Cerpen: Pensil Kajoe
Hari masih pagi, jam dinding seolah berjalan gontai tidak seperti biasanya. Angka-angkanya muram, seolah sedang mengenang sesuatu yang mengharukan. Sebuah kalender dinding menempel di dekat foto almarhum ayah. Ada satu tanggal di bulan Mei yang dilingkari. Tanggal di mana ayah pulang ke rumah-Nya. Tahun ini, tepat sebelas tahun kematian ayah.
Kursi-kursi, meja telah dikeluarkan dari dalam ruang tamu dan ruang tengah, tikar dan karpet juga sudah digelar rapi. Malam ini, adalah haul untuk almarhum ayah; meski bukan seorang kiai tetapi bagi keluarga kami, ayah adalah maha guru yang bijaksana. Jadi sudah selayaknya sebagai anak-anaknya dan muridnya harus senantiasa patuh serta berbakti padanya meski jasadnya telah menyatu dengan tanah, namun ilmu manfaatnya sudah mendarah daging dalam tubuh anak-anaknya.
*
"Jangan berebut, semua dapat bagian masing-masing, ini ayah bawa untuk kalian," ujar ayah kala itu sepulang kenduri dari rumah tetangga.
"Ayah sendiri tidak makan?" tanyaku sebagai anak tertua.
"Ayah sudah makan tadi di sana."
Keranjang dari anyaman bambu aku buka penutupnya. Tampaklah nasi yang dibungkus daun pisang, dengan lauk pauk khas kampung. Baunya menerbitkan air liur. Makanan seperti ini rasanya sangat lezat tidak kalah dengan makanan mahal di restauran mewah.
*
Berkat yang dibawa ayah pun didedah dan di nikmati seisi rumah, Ibu, aku, kedua adikku, juga ayah; meski hanya kebagian kerupuk udangnya saja. Entah dimasak dengan resep atau bumbu apa, sehingga rasanya benar-benar nikmat. Mungkin karena sebelum dibagi-bagikan, berkat tersebut dikepung dan di doakan oleh orang banyak.
Selepas Isya, orang-orang yang diundang mulai berdatangan dan memilih tempat sendiri-sendiri.
“Assalamu’alaikum…" suara laki-laki yang kukenal. Dia seorang modin di kampungku, Ustadz Yanto namanya. Beliau kerap diminta untuk memimpin doa di tiap acara semacam ini.
"Waalaikumsalam," hampir bersamaan orang-orang yang ada di situ menjawab salam Ustadz Yanto.
Ustadz Yanto berjalan membungkuk menyalami para jamaah yang hadir disitu. Meskipun usianya masih muda, jam terbangnya sebagai seorang modin sudah cukup tinggi. Sejak Kiai Hamdi meninggal dunia, maka sebagai putra semata wayang, Ustadz Yanto meneruskan tugas ayahandanya. Orang-orang kampung lebih fasih memanggilnya dengan sebutan Uyant.
Doa-doa pun mulai dilafazkan, bergema, mengisi seluruh ruangan dalam rumah. Resonansi suaranya menggetarkan sisi-sisi terdalam jiwa seorang anak manusia. Membawa keheningan pikir lewat kalimat-kalimat langit. Menyampaikan pesan pada penggenggam seluruh isi langit dan bumi. Memohon doa untuk para leluhur yang telah kembali bersenyawa dengan alam, hening. Membukakan jalan terang untuk mereka agar tiba dengan selamat di tempat tujuan, berjumpa dengan kekasih sejatinya.
Setengah jam berlalu, acara tahlilan sudah selesai dibacakan. Kini saatnya, para tetamu mendapat sebungkus kantong kresek. Namun, di sini ada yang berubah tidak seperti zaman aku masih kecil dulu. Isinya bukan lagi nasi, lauk-pauk, tetapi bahan makanan mentah atau lebih dikenal dengan sembako plus makanan kecil.
*
Satu persatu mereka pamit, ada beberapa yang masih bertahan di tempat duduknya. Mereka tampak asyik mengobrol sambil menikmati rokok kretek mereka. Asap kembali mengepul, melayang-layang. Mungkin seperti itu ketika ruh keluar dari jasadnya. Dia akan melayang ke udara, membubung menelisik lewat celah-celah langit-langit yang terbuat dari anyaman bambu, kembali menyatu dengan kumpulan awan yang ada di langit.
Keesokan pagi, aku berangkat ke tempat pemakaman umum yang terletak di atas bukit Udik Jembari. Di sanalah rumah peristirahatan terakhir para leluhur. Tempat pemberhentian sementara sebelum melanjutkan perjalanan yang masih sangat jauh. Perjalanan yang belum pernah terjangkau oleh akal manusia. Hanya bisa diresapi dan dipahami lewat kedalaman batin.
Air kembang yang semalam dibacakan doa saat tahlilan kusiramkan di atas nisan ayah. Air yang semoga bisa meringankan beban siksa kubur beliau. Tanah di atas nisan ayah, basah. Airnya merembes, melesak ke dalam, ke tempat ayah terbaring menunggu hari berbangkit tiba.
"Yah, kau tahu. Semalam saat kubagikan berkat untuk orang-orang yang datang, raut wajah mereka tampak semringah. Kata mereka sayang anak-sayang anak. Mungkin dulu kau pun seperti itu ya, Yah?" aku berbicara di depan nisan ayah, seolah beliau berada di depanku
Benar, rasa nasi berkat itu ternyata sangat nikmat. Mungkin berkat doa-doa itulah makanannya jadi terasa nikmat. Semoga seperti namanya, makanan dan doa-doa yang dilantunkan benar-benar membawa keberkahan bagi kita semua, batinku mengenang-ngenang mendiang ayah.
Tidak terasa, hari sudah cukup siang. Ternyata lama juga aku berada di makam ayah.
"Anakmu pamit dulu, Ayah. Esok atau lusa aku juga akan sama sepertimu, terbaring di sini. Ada brekat-brekat yang dibagikan saat orang-orang itu duduk bersila melafazkan doa-doa, menyebut namaku yang telah terbaring sama sepertimu saat ini."
Tumiyang, 28 November 2019
Pensil Kajoe, lahir dan besar di Banyumas, 27 Januari. Cerpen dan puisinya sudah banyak dimuat di koran di Indonesia. Membukukan 18 antologi tunggal baik cerpen dan puisi, lebih kurang 40 antologi bersama. Saat ini menjadi kolumnis Banyumasan di majalah Djaka Lodang, Yogyakarta.