yang jarang kutemui di tempat begini. Sesosok bocah laki-laki sekira delapan tahun membungkuk sambil mengambili bongkahan batubara. Tangannya mengais-ngais di tumpukan batubara itu. Tubuhnya kusam, rambutnya ikal, dan pelipisnya mengkilat terkena keringat. Bajunya ikut lusuh dilumuri debu-debu.
Rasa penasaran dan iba lamat-lamat hinggap di benakku. Agar tak kehilangan jejak, aku mengambil gambarnya dengan kamera kesayanganku ini. Aku berharap bisa menemuinya lagi suatu ketika nanti. Aku menengok jam tangan. "Pukul 11.15 WIB, waktunya kembali ke kantor," kataku dalam hati.
Baca Juga
Pengamen yang Kehilangan Instrumennya
Sesampainya di kantor, aku rehat sejenak. Menumpahkan beban pikir pada secangkir teh dan sebatang lisong. Di sela-sela ritual ini, pikiranku membayang memikirkan bocah laki-laki yang kulihat di tambang tadi. Pikiranku melayang. Aku teringat masa kecilku dulu yang serba kekurangan. Bahkan untuk membeli sebuah buku tulis pun, aku harus membantu ibu berjualan kue keliling kampung. Namun kali ini keadaannya berbeda. Bocah itu bekerja di tambang saat jam-jam sekolah seperti ini, sedangkan aku lebih beruntung. Aku berjualan hanya saat jam tertentu saja, waktu liburan, hari Minggu, atau sepulang sekolah.
"Apa dia tidak sekolah ya? Kemana orang tuanya sampai tega membiarkan bocah itu berada di tambang saat jam-jam sekolah?" Beribu tanya tentang bocah itu mampir di pikiranku. Betul-betul membikin penasaran. Otakku berpikir serius mencari jawaban atas berbagai tanya yang muncul itu. Aku juga memaksa otakku bekerja lebih serius: memikirkan hal terbaik dan kemungkinan buruk yang dialami bocah itu.
"Mungkinkah ini salah satu dari anomali di zaman yang sudah merdeka seperti sekarang? Atau mungkin ini adalah sebagian dari kejahatan eksploitasi anak oleh orang tuanya dengan dalih meringankan ekonomi keluarga? Atau inikah hasil dari kemenangan sistem neo-kapitalis yang dimainkan diam-diam oleh kelompok mapan? Atau mungkin bisa saja anak itu sengaja ingin berada di tambang untuk bekerja?" Beberapa prediksiku ini kujadikan pegangan untuk mulai mencari tahu tentang keadaan yang terjadi sebenarnya.
Baca Juga
Hikayat Tiga Lemari
***
Sebagai seorang aktivis, aku tak mau menutup mata bahwa masih banyak yang harus diperjuangkan untuk keadilan dan kelestarian lingkungan. Aku juga tidak mau membatasi pengertian lingkungan hidup, hanya sebatas pandangan sempit. Aku mau meluaskan perkara itu sebagai sesuatu yang sangat rumit dan kompleks. Persisnya, bolehlah aku sederhana dalam kehidupanku, tetapi tidak dengan cita-citaku.
Keinginanku mengubah lingkungan di sekitar adalah hasrat terdekat saat ini. Sementara hasrat terbesarku adalah mengubah lingkungan kaum pinggiran menjadi maju dan berdaya. Memang sedikit tidak relevan antara kegiatanku sebagai aktivis lingkungan dengan apa yang aku cita-citakan ini. Tapi setidaknya, ada benang merah antara lingkungan hidup dengan lingkungan sosial di sekitarku; sama-sama penting untuk diperhatikan.
Keinginan mewujudkan cita-cita ini begitu menggebu, sehingga aku terjun langsung ke tempat ini sekadar untuk melihat situasi alam yang kini telah ditelanjangi oleh tangan-tangan borjuis. Miris! Barangkali kata itulah yang pantas tersemat. Orang-orang berkelakar, sumber daya alam di sini begitu melimpah ruah, maka tak perlu khawatir kalau-kalau rakyatnya bakal hidup susah. Ya, sumber daya alam yang kaya raya ini, bagi kelompok mapan adalah bisnis yang demikian menggiurkan. Korbannya, siapa lagi kalau bukan lingkungan dan kaum-kaum pinggiran?
