Oleh Abdullah Zuma
Ketika duduk di bangku SMA, saya beruntung mendapat guru-guru yang menguasai mata pelajarannya. Salah satunya guru bahasa Indonesia. Dia sangat menguasai segala tetek-bengek pelajaran ini; mulai dari tata bahasa, apresiasi sastra, hingga wacana, dan lain lain. Maklum sudah puluhan tahun dia menekuni pelajaran ini. Tak salah jika dibilang guru senior atau gaek. Usianya hampir kepala tujuh. Perawakannya kurus tinggi, mirip Pramudya Ananta Toer.
Konon, guru yang satu ini dulunya dia perokok berat. Tapi karena sempat mengidap penyakit paru-paru, dia ambil langkah seribu dari dunia nikotin. Biasanya, saat mengajar, dia pantang berdiri atau mondar-mandir di muka kelas. Ciri khasnya, sering menyelipkan guyonan dalam mengajar. Murid-murid jadi tidak jenuh. Tapi, kadang melarang ketawa. Susah benar! Ini yang kadang jadi persoalan. Dan selalu mencak-mencak jika pembicaraannya tidak diperhatikan. Kalau yang ini wajar, siapa pun pasti marah kalau pembicaraannya diacuhkan.
Suatu ketika, pelajaran membahas intonasi. Dia begitu semangat membahasnya. Padahal menjelang istirahat. Kelas lain ada yang mencuri start meninggalkan kelas. Konsentrasi penghuni kelas jadi buyar karena ada yang tak tahan lapar, kebelet ingin ke toilet, hendak menemui seseorang atau memang malas belajar. Tampak sebagian teman berbisik-bisik dengan teman sebangkunya. Sementara yang lain ngobrol tak karuan. Kelas terdengar gemeremang seperti di pasar, atau nyaris seperti tawon hijrah.
“Diam....!!!!” bentak Pak Guru sambil menggebrak meja.
Kontan suasana kelas saya berputar 180 derajat. Sekarang seperti di kuburan malam Jumat Kliwon. Tatapan penghuni kelas langsung memusat ke meja guru supaya terkesan memperhatikan.
“Begitulah intonasi saat marah...” kata Pak Guru sambil membetulkan letak kacamatanya.
Teman-teman yang meyimak pelajaran, terdengar ketawa terbahak-bahak. Semantara yang lain, masih bertanya-tanya; menertawakan siapa atau apa? Tidak paham kedua kalinya.
Bel tanda istirahat pun berbunyi. Dada penghuni kelas terasa plong. Setelah mengucap salam, Pak Guru pun keluar dengan santai. Padahal habis membentak.
Teman-teman yang tidak tahu duduk permasalahan, bertanya kepada teman-teman yang tadi ketawa. Tapi kemudian mereka terdiam karena Pak Guru masuk kembali.
“Ada yang melihat pedang cinta Bapak?” tanyanya.
Sekarang teman-teman terperengah mendengar istilah yang tidak akrab di telinga.
“Pedang cinta?”
“Apaan tuh..., Pak?” tanya salah seorang.
Dia tak menjawab, malah sibuk meneliti meja guru dan membalik-balikkan buku.
“Ini!” katanya sambil tersenyum.
Alamak..., Ternyata sisir.
Jumat, 09 Mei 2009