***
Kembali aku menyusuri jalan demi jalan di tambang ini. Panas dan gersang. Sepanjang hari ini, belum juga nampak bocah yang aku tunggu. Setengah jam, satu jam, satu setengah jam, dua jam. Genap di angka itu, baru muncullah bocah yang kutunggu-tunggu. Kugerakkan kakiku dengan cepat untuk mengejarnya. Sesekali kulihat lagi foto-foto kemarin, kucocokkan dengan ciri-ciri fisiknya dari kejauhan. "Tepat," gumamku lirih. Aku menemuinya, menjabat tangan, dan kuajak ia ke tempat teduh yang jaraknya lumayan jauh; di bawah pokok yang rindang.
"Bang, saya mau dibawa kemana? Saya masih bekerja, Bang. Nanti bisa dihajar saya," cerocos bocah itu.
Dengan langkah kaki yang makin cepat aku menjawab, "Tenang, kamu ikut saya sebentar. Aman kok."
Di bawah pokok, aku tak henti-hentinya menanyai bocah kecil itu. Seperti wartawan ulung, ia kuinterogasi. Kucecar dan kuhujani ia dengan pertanyaan-pertanyaan, dan aku pun mencatat jawabannya pada memori alami: ingatan. Aku begitu terperangah dengan jawaban-jawabannya. Semua hipotesisku saat kali pertama melihatnya sebagian patah satu persatu.
Guntur nama bocah itu. Usia 6 tahun, lebih muda dua tahun dari perkiraanku. "Tapi tak apa, tak terpaut jauh dari prediksi," pikirku. Sehari-hari ia berada di tambang. Dia tak punya sanak saudara. Bahkan juga tak tahu siapa nama ayah dan ibu, apalagi keberadaannya. Kalung dari tali sepatu dengan bandul kertas bertuliskan '16/6/2016' yang melingkar di lehernya itu, bisa jadi harta satu-satunya yang dia miliki saat ini.
Guntur harus bertanya kepada ketua geng Takos, Bos Obo, untuk tahu arti bandul kalung itu. Bos Obo sehari-hari menyuruh Guntur mengais batubara di tambang. Ia mengaku sering diberi upah berupa bogem di punggungnya. Diberi makan sekali sehari. Tak boleh membersihkan diri, juga tak boleh keluar kecuali pergi ke tambang dan masih banyak larangan-larangan lain lagi.
Banyak teman-teman seumurannya meregang nyawa akibat aturan ini. Aih, terlalu. Dari jawaban-jawabannya aku jadi tahu bahwa ini adalah kejahatan kemanusiaan. Kejahatan di luar kewajaran dan hanya manusia berhati setan yang mampu melakukan. Dalam hati aku berbisik, "Tegar dan sabarlah atas ujianmu. Perlakuan kasar dari siapa pun tak akan mampu membunuh sucinya hatimu."
Di sisi lain, aku sangat terketuk dengan jawaban Guntur saat kutanyai tentang sekolah dan belajar. Mulutku tercekat. Sama sekali tak bisa berucap. Di sela-sela pengakuannya itu, ia sempat berujar bahwa tak perlu meja dan kursi seperti di kelas untuk belajar, karena di tambang itu ia bisa mengamati banyak hal tentang kehidupan, terutama ihwal tegar dan sabar.
Tak terasa air mataku mengalir deras lewat kedua ujung kelopak mata menuju pipiku yang memerah. Aku malu sekaligus kagum kepada bocah itu. Ya, Guntur bukan hanya bocah korban kekerasan. Bagiku ia adalah mutiara yang tersesat di hamparan batubara. Kata-katanya menjadi pembuka kalbuku yang telah lama tertutup oleh debu ketidakpedulian. Sejak itu, kuputuskan untuk mengangkat Guntur sebagai adikku. Kurawat, kudidik, dan kusekolahkan ia sebagaimana anak-anak seusianya. Namun yang lebih penting lagi, perkara Bos Obo beserta kaki tangannya, telah aku limpahkan kepada pihak berwajib untuk diproses seadil-adilnya sesuai kejahatan yang mereka lakukan.
***
Abdul Mukhlis, lahir di Batang, Jawa Tengah. Ia mencurahkan pikirannya melalui tulisan-tulisan berupa artikel ilmiah, memoar, puisi, dan cerpen. Karya-karyanya dimuat dalam jurnal ilmiah juga beberapa buku antologi puisi 'Gelabah' Bukutujju, antologi cerpen 'Pantai Lajar' IDM Press, kotomono.co, dan Majalah Komunitas Sastra Papirus Solo. Saat ini ia berkiprah sebagai tenaga pengajar di UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan.